Sabtu, 11 April 2009

Kesalahan Terindah adalah Menyatakan Cinta


“Aku mencintaimu, kata-kata ini tidak akan pernah aku ucapkan pada satu orang perempuan pun kecuali satu, dia adalah ******* *****1!”

Satu kesalahan terindah adalah mengungkapkan perasaan cinta kepada lain jenis. Itu adalah kesalahan yang teramat fatal, sebab cinta hanya berhak dirasakan, diutarakan, diungkapkan hanya dan hanya jika setelah melalui proses ikatan pernikahan. Itulah cinta yang sebenarnya.
Kalau ada yang menyatakan cinta sebelum pernikahan itu berlangsung, itu sama saja omong kosong. Kalau pun aku, kau, atau dia terjebak melakukan itu, itu sama saja berarti melakukan kebohongan. Ketika sadar bahwa itu sebuah kesalahan, mari kita sebisanya, semampunya, untuk bisa lebih berhati-hati baik dalam bersikap, berucap, maupun bertindak.
Cinta itu sejatinya indah, bukan sebaliknya. Itu yang perlu digarisbawahi. Ketika ada cinta yang menyakitkan, itu perlu dicurigai kalau itu sebenarnya bukan cinta. Cinta itu, sekali lagi, indah!

Saya kadang bertanya, apakah selama ini kekhilafan, dimana banyak orang terjebak di dalamnya, berlandaskan pada kesungguhan atau hanya sebatas permainan belaka kata? Apa benar yang selama ini diungkapkan adalah sebenarnya cinta?
Dalam pencarian tentang makna cinta, saya menemukan sebuah hadits yang isinya sebagai berikut.

“Ada seseorang berada di samping Rasululllah Saw, lalu salah seorang sahabat berlalu di depannya. Orang yang disamping Rasul tadi berkata, ’Aku mencintai dia ya Rasulullah...’ ‘Apakah kau telah memberitahukan kepadanya?” jawab Rasul. Orang tersebut menjawab belum. Lalu nabi berkata,’Beritahu dia.’ Kemudian orang tersebut memberitahukan kepadanya sambil berkata, ‘Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah,’ Orang yang dicintai itu menjawab,‘Semoga Allah mencintaimu karena kau mencintaiku karena_Nya’2

Syahdan, ada seorang lelaki mengirimkan hadits itu melalui pesan singkat kepada sebuah nama, seorang perempuan. Ia sendiri tak tahu bagaimana bisa mengirimkan kepadanya. Apa naluri lelakinya yang bergerak dan langsung menemukan namanya.

Ia tertegun setelah melihat pesan di item terkirim di ponsel. Tertegun ia menatapnya. “Apa benar yang saya lakukan ini? Apa tidak akan menimbulkan beragam tafsir atau kesalahpahaman, mungkin?” kata lelaki itu dalam benaknya.

Ah, mudah-mudahan saja tidak. Perempuan itu, pikirnya, adalah seorang muslimah yang mengerti akan ini. Lagipula ia tak menambahkan atau mengurangi redaksi dalam hadits itu. Ia mengirimkannya dalam bentuk utuh.

Satu hal yang tidak disengaja, ternyata ia juga mengirimkan pesan yang sama kepada satu nama lain. Pesan itu langsung beroleh respon, dan menanyakan apa maksudnya. Tanpa pikir panjang, ia jawab saja apa adanya, kalau itu hadits. Sudah hanya itu.

Tampaknya jawaban itu tak membuat ia puas, sampai-sampai perempuan itu menegaskan pertanyaannya lagi. “Iya tahu itu hadits, tapi apa maksudnya?” Ielaki itu hanya diam, membiarkan dirinya larut dalam beribu penafsiran, menerka maksud mencari makna. Wajar perempuan itu ingin tahu jawaban yang sebenarnya lantaran lelaki itu pernah menyatakan sesuatu yang membuat hatinya menjadi bergetar, “Aku mencintaimu karena Allah”

Kini pernyataan itu menjadi bahan renungan buat lelaki itu. Apakah benar ia mencintainya karena Allah? Bukankah cinta itu hanya berhak dirasakan setelah menikah? Memang sepenuhnya ia sadar, tindakan itu adalah sebuah kesalahan (terindah). Lebih-lebih dalam hatinya sempat berkomitmen, untuk mengungkapkan itu hanya pada perempuan yang telah ia nikahi nanti.

Ya, ikrar itu telah ia langgar dengan mengatakan cinta kepada perempuan sebelum menikah. Meski belum ada kesepakatan diterima atau tidak tapi itu menyisakan satu penyesalan yang teramat dalam. Jawaban yang diperoleh ketika menyatakan hanya berupa, “Bismillah saja, kita lihat saja nanti ke depan.”

Begitulah kisah lelaki itu. Petualangan cinta lelaki itu sejatinya menarik untuk dikisahkan lantaran ada semua unsur pendukung untuk membuat cerita. Ada alur, konflik, plot, setting, dan juga tokoh tentu saja. Saya juga menangkap beragam ekspresi (bahagia, kecewa), dialog-dialog menarik.

Belakangan, Putri Salju mengabarkan kepadaku mengenai hadits itu. Hadits yang aku kirimkan kepadanya karena begitu penasarannya aku. Ia memang tak langsung merespon ketika saya meminta komentarnya tentang hadits itu, apakah itu bisa dijadikan landasan seseorang untuk menyatakan cinta.

Putri Salju ternyata mendiskusikannya dengan orang-orang yang capable untuk masalah ini. Hadits itu memang benar adanya, tetapi itu tidak berlaku jika menjadi dalil seseorang menyatakan cinta kepada lawan jenis, Hadits itu lebih bermakna kepada satu ikatan dalam bingkai cinta ukhuwah!

Jadi, jika ingin merasakan betapa indahnya cinta, maka menikahlah!


1. Istriku nanti
2. Hadits Riwayat Anas bin Malik.




Bagaimana Kau Mencintaiku?


Syahdan, secara tiba-tiba pertanyaan itu muncul dan tertuju pada seorang lelaki, dari seorang perempuan. Awal, ia tak bisa menebak bagaimana pertanyaan itu bisa muncul kepadanya. Tapi satu kepastian ia dapatkan beberapa waktu berikut, kalau ternyata itu adalah sebuah respon dari surat yang pernah lelaki kirimkan kepada perempuan yang memberikan pertanyaan itu : Bagaimana kau mencintaiku?

Sebenarnya isi surat itu lebih merupakan pada satu sikap pasrah atas segala usaha yang kini tengah ia perjuangkan untuk mendapatkan cinta perempuan itu. Satu sikap pasrah yang hanya pantas ditujukan kepada_Nya, bukan yang lain!

Hatinya bergetar mendapat pertanyaan itu tiba-tiba. Nyaris ia tak bisa berkata apa-apa. Satu pertanyaan sederhana, namun tak sesederhana ketika harus memberikan jawabnya.Yang lebih membuatnya tercengang, pertanyaan itu terujar dari lisan seorang perempuan dengan begitu tenangnya. Bagaimana kau mencintaiku? Ah, pertanyaan itu benar-benar mengganggunya.
Di tengah bergetarnya hati, berdegupnya jantung, ia pun menjawabnya.
“Saya mencintaimu karena Allah!”

Lelaki itu menjelaskan pula, pula kalau sebenarnya perempuan itu memang ada dalam semua kriteria yang diidamkan, seperti yang dirinya tulis dalam daftar cinta di buku harian. Daftar cinta adalah salah satu bentuk model keinginan yang ia harapkan, ia impikan, lalu ia tuliskan di catatan harian. Tampaknya ia salah satu orang yang memercayai relativitas (hukum ketertarikan). Ketika menarik keinginan, maka keinginan itu akan mendekat!
“Dengan perasaan cinta itu pula saya bisa menulis beberapa cerpen, yang memang sepenuhnya terinspirasi darimu,” jawabnya lagi.

Dan ternyata, semua jawaban yang ia lontarkan belum memberikan jawaban sebenarnya. Ia sadar itu, lantaran menjawab dengan ketergesaan di tengah gelisah hati yang menghunjam. Namun, dari situlah, muncul pertanyaan,

“Jawaban seperti apa yang kau harapkan, perempuanku?”
Begitu perempuan itu meminta jawaban selengkapnya, ia pun berusaha memberikannya dengan lebih dulu menenangkan hati yang bergetar.

“Sebenarnya ada satu hal lagi jawaban yang akan saya berikan. Hanya saja, jawaban itu akan kau dapatkan kalau memang kau sudah jadi istriku nanti. Itu artinya ada satu hal yang tak ingin aku ceritakan bagaimana seharusnya aku mencintaimu, karena sebenarnya perasaan cinta dan bagaimana seharusnya itu hanya dan hanya jika bila dirasakan pada muara yang satu, yakni ikatan pernikahan. Karena kau memang belum menjadi istriku, jawaban yang lengkap pun belum kau dapatkan, akan kujawab nanti setelah menikah!”

“Ya, itulah jawaban yang saya inginkan untuk pertanyaan itu.”

Oh iya, kau tentu penasaran seperti apakah surat itu, sampai perempuan itu melontarkan pertanyaan, bagaimana kau mencintaiku? Begini isi lengkap surat itu:

Sudah cukup lama aku mengenalmu, dan selama itu pula kau mengenalku. Dan semasa perkenalan itulah sempat muncul getaran lain ketika aku berada dekat denganmu. Mengenai apa yang aku rasakan, sudah aku utarakan kepadamu. Mengenai seperti apa hasilnya, itu sudah menjadi keputusanmu. Meski kita tak bisa menerka, apa yang akan terjadi kelak, apa kau akan bersanding denganku, atau sebaliknya.

Kalau pun itu sudah benar-benar menjadi keputusanmu, dan sudah dipertimbangkan secara matang, aku menerima. Dan, ini bisa menjadi pelajaran berharga buatku bagaimana seharusnya saya berbuat, bersikap, dan juga berucap ketika menghadapi permasalahan yang sama seperti yang pernah terjadi antara aku terhadapmu.

Pengalaman itu membuatku semakin mantap untuk berketetapan, apa yang akan aku ucapkan, lakukan, dan aku pikirkan sehingga menjadi sesuatu yang bernilai ibadah. Semua dilakukan semata-mata demi menjaga diri. Dan, kalau pun saya menemui pengalaman yang sama, saya akan mengatakan langsung dengan satu pernyataan,

"Maukah kau bicara soal masa depan denganku?"

Atau bisa juga dengan ungkapan yang ini,

“Maukah kau menjadi ustadzah buat anak-anakku nanti?”

Saya pikir pertanyaan ini adalah kalimat sederhana, dimana kalau dia mau, ya Alhamdulillah, dan itu berarti rencana bisa diteruskan. Bila tidak ya tidak mengapa, toh ibadah nikah, tidak harus selalu dengan dia. Dengan siapapun tetap dapat pahala, asal ikhlas sama ikhlas. Daripada lama terkatung katung, antara rindu dan ketidakpastian, kan lebih baik segera ditanyakan. Oke atau tidak, selesai :).

Itu bisa berarti, aku harus mengulangi pertanyaan ini secara tulus pada muslimah lain. Yang penting, aku sudah punya kesiapan menghadapi kenyataan. karena itu adalah modal awal dari hilangnya kegundahan.

Aku meyakini, bahwa yang akan menjadi istriku hanyalah yang ditakdirkan_Nya untuk menjadi istriku. Walaupun seseorang telah memakai gaun pengantin, telah duduk dua saksi dan bertatap wajah dengan penghulu, kalau bukan jodoh kita dalam catatan takdir, maka kita tidak akan pernah bisa kita raih sebagai istri. Sebaliknya kalau memang seseorang itu memang jodoh kita dalam kehendak_Nya, maka sekalipun sekarang masih berada di ujung kutub utara, maka Allah akan hantarkan ia kepadaku, atau aku yang dihantarkan_Nya untuk menemuinya dia.

Memang takdir tidak bisa dipaksa. Kalau tidak mau, yang lain pasti mau!
Siapa yang lain itu? Ya aku cari lagi dan tanyakan lagi seperti tadi.

