Sabtu, 07 Maret 2009

SMART STUDENT COME FROM NICE TEACHER


Aku mengulang sejarah baru. Menjadi pengajar di sebuah Lembaga Pendidikan Bahasa Asing, International English Center. Akan kubuat hari-hariku pertemuanku perdana mengesankan, dan akan kujadikan pengalaman itu menjadi menyenangkan. Mendengar gambaran singkat dari Andini kemarin, sepertinya kelas yang saya handle akan benar-benar menarik dan menantang.

Ada tiga anak kembar yang aku ajar dalam kelompok belajar. Satu siswa laki-laki dan dua perempuan. Namanya Bagas, Mutia Arum, dan Mutia Citra. Ketiganya memiliki kesamaan sifat:Sensitif! Itu artinya saya harus lebih jeli membaca perangai ketiganya.

Tak hanya menghadapi anak kembar tiga. Saya juga berhadapan anak hiperaktif. Ya, ada satu anak yang tak bisa diam barang sejenak. Selalu saja ada yang dikerjakannya. Saya jadi ingat, ketika saya mengajar di SDIT Sabilul Huda Kota Cirebon. Walau pun saat itu kapasitasnya sebagai guru pengganti. Kebetulan saat itu menggantikan kelas Ruswanto. Pada kesempatan yang baik itulah, saya pertama kalinya menghadapi anak hiperaktif yang begitu temperamental. Diganggu sedikit saja, ‘meledaklah’ amarahnya.
Pernah dirinya merasa kenyamanannya saat menggambar terganggu, ia pun mencecar si pengganggu sampai dapat dan diajak duel, setelah puas mengajak damai. Ia juga kerap melakukan sesuatu yang tak terduga, mengejutkan, sekaligus mencengangkan! Misal, tiba-tiba ia ke depan kelas, dan langsung merobohkan papan penyangga whiteboard. Jatuhlah papan tulis itu hingga membuat suara gaduh. Setelah itu emosi anak itu reda seketika dan duduk manis di kursinya seperti tak terjadi apa-apa. Tak hanya itu, saat shalat duhur berjamaah juga kekhusyukannya terusik. Baru saja, mengangkat tangan mengucap, Allahu Akbar... tiba-tiba dari belakang temannya yang usil menggoda. “Gendut-gendut... Gendut gendut...” Blar! Hilanglah seketika konsentrasi menghadap Sang Pencipta. Terjadilah kejar mengejar di antara barisan shaf. Dapat, terjadi duel yang sengit. Setelah merasa cukup damai lagi lalu melanjutkan shalat yang tadi terpotong. Tenang kembali seperti tak terjadi apa-apa.

Bisa jadi lantaran wajahnya yang ngegemesin, sampai-sampai teman-temannya banyak yang iseng godain. Kalau digambarkan, perangai dan postur tubuh anak itu seperti Giant, dalam film kartun Doraemon. Ah, saya jadi penasaran, kira-kira seperti apa anak hiperaktif yang akan saya temui nanti?

Sensitif, dan hiperaktif. Dua kata sifat murid-muridku yang telah kugenggam. Ada satu lagi anak yang tak bisa saya definisikan kata sifatnya. Anak itu kerap bertanya pada hal-hal yang tak semestinya. Solusinya hanya satu untuk anak yang selalu pintar-pintar bertanya, yaitu pandai-pandai menjawab!

Anak adalah permata-permata masa depan yang akan mencerahkan. Untuk membuat permata itu berkilau, gurulah yang memolesnya. Saya percaya, bahwa smart student come from nice teacher! Itu artinya saya harus menjadi guru yang baik!!

Ehm! Sinyal atau tanda-tanda saya akan menjadi guru yang baik, rupanya sudah kulihat. Sebelum saya mendapat kelas mengajar, secara kebetulan saya diajak Paman untuk menjadi panitia di sebuah acara pelatihan guru TPQ. Trik, Metode mengajar, sampai sesi Psikologi anak pun saya serap habis-habisan secara gratis. Saat itu saya memosisikan diri sebagai spon yang mampu menyerap apa saja sesuatu yang berkaitan dengan air. Yang lebih memantapkan lagi, secara tak sengaja saya menemukan sebuah buku hebat, Quantum Teaching, karya Bobbi DePorter, Mark Reardon, dan Sarah Singer-Nouri yang diterbitkan KAIFA. Buku itu membuat saya menjadi makin percaya diri to be a nice teacher!







Ruang Tersendiri Film & Sastra


Sebuah karya sastra dipilih untuk sebuah produksi film memang bukan hal baru. Sisi positifnya bisa memacu seseorang meningkatkan minat baca lantaran ada tendensi menjawab rasa penasaran setelah menyaksikan sebuah tontonan. Orang yang memiliki sense of curiosity yang tinggi biasanya ada kecenderungan mencari asal bagaimana sebuah sajian tontonan itu berasal. Itu artinya, jika muncul rasa penasaran dari apa yang telah disaksikan pada sebuah tontonan, seseorang cenderung membaca karya asal.

Namun, masalah yang terjadi sudah selaraskah budaya nonton dengan budaya membaca kita? Keterkaitan keduanya tentu saja ada ketika dipadukan, asalkan kepaduan itu masih selaras dari maksud tuturan teks awal. Membandingkan keduanya (membaca dan menonton) memang menjadi satu hal menarik yang perlu kita kaji sekarang ini.

