Pelangi itu punya ragam warna memikat. Seperti warna-warna itulah, apa yang tersuguhkan saya harap bisa mewarnai seperti pelangi. Saya hanya mencoba menangkap makna disebalik kata. Mencari, mengurai dan merangkai fakta yang digabung dengan imajinasi hingga menjadi sebuah kisah, seperti dalam cerita pendek. Sebagian besar cerita ini terinspirasi dari kisah nyata, kisah saya sendiri. Selamat membaca!
Senin, 08 September 2008
BERLABUH DI MERAPI
Pagi-pagi merapi masih diselimuti kabut tebal. Hamparan hijau tampak sejuk dipandang dan rapi. Gemericik air sungai riuh meramaikan suasana pagi. Sementara buluh embun masih menempel di atas daun-daun dan rerumputan. Pak Karso masih belum beranjak dari tempat tidurnya. Sehabis shalat subuh, ia langsung memeluk bantal melanjutkan tidur yang sempat tertunda semalam.
Siang nanti rencananya akan merumput untuk kawanan mendo di belakang rumahnya. Pagi-pagi rumput masih basah sehingga ia masih belum mau beranjak. Sementara Mbok Dijah, istri Pak Karso sedari pagi sudah berasap di dapur, seperti biasa menyiapkan sarapan, persiapan untuk makan siang hingga makan malam. Di Jawa, sudah terbiasa memasak sekaligus untuk makan satu hari.
Setelah selesai mengasap seperti biasanya Mbok Dijah berangkat ke sawah untuk menyiangi rerumputan liar yang tumbuh di ladang miliknya. Di atas petak sawah, tumbuh padi yang mulai menguning. Tidak untuk waktu yang lama, padi yang sudah menguning itu akan segera dipanennya. Biasanya selepas dari sawah ia mampir ke hutan mencari kayu bakar. Jarak tempat mencari kayu bakar dari sawah tidak terlalu jauh, tempatnya bersebelahan.
Matahari perlahan menanjak, sengatan di kala siang terasa begitu hangat. Pak Karso sudah berangkat merumput. Dengan ditemani keranjang dan sabit ia mulai membabat hijau rumput yang tumbuh subur di kebun, bahkan tak jarang untuk mendapatkan rumput segar ia sempatkan mendaki hingga ke tengah-tengah Merapi. Naik turun bukit sudah menjadi hal biasa bagi Pak Karso.
Ditatapnya gundukan tanah kokoh yang menjulang tinggi dihadapannya, alih-alih melihat kepulan asap dari puncak merapi. Tak lama setelah itu, kembali ia merumput, keranjangnya masih setengah diisi rumput. Sebelum rumput itu penuh dan keranjang tak mampu menampungnya, ia tak akan pulang. Pantas saja, ternak pak Karso gemuk-gemuk. Padahal tubuhnya tak segemuk kawanan kambing yang ia pelihara. Kurus tapi masih kuat menempuh kiloan jarak menanjak. Akhirnya, keranjang itu penuh dengan rumput dan pak Karso pun bersiap-siap untuk pulang.
***
Terkejut Pak Karso ketika sampai di perkampungan, lalu lalang semua warga dengan bawaannya masing-masing. Ibu-ibu dengan bayi yang digendongan, bapak-bapak dengan beban pikulan di kedua pundak bahkan ada yang dibuntal dengan kain sarung. Entah apa yang ada dalam buntalan kain itu, beras, hasil kebun ataukah helai pakaian. Bahkan ada warga yang menggandeng, memboyong puluhan hewan ternak!.
Diletakkannya beban rumput yang melekat dibelakang pundak Pak Karso. Ia menatap heran. Semua-mua orang sibuk mengungsi.
“Merapi dalam keadaan bahaya!” ucap seorang warga kepada Pak Karso.
“Merapi mulai bereaksi!” ucapnya lagi.
Ada apa dengan Merapi? ucap Pak Karso sambil menatap gundukan tanah yang menjulang yang tampak kokoh dihadapannya.
