Senin, 08 September 2008

SUARA ADZAN DI JANTUNG MUADZIN



Angin mendadak menghentikan langkahnya saat menuju ke utara. Sayup-sayup terdengar lemah suara adzan menyapa di sebuah surau. Seruannya seperti tak diindahkan oleh mereka yang tengah sibuk mencari tuhan-tuhan kecil. Lantunan hampir saja melenyap. Bukan karena desau angin, melainkan karena suara kakek berusia 85 tahun itu memang sudah tak lagi merdu untuk didengar.
Angin mencoba mengatur patah-patah kata yang beterbangan, untuk digabungkan hingga utuh, supaya tidak salah pesan saat sampai di telinga-telinga masai. Suaranya seperti benang kusut kumal dan basah. Susah diurai dan diberdirikan.

Di kehampaan, suara itu perlahan-lahan melebur. Ketika lisannya berucap, terdengar nada terbata-bata. Napas seolah mau lepas. Namun, dasar kakek keras kepala, ia tetap memaksa melantunkan adzan di surau. Padahal kondisinya sedang kurang sehat lantaran sudah sepuh.

Satu persatu jamaah maghrib bermunculan. Satu dua shaf depan terisi sudah. Hati ka-kek bahagia, meski dengan suara seadanya ternyata masih ada yang mau mendengarkan, lalu melangkahkan kaki ke mushalla. Ia tak peduli berapa banyak jumlah jamaah. Baginya, yang terpenting tugas sebagai muadzin tunai. Sedikit banyak jamaah yang hadir tidak menghalangi niatnya untuk mengingatkan mereka-mereka kepada tuhan.

Pernah saat musim panen tiba, hampir setiap hari ia di surau. Orang-orang kampung sibuk dengan arit di ladang. Bersuka ria memanen padi yang sudah menguning. Antara sawah dan surau justru lebih ramai sawah. Celakanya saat adzan tiba mereka masih asyik memotong batang padi. Sedikit waktu istirahat, lalu melanjutkan kembali memanen. Entah mereka letakkan di mana agama mereka saat musim panen tiba? Padahal adzan tak ubahnya seperti jam dinding yang menunjukkan pukul dua belas ketika terlantunkan di tengah hari.

Yah, akhir-akhir ini jumlah jamaah lebih mendingan dibandingkan ketika kemarau meradang. Ia sendiri heran, kenapa iman harus kendur atau bahkan luntur hanya karena cuaca? Pernah juga ia menjadi imam sunyi. Datang seorang diri, melantunkan azan dan iqamah, sampai shalat sendirian karena tidak seorang pun hadir. Wak Sur, demikian kakek itu biasa disapa hanya bisa menahan napas patah-patah.

Sisa hidupnya memang ingin dihabiskan untuk beradzan. Ia pernah berkata dengan suara patah-patah di hadapan jamaah shalat, “Selama masih hidup, saya akan tetap adzan. Hanya ini yang saya bisa.” Intinya ia mengutarakan keinginan untuk adzan di surau. Dengan keterbatasan suara yang sangat lirih ia bertakbir, bersyahadat, menyeru shalat dan mengajak ke kemenangan, bertakbir dan bertahlil, mengesakanNya.

Hasrat Wak Sur, mendapat sambutan baik. Selama ini memang tak ada yang seistqomah seperti dirinya menjadi muadzin. Siapa mau di tengah pagi buta mesti bangun mendahului suara kokok ayam dan lolongan anjing? Siapa berkenan adzan tengah hari, ketika banyak orang tengah bergelut mencari tuhan-tuhan kecil? Siapa sempat, saat sore hari pergi ke tajug, dimana banyak orang tengah sibuk pulang kerja dengan kondisi letih? Masa maghrib yang begitu cepat sementara lelah belum juga pulih, dan lebih memilih istirahat saat kumandang Isya. Tak ada yang sesempat itu selain Wak Sur.

