Jumat, 30 Mei 2008

Nek, Sebaiknya Kau Mati Saja

DEPAN pelataran rumah, seorang perempuan tua duduk di atas kursi malas. Matanya menatap kosong. Sesekali ia menggerakkan kursi malasnya yang hampir saja diam dengan tangan yang masih menyimpan sisa-sisa tenaga saat masih muda. Ia pun menggerakkan pelan, perlahan.

Kerut kulitnya begitu kentara terlihat. Pun jika dilihat dari kejauhan. Rambut masih legam panjang, tidak seperti nenek pada umumnya yang sudah memutih di usianya. Kata ibuku, perempuan tua itu sewaktu masih muda keramas dengan merang, sisa pembakaran jerami padi yang ada di sawah-sawah. Hanya ditambahkan sedikit air, lalu dibasuh rata dari ujung sampai pangkal. Demikian halnya dengan gigi yang masih tertata rapi, leng-kap dan tak ada satu pun tanggal. Masih gigi asli. Masih kata ibuku, katanya orang-orang zaman dulu itu merawat gigi dengan remukan batu bata dari tanah liat sebagai odol.

Tak lama, terdengar hentakkan batuk perempuan tua. Sebelumnya ia tengah asyik dengan kinang yang bermain-main dimulutnya. Bibirnya memerah keemasan. Bahkan cairan merah itu mengalir melewati kedua sudut bibir. Lama aku menatap. Batinku berkata, seolah-olah sedang menatap drakula yang habis menghisap darah dengan kedua taring. Aku takut. Kalau-kalau ia berubah jadi drakula yang siap menerkamku seketika, padahal aku tak mau mati konyol.
Nenek itu hidup seorang diri di sebuah rumah tua. Tak jauh dari rumahku. Anak-anaknya sudah tak bersamanya lagi. Bahkan hampir dipastikan mereka tak ada yang menjenguknya. Entah kesibukkan macam apa yang dialami sampai-sampai mereka lupa bahwa ada seorang tua renta tak berdaya selalu mengharap kedatangan mereka.

Semenjak kepergian anak-anaknya merantau ke kota, ia makin sering didera penyakit. Sakitnya bertambah parah setelah sekian lama menunggu, anak-anaknya tak jua pulang menemui. Yang diderita tak hanya pada tubuh yang makin rapuh, pada tulang yang sudah tak mampu menopang berdiri tegap, melainkan juga pada sakit perasaaan yang sudah lama terpendam.
Sementara waktu begitu sombong. Berlalu tanpa menghiraukan siapa dan memeduli-kan apa. Waktu tak pedulikan itu. Sementara anak ayam berkicau di samping rumah, en-tah berteriak mencari induk ayam ataukah meminta makan.

Dalam lamunan aku berkata, “Nek sepatutnya di saat sekarang ini kau tak sendiri. Seharusnya bukan ayam-ayam itu yang menemani hari-hari nenek.” Keseharian si nenek memang tak lepas dari mengurus anak ayam yang memang sudah ia anggap sebagai teman. Atau mungkin dianggap sebagai anak sendiri. Ia tak pernah lupa memberi mereka makan. Entah dengan bekatul, beras bahkan sisa makanan.

Kalau saja ayam-ayam itu adalah anak-anaknya pasti terasa senanglah hati nenek. Tak kesepian seperti sekarang ini. Meskipun dibiarkan bebas berkeliaran, toh mereka itu pada pulang di sore harinya. Angan sekedar angan. Tetap saja mereka tak akan menjelma jadi anak-anaknya yang telah lama pergi entah kemana. Tak pernah pulang, tak ada kabar.

Pernah suatu ketika, ia mendapati ada yang kurang pada anak ayam itu ketika pulang di senja hari. Panik ia bukan main. Ia lantas mencari ke setiap sudut. Berteriak. Teriak-kannya menjadi perhatian tetangga, termasuk ibuku. Meski dengan langkah tertatih ia te-tap mencari anak ayam yang hilang itu.

Tiap kali bertemu orang yang kebetulan berpapasan, pasti ia ditanya. “Apa kau meli-hat anak ayam milikku?” tanyanya masi dalam kepanikkan. Orang yang tak suka ditanya, menyebut dalam hati bahwa si nenek itu telah gila. Dalam benak ia berkata, kehilangan anak ayam saja, paniknya bukan main.

Entah kenapa tiba-tiba orang itu mendapat umpatan, “Dasar orang tidak tahu diri,” Kontan orang itu terkaget dan langsung beringsut menghindar dari umpatan si nenek. Si nenek marah. Indera dengarnya begitu tajam. Kata-kata itu tertangkap di telinganya. Dan orang itu lebih memilih menghindar bermasalah dengan si nenek.

Hari mulai gelap. Suasana hening. Sebentar lagi adzan magrib bergema. Di sekitar su-dah tidak ditemui suara decit anak ayam. Semua ayam milik penduduk sudah ngandang. Tak henti nenek itu terus mencari. Ia sempat kecedwa, namun buru-buru ia menepis. Ia yakin, anak ayamitu tak jauh dari sini.

Tak lama setelah itu terdengar suara decit anak ayam. Si nenek merasa yakin, suara itu suara anak ayam yang ia cari. Dugaannya benar. Ia mendapati kaki anak ayam itu kena jeratan seutas tali di sebongkah kayu hingga ia tak bisa bergerak.

Begitulah nenek yang tinggal bersebelahan. Saat ia merasa kehilangan anak ayam, gemparlah semua orang sekampung. Setiap orang yang jadi lawan bicaranya tak lepas dari obrolan tentang anak-anaknya yang hingga kini belum pulang.

***
Akhir-akhir ini aku tak pernah melihat si nenek itu duduk di beranda rumah tuanya. Seperti biasa, duduknya si nenek tidak lain mengharap anak-anak pulang menemuinya. Ia berharap bisa memeluk mereka. Sebuah keinginan yang hingga kini belum terwujud.

Perasaanku makin tak enak saja. Kebiasaanku menyapa tiap pagi saat ia duduk di pelataran rumah tak bisa aku lakukan lagi. Ia sudah jarang ada disana, entah kenapa.
Penasaran, aku memberanikan diri menemui nenek itu. Sebelumya aku hanya menemui dia di depan rumah saja. Tak pernah aku masuk ke dalam rumah. Pintu rumahku buka perlahan. Aku merasakan aroma aneh. Tapi coba kutepis.

“Nek…nenek,” aku menyapa. Tak ada sahutan. Sekali dua kali tak ada sahutan. Suasana rumah sepi. Jelaga bergelantungan di bawah langit-langit. Kakiku melangkah mencari dimana nenek berada. Mungkin ia sedang istirahat di kamar.

“Nek,”aku menyapa pelan sambil membuka pintu perlahan. Terdengar suara erangan tak berdaya. Ia terbaring lemah diatas tempat tidur kumal. Bekas merah kinang bercece-ran kering di lantai. Ternyata ia tengah bergelut dengan penyakit yang telah lama meng-gerogotinya.
“Nenek baik-baik saja?” tanyaku pelan. Saat aku bertanya, ia tengah sibuk mencari si-sa-sisa napas seolah hendak lepas. Nafasnya tersengal. Aku merasakan ia benar-benar ter-siksa.
“Nek, kenapa kau tidak mati saja menemui suamimu yang sudah meninggal beberapa puluh tahun lalu. Mungkin saja anak-anakmu sudah berkumpul di sana, dan tinggal me-nunggu nenek saja. Dari pada harus hidup seorang diri tanpa satu pun keluarga yang me-ngurus nenek. Anak-anak yang tega membiarkan hidup sendiri sampai saat ini tak per-nah memberi kabar. Sudah sukseskah jadi orang atau malah sebaliknya menjadi gelan-dangan hingga ia merasa malu dan tak mau pulang. Syukur kalau mereka masih hidup. Bagaimana kalau sudah mati, dimana mereka dikubur ia tak tahu,” kataku dalam hati.

Pyarr! Tiba-tiba aku tersadar. Pecahan gelas menyadarkanku dari lamunan. Hampir saja nenek itu terjatuh. Buru-buru aku menyangga tubuh lapuknya. Ah, nenek kenapa tak bilang mau ambil segelas air dalam gelas itu.

Lho, kenapa jadi aku yang menyalahkan nenek. Kalau aku tak melamun, mungkin tak begini akhirnya. Ini salahku. Aku melamunkan kondisi nenek renta yang hidup sebatang kara. Harapku sebaiknya ia cepat mati saja, agar deritanya tak berkelanjutan.

“Kamu jangan seperti anak-anak nenek,” ia seketika berujar. Dari ceritanya terlihat diwajahnya yang penuh tanya. Seolah-olah ia menyesal telah melahirkan anak yang tidak ada bakti sama sekali. Entah salah apa yang nenek perbuat. Nenek mencoba merenungi masa lalu.
“Iya Nek,” aku mengangguk pelan.

Lagi-lagi aku membayangkan. Anak macam apa yang tega membiarkan ibunya sendiri hidup tanpa ada yang menemani. Aku yakin, tak akan ada yang mau bernasib seperi nenek yang sedang berada di hadapanku ini.

Nek, aku berharap masa tua nenek tidak digunakan untuk mengumpat anak-anak nenek, apalagi sampai mengutuk jadi batu seperti dalam legenda Malin Kundang. Aku yakin, setiap kata yang terujar dari seorang ibu pasti nyata dan bernilai doa. Bukankah surga ada di bawah telapak kaki ibu.

“Nenek nggak bakalan mengumpat anak sendiri,” kata-kata itu terujar seketika dari mulut nenek. Sempat membuatku kaget. Pikir kecilku, apa ia tahu apa yang sedang aku pikirkan? Apa yang aku pikirkan hanya terucap dalam benak. Apa ia bisa membaca pikiran seseorang? Mudah-mudahan tidak! Itu hanya sebuah kebetulan. Tapi apa mungkin? Batinku berkecamuk.
“Setiap saat nenek selalu berdoa. Semoga mereka baik-baik saja. Nenek sudah tua. Nenek serahkan semuanya kepada yang kuasa,” katanya. Saat itu aku diam seribu bahasa dan hanya mendengar tiap kata yang terujar darinya.

Ia memintaku mengambil segelas air. Aku menurut saja dan langsung pergi ke dapur. Aku tak mendapati air di sana. Kering tak ada air tersisa meski setetes. Untuk masak air pun tidak memungkinkan. Dapur nenek sepertinya sudah lama tak berasap.

Aku ambil saja di rumah, pikirknya saat itu. Aku beringsut keluar menuju rumah untuk mengambil segelas air. Kubuatkan segelas teh pahit kesukaannya yang biasa ia minum. Aku tahu, ia tidak meminum air putih. Katanya air putih itu tidak berasa. Bahkan tak jarang memakan teh hitam sebagai camilan selain kinang. Teh hitam pekat selesai sudah kubuat. Aku bergegas menuju rumah nenek.

Sesampainya di sana, nenek malah tertidur. Aku coba membangunkannya. Tapi nenek tak menyahut. Kemudian aku duduk disampingnya. Maksudku biar ia bangun. Entah kenapa ia tak juga bangun. Cukup lama di sana. Setelah kupegang denyut nadinya, ternyata ia sudah tak bernapas.[]