Tampak ada beberapa petugas, entah dari instansi mana, melakukan sweeping terhadap warga untuk segera mengungsi dari pemukiman dekat Merapi. melihat hal semacam itu, Pak Karso malah makin kebingungan, tak mengerti.
“Merapi dalam keadaan bahaya, demi keselamatan, diharapkan semua warga yang berada di lereng merapi agar secepatnya mengungsi,” ucap seorang petugas menggunakan megaphone.
“Tak ada yang aneh dengan Merapi.” ucap Pak Karso kepada petugas itu.
“Merapi mulai bereaksi dan diramalkan untuk waktu yang tak lama akan meletus. Merapi dalam keadaan bahaya. Semua warga diharuskan mengungsi,” jelas petugas.
Pak Karso tak menyambut baik penjelasan petugas itu, baginya tak ada yang aneh dalam merapi. Merapi tak akan meletus, pikirnya.
“Sudah puluhan tahun saya hidup dengan merapi. Hari-hari saya ditemani merapi dan bahkan untuk makan pun dari gundukan tanah ini,” kata Pak Karso sambil menatap Merapi.
“Semua warga selama ini berhubungan baik dengan Merapi. Dan saya lebih mengenal merapi daripada saudara. Bagaimana mungkin saya akan meninggalkan Merapi,” katanya berbicara seorang diri dalam hati.
Belum terlihat oleh Pak Karso ada tanda-tanda merapi akan meletus, seperti belum terlihatnya binatang-binatang semisal harimau, kera, rusa yang turun dari gunung, semua akan baik-baik saja, Pak Karso membatin.
Sementara petugas itu kembali menyerukan warga untuk mengungsi. Rumah Pak Karso berada di pinggiran lereng merapi dan jauh dari pemukiman penduduk sekitar. Dengan tak menghiraukan lalu lalang orang mengungsi, ia mengangkat kembali keranjang rumput yang tergeletak di atas tanah dan membawanya ke rumah. Sesampainya di rumah ia mendapati Mbok Dijah, istrinya sudah tidak ada di rumah.
Kawanan mendo yang ada dibelakang rumah masih ada di kandang. Kambing-kambing itu tampak tak tenang, terdengar suara berisik debukan kaki-kaki kambing Pak Karso, mungkin lapar. Ternyata benar. Di kandang tak tersedia rumput hijau untuk disantap kambing miliknya. Buru-buru ia menaruh hasil merumputnya dan cepat-cepat diberikan kepada kambing yang sedari tadi mengembik tak karuan.
Tiba-tiba pikiran Pak Karso tak tenang, ia dihinggapi gelisah yang tiba-tiba menyerang. Sementara suasana di sekitar tampak lengang. Kopi yang selalu disediakan Mbok Dijah seusai merumput pun tak tersaji, ia tak tahu entah sedang ada di mana istrinya sekarang. Ia mendapati sepi di rumahnya.
Grrunngn!!!!, tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Hal itu membuatnya semakin panik di kesendirian. Suara gemuruh itu membuat sedikit getaran, sampai-sampai kursi yang ada di dekat meja menjadi sedikit bergeser. Ia benar-benar merasakan getaran itu, cepat-cepat ia menunduk. Getaran itu tak lama dan keadaan kembali tenang, sunyi. Merasa keadaan sudah aman, tanpa pikir panjang, ia bergegas keluar rumah, menyusul istrinya yang entah ada mana. Pak Karso mendapati kesunyatan, di perjalanan ia tak mendapati orang berlalu lalang, apalagi berpapasan dan saling sapa. Saat itu benar-benar dalam keadaan lengang. Ia terus berjalan seorang diri dengan langkah kaki yang dipercepat.