Sejak saat itu desah suara kakek menyebar ke seantero kampung. Lima kali sehari. Subuh, di pagi hari sebelum cahaya. Tengah hari, menjelang, masa dan sesudah senja.

Pernah sempat ada seseorang mendahuluinya adzan. Saat sudah memasuki waktu adzan, Wak Sur belum tampak. Usai shalat, Wak Sur mendekati orang itu. Dengan suara lirih berkata, “Harus dengan amalan apa untuk mengakhiri hari-hari saya yang sebentar lagi mati selain dengan adzan.” Seketika orang itu segera meminta maaf lantaran merasa telah lancang, mendahului sang kakek.

***
Ada satu hal yang tak ingin diingat lagi oleh lelaki tua itu. Masa lalu. Ya, masa lalu. Tak ingin secuil pun kenangan hinggap di pikirannya. Ia tak mau mengingat semua itu. Karena itulah ia menjadi sebatang kara. Kebiasaan laknat membuatnya kehilangan istri yang dicintainya. Masa di mana, saat mudanya lebih banyak dihabiskan di meja judi.

Sebagai nelayan, ia sebenarnya lihai memainkan jala dan menangkap ikan. Hanya saja, hasil melaut ia pertaruhkan di antara lembar-lembar domino, membiarkan istrinya yang sedang mengidap asma di rumah sendiri, kesepian. Tak peduli dapur sudah lama tidak berasap. Tapi, semua itu tak membuatnya berubah.

Melaut bisa seharian tanpa peduli waktu. Purnama - saat air laut pasang - adalah malam yang tak pernah ia lewatkan. Membuatnya dengan mudah menjebak ikan-ikan yang tampak dalam pandangan mata di bawah siraman terang bulan. Hasil melaut saat bulat bulan sempurna biasanya melimpah. Ia senang bukan main. Itu artinya kesempatan untuk bertarung di meja judi jadi lebih banyak. Peluang untuk menang pun dalam piki-rannya akan lebih besar.

Saat itu, ia pulang melaut pukul dua pagi. Tidak langsung menuju rumah, melainkan langsung menuju ke tempat teman-temannya mengadu. Ia yakin, kekalahan beberapa waktu lalu akan terbayar malam itu juga. Di meja judi ia bisa seharian. Waktu terlewatkan begitu saja. Subuh masih tetap jalan. Hingga matahari terbit, ia masih asyik masyuk diliputi iming-iming kemenangan peraduan. Hari beranjak siang, ia masih belum beranjak.

Hari itu benar-benar miliknya. Semua taruhan lawannya terkuras habis. Berpindah di genggamannya. Ia menang telak! Tepat tengah hari, ketika semua sudah usai, para pengadu nasib tergeletak kelelahan. Dan tidur di bangsal-bangsal beralaskan tikar kumal. Kartu domino dan kulit kacang masih berserakan.

Baru beberapa tapak kaki melangkah menuju rumah, langkah kaki seketika terhenti. Ia merasakan seperti ada desir angin yang menyentuh hati saat tiba-tiba terdengar suara adzan di tengah hari. Lantunannya mengalir syahdu. Ia langsung lemas. Air matanya tiba-tiba menderas membasahi kedua pipi. Seluruh tubuhnya merinding. Hatinya bergetar. Lisannya tak mampu berucap. Seketika bergenggam uang di tangan ia lepaskan. Dua orang rekannya yang kebetulan saat masih terjaga setengah heran dibuatnya.

Ia ingat istri yang terbaring lemah. Tanpa berpikir panjang, setelah adzan usai, ia berlari kencang ke rumah. Saat tiba, langsung bersimpuh di kaki istrinya yang tengah sekarat. “Ajari aku wudlu, aku ingin shalat” katanya lirih. “Aku ingin shalat, ajari aku wudlu,” katanya sambil menggoyangkan tubuh istrinya. Tubuh perempuan di depannya tak bergerak sama sekali. Ia baru berhenti ketika sadar bahwa istrinya sudah tak memiliki napas. Ia tak mampu melakukan apa-apa. Hanya meneriakkan, “Tidak!!!”

Sejak peristiwa itu, ia lebih memilih menyendiri. Hingga tersadarkan bahwa ia telah menyia-yiakan waktu untuk urusan yang tidak perlu. Sejak saat itu pula ia merasa menjadi lelaki paling bersalah di dunia. Ia menyesal.

Dan, hari-harinya kini lebih banyak ia habiskan untuk melakukan hal yang sekiranya bisa menghapus dosa masa lalu. Setiap kali mendengar adzan, merinding ia dibuatnya. Sejak saat itulah, ia menghadap Kyai Mashudi meminta mengajarinya adzan. Ia bertekad untuk menjadi seorang muadzin. Pikirnya, mendengar saja membuat hati bergetar, apala-gi melantunkan?

Masa lalu itulah yang benar-benar tak mau diingat. Ia adalah kini. Seorang lelaki tua yang hidup sebatang kara, yang tidak melewatkan untuk mengumandangkan adzan. Hing-ga di usia senja.
***

Kesehatan Wak Sur makin lama makin memprihatinkan. Jalannya saja sudah tertatih. Suaranya sudah melenyap. Sesekali batuk ketika melantunkan adzan, sampai terdengar ke pengeras suara. Wak Sur susah dicegah. Tekadnya benar-benar sudah bulat. Ingin adzan sampai mati. Kalau belum mati, ia akan tetap adzan.

Saat itu Wak Sur melantunkan adzan subuh. Suara yang terdengar dalam lantunan adzan nyaris hampa. Seperti suara berbisik. Tanpa ekspresif, tanpa penjiwaan. Sama sekali tak menggerakkan hati untuk segera beranjak. Menyaksikan hal itu, para jamaah sempat saling tatap. Keagungan Sang Pemilik Semesta ia lantunkan lirih. Syahadat, mengesakan Tuhan dan bahwa Muhammad Rasul terakhir, ia lantunkan dengan mengandalkan suara-suara yang hampir patah. Seruan shalat, menuju kemenangan. Dan, selesai mengucap Lailahaillallah ia ambruk!

Segera tiga orang dari jama’ah sholat subuh membopongnya ke Rumah Sakit Pertamina. Ia masih sadar ketika ia berada saat dalam perjalanan menuju Rumah sakit, sekonyong - konyong ia berdzikir seakan-akan tidak pernah terjadi apapun. Sesampainya di Instalasi Gawat Darurat (IGD), ia disambut seorang dokter cantik nan muda berjilbab, Dr. Hanum namanya. Setelah diperiksa ternyata ia mengalami peradangan mematikan yang menyerang sebagian besar jantung.

Setelah itu Wak Sur tak bergerak. Meninggal? Memastikan akan kematian Wak Sur, Dr. Hanum meletakkan stetoskopnya di atas dada Wak Sur. Dr. Hanum terkejut saat menempelkan stetoskop bukan mendengarkan detak jantung melainkan mendengar suara adzan. “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Asyhaduallailahaillallah.” Dokter Hanum terkejut mengernyitkan dahi. Memastikan kebenaran apa yang ia alami, ia kembali meletakkan stetoskop di atas dada Wak Sur, suara adzan masih terdengar di telinganya hingga sampai selesai. Itu benar-benar suara adzan!

2 komentar:

adiputri mengatakan...

subhanallah bagus banget.

kalau ceritanya di post di blog saya boleh kah??

nanti saya sertakan link ke blog Anda,

ali irfan mengatakan...

yang terbaik adiputri....
silahkan adi (atau putri?) posting. selama itu bermanfaat. asal, janga lupa mencantumkannama penulis danjuga sumber. Bukankahkaidah penulisan seperti itu?
saya sudah buka blog putri..menarik juga! See ya...