Budaya nonton yang saya amati dewasa ini baru sampai pada batas mencari hiburan semata. Penonton masih belum sepenuhnya apresiatif lantaran yang dicari hanya kepuasan parsial. Mengenai proses pembelajaran yang bisa didapat dari sebuah film masih jauh panggang daripada api. Padahal film adalah cerminan realitas, perangsang imajinasi, pembentuk identitas, dan dunia yang mencipta pencitraan.
Pembentukan identitas yang dimunculkan dari film tidak terlepas dari apa tema yang diangkat, siapa yang menjadi pemain, siapa yang mengelola bioskop sebagai lanskap luar yang mengalasi layar putih itu, dan siapa yang menjadi penontonnya. Pengalaman menonton, berada dalam gedung bioskop, dan tingkah laku menikmati sajian film merupakan proses resepsi maupun respon atas identitas dari pencitraan yang ditampilkan.

Sementara membaca adalah gerbang untuk menjadi orang yang berpengetahuan. Ia menjadi salah satu aktivitas literat kelas berat, namun menyenangkan ketika sudah mendalaminya. Pada sebuah bacaan, disitulah ide-ide tertata pada kata-kata.
Sastra dan Film

Film seperti yang dinyatakan Asrul Sani adalah bidang seni yang menggunakan citra sebagai mediumnya. Ia adalah kontinuitet gambar-gambar, karena itu bersifat grafis. Sementara kata-kata dalam sastra punya peran membangun cerita, seterusnya cerita mengandaikan urutan dalam waktu, sedangkan perkembangan peristiwa memerlukan keterangan tentang sebab akibatnya. Sebaliknya film menunjukkan perkembangan ceritanya tidak dengan memperlihatkan perkembangan dari satu waktu ke waktu, tetapi dengan memperlihatkan perpindahan dari satu ruang ke ruang yang lain.
Keduanya pun bisa menyatu atau lebih tepatnya disatukan dengan makin maraknya film yang diangkat berdasarkan sebuah novel laris. Alih-alih mendulang kesuksesan yang sama, sebuah novel pun diangkat ke layar lebar. Peluang adanya pasar, didukung dengan kekuatan modal dan kreativitas pelaku sinematografi, sebuah karya sastra dalam bentuk teks diangkat menjadi film.

Kemungkinan adanya perbedaan interpretasi bahkan terasa jauh dari sebuah tuturan teks bisa saja terjadi. Ini wajar, karena sejatinya sastra memiliki ruang tersendiri untuk bisa dinikmati, dan diresapi. Ia justru lebih menarik dan seksi untuk dinikmati ketika ia masih sebagai teks yang utuh.

Pun sama halnya dengan karya film (sinematografi). Ia memiliki ruang tersendiri untuk bisa diapresiasi, diserap pesan yang ingin disampaikan melalui ranah audiovisual. Proses apresiasinya melibatkan seluruh indra, terutama pada indra lihat, dengar, dan rasakan.

Kemungkinan terjadinya misinterprtasi tentu saja ada. Sebut saja dalam novel Da Vinci Code ketika difilmkan ada banyak bagian penting yang hilang. Laskar Pelangi, Sajadah Cinta, dan baru-baru ini adalah Perempuan Berkalung Sorban pun mengalami nasib yang sama. Karya-karya itu jauh lebih berkesan dinikmati sebagai teks novel, tenimbang jika diangkat ke layar lebar. Selain karena keterbatasan ruang dan waktu, sebuah film juga harus benar-benar dimainkan oleh seorang profesional. Berbeda dengan ruang sastra. Ia tidak terikat oleh ruang dan waktu. Imajinasi yang dihasilkan bebas mengembara sampai pada batas angka dibagi nol alias yang tak terhingga.

Besar kemungkinan ketidakselarasan itu terjadi lantaran film tersebut 'hanya' merekonstruksi teks dari buku ke film. Sikap semacam ini tentu rentan menjadikan penonton yang sudah membaca karya satra itu, ketika menonton filmnya akan dibawa ke dalam kegiatan menonton yang 'hanya mencocok-cocokan' yang ada di buku apakah ada juga di dalam film; memperbandingkan intensitas sensasinya: sedih di buku atau sedih di film, lucu di buku atau di film, tegang di buku atau di film, dan seterusnya.
Tetapi itu bisa berbeda ketika film yang diadaptasi dari karya sastra (katakanlah novel) diangkat dengan mengambil sisi atau angle (sudut pandang) lain. Mulai dari cara bercerita (point of view), penekanan cerita, interpretasi cerita, dan lain sebagainya. Dalam pandangan Embie C Noer besar kemungkinan penonton akan terlibat sama segarnya seperti ketika dia membaca novelnya. Keberhasilan menemukan bentuk semacam inilah yang banyak menjadikan karya film yang mengambil karya satra sebagai script, menjadi karya yang juga memiliki nilai yang sama agungnya, sama kharismatiknya, sama orisinalnya, dengan karya sastra yang dipilihnya sebagai bahan cerita.

Itu bisa berarti bahwa bisa saja sebuah karya apapun menjadi sumber inspirasi untuk menghasilkan sebuah karya yang berbeda, tetapi ketika hanya mengadopsi penuh, tidak menutup kemungkinan hasil dari karya itu tak seksi lagi untuk dinikmati.