Di tengah perjalanan, mendadak langkahnya terhenti. Beberapa jenak ia berdiri dan berpikir, teringat kawanan mendo yang ditinggalkannya di rumah. Bagaimana mungkin, aku pergi tanpa mendo, pikirnya. Setelah berpikir beberapa jenak, ia memutuskan untuk kembali ke rumah dan membawa kawanan mendo untuk diikutkan bersamannya. Terpaksa, ia menyusuri balik jarak yang tadi ia tempuh. Perasaan khawatir akan mendo miliknya terpandar dari raut wajah yang menyimpan seribu kecemasan akan kambing-kambing miliknya.
“Bapak hendak ke mana, semua warga sudah mengungsi ke utara,” ucap salah seorang petugas yang tadi siang ditemuinya. Pak Karso pun menghentikan langkahnya.
“Aku akan membawa mendo milikku yang masih ada di kandang, kasihan mereka nggak ada yang ngurus,” jawab Pak Karso ringan.
“Keselamatan bapak lebih penting, bapak sebaiknya ikut saya ke kamp pengungsian,” tawar petugas itu.
“Tidak. Aku akan tetap membawa kawanan mendoku untuk aku ikutkan dalam pengungsian. Saya tidak akan pergi tanpa mendo milikku,” Pak Karso tetap berkeras dalam pendiriannya.
“Bapak ke sana dulu saja, nanti saya menyusul,” ucap Pak Karso. Tanpa menghiraukan petugas itu, Pak Karso melanjutkan langkah menuju rumah. Tak berselang lama, ia pun sampai di rumah. Namun ia terkejut saat menuju belakang rumah, ia mendapati pintu kandang dalam keadaan terbuka. Kawanan mendo miliknya pun tak ada. Ia panik bukan kepalang. Saat itu ia terburu-buru pergi, sampai-sampai ia lupa untuk menutup pintu kandang.
Terdengar lirih suara embikan dari jarak yang tak begitu jauh dari tempat dimana Pak Karso berada. Cepat-cepat Pak Karso mengarahkan pendengarannya kearah suara embikan itu, alih-alih itu adalah suara embikan kambing miliknya. Dugaan Pak Karso tepat, kawanan kambing miliknya sedang berjalan menuju selatan ke arah merapi!. Pak karso berlari mengejar kambing-kambing yang sedang bergerak menuju selatan. Ia begitu heran, semakin cepat ia melangkah, semakin jauh pula kambing-kambing itu dari penglihatannya. Sampai-sampai jarak kawanan kambing bergerak tak terjangkau oleh kedua matanya yang sudah tua. Padahal arah selatan adalah arah menanjak, ke puncak Merapi!
Pak Karso tampak letih, ia tak bisa melanjutkan langkahnya menanjak, sementara kawanan mendo miliknya masih terus menanjak tanpa menoleh sedikitpun ke arah Pak Karso yang sedari tadi membelakanginya. Kawanan kambing itu semakin menuju puncak. Bentuknya mengecil, mengecil dan mengecil hingga hilang diujung pandangan mata. Tatapan mata Pak Karso tertuju pada puncak merapi tempat kawanan kambing miliknya berada. Subhanallah, kawanan kambing itu mencapai puncak yang mengeluarkan asap!
Terlihat jelas oleh Pak Karso kepulan asap yang membumbung dari kawah puncak merapi. Semakin lama kepulan asap itu semakin membesar disertai getaran dan hentakan yang cukup berat. Disertai bunyi kedebam, batu-batu bermuntahan dari dalam merapi, tak berselang lama muncul sesosok yang tak asing bagi Pak Karso dari puncak merapi.
Sosok itu mirip dengan beberapa mendo miliknya, tetapi dalam wujud besar dan bertanduk. Kepulan asap seolah berubah menjadi mendo raksasa, menjadi Wedhus gembel. Bergerak menyusuri lereng-lereng Merapi disertai bebatuan yang berguguran. Pohon-pohon pun diterjangnya. Pak Karso hanya terduduk tak bisa berbuat apa-apa saat melihat wedhus gembel itu bergerak cepat kearahnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar