Jumat, 19 September 2008

IMPIAN SEMU


Oleh : Ali Irfan

Keberadaannya begitu jauh dari jamahan kepedulian banyak orang. Tak sedikit orang memicingkan dan memalingkan wajah saat bertemu. Ia juga seorang manusia yang mempunyai mimpi. Namun untuk mencapai itu semua terasa berat. Panas terik menjadi hal yang biasa. Ia hanyalah orang kecil, orang-orang menyebutnya sebagai gelandangan dan pengemis. Di sebuah gubuk kecil, terlihat bocah kecil bercengkerama dengan ibunya.

“Mak, aku ingin jadi orang kaya,” kata Yitno kepada ibunya.

“Kamu jangan bermimpi, kita bertahan hidup saja sudah beruntung.”

“Yitno ingin sekolah, Mak. Ingin jadi orang pinter,” Yitno tetap ngotot. Namun tetap saja ibunya memberi jawaban yang sama. Keinginan Yitno dianggap sebagai igauan bela-ka, tak pernah ditanggapi serius.

Prayitno, nama lengkapnya. Tubuhnya kurus bersarungkan sarung sebagai selimut menemani waktu menjelang tidurnya malam itu. Ibunya menaruh harap agar anaknya bisa lekas lelap. Matanya yang masih terbuka lebar membuat ibunya merasa kelu harus menjawab apa selain jawaban yang sama. Ia sadar tentang keinginan yang ada dalam hati anak semata wayangnya. Ia sendiri lumayan heran, belakangan ini anaknya terlalu rewel dan banyak menanyakan yang macam-macam. Sampai-sampai bingung harus menjawab apa.

Pernah suatu ketika Yitno menanyakan dimana bapaknya. Mendengar itu, hati ibunya semakin tersayat, karena ia harus mengingat suaminya yang tewas mengenaskan saat kecelakaan tiga tahun lalu. Usia Yitno masih terlalu dini untuk mengetahui bahwa ayahnya telah tiada. Bocah itu berusia tujuh tahun. Di usianya yang sekarang, seharusnya sudah berada di bangku sekolah. Namun pada kenyataanya hingga saat ini ia masih belum.

Jangankan sekolah, untuk bertahan hidup saja sudah beruntung. Begitulah ucapan yang sering terujar dari ibunya agar Yitno tidak berpikiran terlalu muluk. Saat Yitno menanyakan keberadaan ayah, ibunya hanya menjawab, “Bapak ada di tempat yang jauh, suatu saat nanti kita akan menyusulnya.”

“Hari sudah malam, ayo cepat tidur. Besok pagi harus kerja. Kalau tidak mau makan apa nanti,” bujuknya penuh harap. Yitno pun menurut.

Ia sudah terlalu lelah seharian mengemis di jalanan hanya untuk bisa bertahan hidup. Pun halnya dengan ibunya. Ia harus pergi ke tiap-tiap rumah sekedar meminta sedekah belas kasihan.

Tak sedikit orang acuh. Menyebutnya hina dan jijik. Ada pula yang bilang pemalas. Hanya pura-pura saja. Sering pintu langsung ditutup saat datang. Pernah harus pulang dengan tangan hampa karena tak seorang pun memberikan sedikit apa yang dipunyainya untuk si pengemis itu.

Udara malam terasa dingin. Tubuh kurus sudah tergolek lelap bersama balutan sarung sebagai selimut. Tampak ia menggigil kedinginan. Sarung yang sudah koyak itu tak mampu menahan hawa dingin yang berhembus hingga malam itu. Bola lampu yang ada di ruangan itu bersinar redup. Membuat kantuk. Remang bola lampu berkekuatan 5 watt memaksanya tidur lebih awal.

Begitulah kehidupan Yitno sekarang. Bapaknya hanya mewariskan kemiskinan yang dibebankan pada ibunya. Bahkan anak seusia Yitno harus ikut memikul beban itu meskipun dengan meminta-minta. Mengemis sudah dijadikan profesi. Kemiskinan yang membelit dan tidak mempunyai ketrampilan apapun memaksa demikian. Walaupun terkadang tak tega melihat anak satu-satunya yang seharusnya berada di bangku sekolah, ia malah berada di jalanan, mengharap belas kasihan setiap oarang yang dihampirinya, mengharap kepingan atau lembaran rupiah yang di keluarkan dari saku ataupun dompet siapa saja yang ditemuainya.

Ia tak punya pilihan. Hidup harus bertahan meskipun dengan mengemis. Sebuah pekerjaan hina di mata kebanyakan orang. Malam semakin larut. Yitno sudah dari tadi terlelap dalam hidupnya meskipun hanya beralaskan tikar dan berselimutkan sarung yang sudah kumal. Sebelum tidur, ia berharap bisa mewujudkan keinginannya yang hingga saat ini belum tercapai. Harapan itu terus diucapkannya sebelum tidur seperti halnya malam kali ini. Harapan lain adalah menemukan mimpi indah yang seringkali terpotong pagi. Yah! Melanjutkan mimpi indah seperti kemarin. Padahal saat itu ia ingin tetap terus dalam tidurnya dengan balutan mimpi indah.

Seperti biasa setiap pagi harus berangkat. Apalagi kalau bukan mengemis di jalanan. Sepertinya hari itu hari indah bagi Yitno. Setiap orang yang dimintainya tanpa berpikir lama langsung memberinya lembaran uang ribuan. Lembar demi lembar ia terima dengan senang hati. Bahkan ada yang mengeluarkan dari dalam dompet dan langsung diberikan kepada Yitno. Sungguh jumlah yang banyak untuk ukuran pengemis.

Entah apa yang membuat mereka mau memberikan apa yang si pengemis minta. Mungkin karena kasihan melihat anak sekecil itu meminta-minta atau kasihan melihat tubuh kurus berbalut wajah memelas yang melekat. Yitno tak peduli atas dasar apa mereka memberi, yang penting baginya meminta dan menerima. Itu pun kalau dikasih. Kalau tidak, ia tak memaksa.
***
Sesaat Yitno melangkahkan kaki. Baru beberapa langkah ia bertemu dengan seorang laki-laki yang sedang berdiri santai di halte. Ia menghampiri lelaki itu untuk meminta-minta dengan mengulurkan tangan.

“Namamu siapa?” Tanya lelaki itu.

“Yitno, Om,” jawabnya singkat.
“Yitno, kamu tidak sekolah?”

“Nggak Om.”

“Orang tua kamu dimana?” kata lelaki itu.

Yitno diam sejenak setelah mendengar pertanyaan itu. Ia hanya punya seorang ibu, itu pun sama-sama mengemis.

“Ibu dan bapak Yitno ada di mana?” lelaki itu mengulang pertanyaan serupa.

“Ibu....,” ia agak ragu menjawabnya. Namun dengan perlahan ia berkata.

“Ibu mengemis juga. Kalau bapak, nggak tahu ada di mana? Tapi kata ibu, ada di tempat yang jauh. Suatu saat saya sama ibu mau menyusulnya.”

“Jadi Yitno disuruh ibu untuk mengemis, begitu?”

“Ya, Om,” jawabnya polos.

“Yitno mau sekolah?”

“Sekolah?” katanya

Tanpa pikir panjang ia langsung mengiyakan tawaran si lelaki itu. Sebuah kebetulan, sekolah adalah keinginan terbesar. Kapan lagi bisa sekolah, pikirnya polos. Saat itu juga ia diajak lelaki itu ke sebuah toko baju untuk membeli seragam sekolah dan sepatu. Tangan kurusnya digandeng oleh lelaki setengah baya itu.

Ketika itu, telapak kakinya tak beralaskan sandal, apalagi sepatu. Alas kaki ketika itu ya telapak kakinya. Meski tak beralas, ia tak terganggu. Telapaknya sudah kebal terhadap duri-duri yang berserakan di jalan. Panas jalan beraspal tak memberikan pengaruh bagi Yitno untuk melangkah.

Rasa senang menyelimuti wajahnya. Tak sedikit pun ia menaruh curiga pada lelaki itu. Bahkan sama sekali tak pernah terbersit dalam pikiranya apakah lelaki yang ditemuinya itu adalah seorang penculik, penjahat, atau bukan. Sama sekali tak ada dalam pikiran Yitno saat itu. Lagipula kalau diculik, mau ditebus pakai apa?

Sesampainya di toko baju lelaki itu tampak sibuk memilihkan baju untuk si bocah kurus itu.

“Yitno, coba yang ini.” Yitno pun hanya menurut saja.

“Ini terlalu besar, “ komentar lelaki itu sesaat setelah baju itu dikenakan Yitno, dan langsung menggantikan dengan baju lain.
“Nah, kalau yang ini pasti pas, ayo coba yang ini.”

Baju itu langsung dikenakannya pada Yitno. Memang benar. Baju itu pas di badan Yitno.

“Ya sudah, Mbak, yang ini saja sama sepatu itu.”

Si lelaki itu mengeluarkan dompet di saku belakang celananya dan diambilnya bebera-pa lembar uang untuk dibayarkan di kasir.

Lelaki itu itu ikut mengantar Yitno sampai ke rumah. Sesampainya di depan rumah lelaki itu beranjak pamit tanpa terlebih dahulu masuk ke rumah sederhana yang ditempati Yitno dan Ibunya.

“ Mulai besok, Yitno akan Om jemput dan langsung ke sekolah.”

“ Terima kasih, Om.”

“ Jangan panggil Om. Panggil saja bapak.”

“ Ya, Om, eh Pak.”

Yitno melangkah dengan wajah riang. Kedua tangannya menenteng dua bingkisan seragam sekolah dan sepatu. Tak sabar Yitno ingin menceritakan apa yang baru saja dialaminya di hari itu. Ibu pasti senang, pikir Yitno saat melangkahkan kaki menuju rumah. Sebuah rumah kecil yang letaknya di tengah-tengah pemukiman kumuh.

“Mak, Yitno pulang.”

Saat itu ibunya di dapur yang letaknya menyatu dengan ruang tamu. Ia langsung menemui ibu yang sedang menyiapkan makan siang, dan langsung menyerahkan uang hasil mengemis hari itu.

“Makan dulu, ibu sudah siapkan sayur asam dan tempe goreng dengan sambal kesukaanmu.”

Yitno meletakkan kedua bungkusan itu dan langsung mengambil piring untuk makan.Yitno menciduk nasi yang memang tinggal sepiring. Dituangkannya sayur asem dan tempe goreng. Baru saja mau memasukkan suapan pertama, ia dikejutkan teriakan ibunya.

“Yitno, apa ini!”

“Kau dapat dari mana? Kau mencuri!,” Yitno terkesiap. Tiba-tiba saja ibunya menghujani dengan pertanyaan seputar bingkisan itu. Seketika Yitno langsung diseret dari tempat ia duduk. Sang ibu langsung mendaratkan gagang sapu di pantat Yitno. Ia mengaduh kesakitan.

“Ampun bu, ampun. Saya tidak mencuri.”

“Bagaimana mungkin kau bisa dapatkan barang itu kalau tidak mencuri.” Gagang sapu masih bertubi-tubi mendarat di pantatnya. Sementara ia masih tetap pada pendiriannya tidak mencuri.

“Kita ini memang pengemis, miskin dan tak punya apa-apa. Ibu tak pernah mengajarkan kamu mencuri.”

Bocah kecil itu masih tersedu. Tak diberi kesempatan membela diri, untuk bicara yang sebenarnya bahwa dirinya tidak mencuri. Teriakan dan pukulan ibunya jauh lebih kuat dibandingkan dengan tubuhnya yang kurus.

“Kalau begitu, dari mana kau dapatkan ini.”
Suasana mendadak hening. Ia menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Ibunya hanya diam terpekur, matanya menatap kehampaan. Ibunya sadar bahwa anaknya benar-benar ingin masuk sekolah seperti halnya anak-anak seusianya. Namun, rasa-rasanya tak mungkin bisa membiayai sekolah. Penghasilan mengemis hanya cukup untuk makan, tidak lebih.