Sederhana bukan pemikiranku? sepanjang kita siap menerima siapapun yang ditakdirkan_Nya buat kita, maka Insya Allah hidup ini akan terasa mudah, indah, berkah dan bernilai ibadah.
Dan, ketika nanti aku menemukan pengalaman yang sama, dan aku tidak mampu mengungkapkannya secara lisan, maka akan aku kirimi dia surat. Surat itu sudah aku siapkan, dan sewaktu-waktu siap untuk dikirimkan. Lebih jelasnya, surat itu aku lampirkan seperti yang tertulis di bawah ini.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـنِ الرَّحِيم

Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan setiap sesuatu berpasang pasangan.
Dan Dialah yang menjadikan manusia berjodoh jodoh, agar hadir kedamaian hati
dalam kebersamaan pada ikatan nikah tadi, bersemi kasih dan berkembang cinta
bersama waktu yang dijalaninya.

Biru...(Akan kupanggil ia dengan sapaan yang ia sukai) cukup lama saya mengenalmu, demikian juga kau terhadapku. Kau mengenal kekurangan yang ada pada diriku, saya pun mengenal kebaikan kebaikan yang ada pada dirimu. Begitu juga sebaliknya. Hari ini lengkap dengan segala kekurangan dan kelebihan yang ada padaku, sepenuhnya menyadari kelebihan dan keterbatasanmu. Dengan keyakinan bahwa Allah tidak akan membiarkan hambaNya. Maka hari ini kuutarakan niat bulatku untuk mengajakmu menjalani kehidupan keluarga, aku mengajakmu untuk beribadah memelihara diri dan keluarga dari api neraka. Bersamamu kita membesarkan anak anak kita. Tak ada yang kujanjikan kepadamu, selain harapan hidup lebih baik di sini dan nanti, lewat kepaduan dan saling memahami dan mengerti antara kita.

Kalau berpikir bahwa ide ini layak untuk dipertimbangkan. Maka marilah kita masing masing berdo'a :

“Ya Allah kalau dia (aku sebutkan namamu dalam do'aku dan kau sebutkan namaku dalam do'a mu. OK ?) baik buat akhirat saya, agama saya dan dunia saya, Maka jadikanlah hati saya mudah untuk menerima dia dan lapangkanlah jalan kami untuk melangsungkan pernikahan dan hidup tentram sesudahnya. Tapi bila dalam pandanganMu, dalam Ilmu Mu yang Maha Meliputi segala sesuatu, ternyata dia tidak baik buat akhirat saya, agama saya dan dunia saya. Maka mudahkanlah saya untuk mendapatkan yang lebih baik dari dia, dan mudahkanlah dia untuk mendapatkan yang lebih baik dari saya. Padamu kami bertawakkal, dan padaMu kami berserah diri.”

Insya Allah, akan ada petunjuk dari Allah untuk kita. Sehingga mudah bagimu untuk memberikan sebuah keputusan atau lebih tepatnya sebuah jawaban menerima/menolak ajakanku. Kalau iya, maka mari kita bicarakan kelak, apa yang harus kita persiapkan, sehingga masing masing kita bisa hadir dalam sosok yang lebih baik lagi dari sekarang ketika berganti posisi dari ’kakak - adik’ menjadi istri atau suami.

Dan kalau pun tidak, aku tidak menyesal, semoga saja kau mendapatkan yang lebih baik dariku, sebagai mana aku pun mendapatkan yang lebih baik darimu. Dan apa yang telah terjalin di antara kita tetap akan menjadi bagian yang sangat indah dalam hidupku. Aku takkan melupakannya. Kita akan tetap sebagai ‘kakak-adik-. Setidaknya dengan kepastian jawabanmu,. aku berhenti berangan angan, ingin menjadikan kau sebagai istriku.


Bila di dunia ada syurga,
Maka itulah kehidupan rumah tangga yang romantis dan harmonis.
Bila di dunia ada neraka,
Maka itulah kehidupan rumah tangga yang tak selaras.

Bahagialah mereka yang diamnya berfikir,
memandangnya mengambil pelajaran,
mendengarnya mengambil hikmah,
dan dalam tindakannya orang mengenal indahnya Islam.