Suasana haru menyelimuti keduanya. Kini giliran ibunya menitikkan air mata. Nasi yang tadi hendak disantap dihinggapi lalat yang terbang kesana-kemari. Tempe gorengnya sudah tenggelam dalam genangan sayur asem yang sudah tak hangat lagi.

“Baju dan sepatu ini dibelikan seorang bapak yang Yitno temui di jalan buat sekolah.”

Baru saja terucap, ibunya tersentak kaget. Dahinya membentuk gelombang guratan. Ia langsung memeluk erat bocah kecil itu. Perempuan itu teringat suaminya. Mau tidak mau ia harus mengatakan yang sebenarnya meskipun pahit. Menceritakan bahwa ayahnya telah meninggal.

“Bapak Yitno ada di tempat yang jauh. Ia sudah tidak ada di sini lagi.”

“Tidak! Bapak Yitno belum mati. Bapak menyuruhku sekolah. Besok Yitno mau diantar ke sekolah.”

“Yitno, ia bukan bapakmu!” perempuan itu membentak.

Bocah itu tetap berkeras ia menemukan ayahnya. Ibunya kembali memeluk erat lantaran tak bisa berbuat banyak. Hari mulai gelap. Suasana lengang. Sunyi senyap.

Malam ini sengaja Yitno tidur lebih awal, karena besok pagi ia harus sekolah.

“Mak, besok bangunkan Yitno pagi-pagi ya,” katanya.

“Ya.” Jawab ibunya sambil meletakkan bingkisan baju dan sepatu di tempat tidur. Uahm,Yitno memejamkan matanya dan lelap.

***
Pagi yang dinanti tiba.Yitno beranjak dari tempat tidur dan segera mandi. Melihat tingkah anaknya yang tak biasa, perempuan yang tak lain ibunya merasa keheranan. Ketika itu ibunya baru selesai shalat subuh.

“Mak, baju dan sepatu Yitno mana?”

“Baju dan sepatu yang mana?”

“Baju yang kemarin dibelikan sama bapak itu,”

“Kau mimpi lagi, ya.”

Mimpi lagi. Ah, saya masih ingat benar bapak itu yang membelikan baju dan sepatu itu kemarin untuk sekolah.”

Ibunya sudah menganggap hal ini sudah biasa. Kemarin juga mengalami hal yang sama seperti saat ini. Paling sebentar lagi juga sadar bahwa apa yang dialaminya itu adalah mimpi.

Sejak ia sering bermain dengan anak Pak Lurah, keinginanya untuk sekolah begitu besar. Wajah Yitno berubah menjadi lain saat ibunya berkata, “Kau baru saja mimpi, Nak.”

Sejenak teringat pada bapak Yitno saat masih hidup. Walau kehidupannya tak jauh beda dengan sekarang, tapi jauh lebih baik. Keinginan ayahnya menyekolahkan Yitno begitu besar. Sampai-sampai ia rela makan satu kali sehari. Rencananya sebagian besar penghasilan sebagai tukang becak, mau ditabung buat biaya sekolah.

Peristiwa naas menimpa saat tengah menarik becak di siang hari yang panas. Dari arah belakang melaju sebuah mobil kijang berkecepatan tinggi hendak menyalip truk. Dari arah berlawanan juga melaju sebuah mobil bak terbuka yang melaju dengan kecepatan sama. Tabrakkan tak terelakkan. Saling hantam. Mobil kijang terlempar ke arah becak yang sedang melaju di pinggir jalan yang tak lain ayahnya Yitno.

Sekarang Yitno dan ibunya harus bertahan untuk melanjutkan hidup. Suratan memu-tuskan keduanya menjadi gelandangan dan pengemis. Sampai kini, keinginan Yitno ma-sih membekas dalam hatinya. Impian itu tak akan pernah pudar. Ia yakin suatu saat, im-pian itu akan ia dapatkan.

Tidak ada komentar: