Selasa, 11 Agustus 2009

Sebuah Pesan yang Memunculkan Kesan


Sebuah kisah adalah kekuatan. Ia memiliki kekuatannya tersendiri. Lewat kata-kata, sebuah kisah dirangkai sehingga menjadi cerita. Kekuatan cerita itu mengabadi, dan tak lekang lelah waktu. Mengenai ini saya sadur bebas dari pepatah Yunani yang berbunyi, Scripta Manent Verba Volant. Yang tertulis akan mengabadi, yang terucap akan berlalu bersama angin.

Kekuatan sebuah kisah sejatinya terletak pada cara menyampaikan, bertutur, berimajinasi dan kecermatan memilih diksi. Melalui proses menulis kreatif, akan mampu menghasilkan karya yang menggugah, menggerakkan, menggetarkan, dan sekaligus mendapat pencerahan. Cerita pendek adalah salah satu diantaranya. Dan pesannya adalah kekuatan itu sendiri. Pesan yang memunculkan kesan tersendiri bagi pembacanya.
Cerpen. Cerita Pendek. Agaknya inilah media yang dipilih oleh teman-teman FLP (Forum Lingkar Pena) Tegal dalam mengekspresikan kegundahannya yang telah menumpuk dan terlampiaskan dalam bentuk cerita pendek. Membacanya membawa kita mengembara pada alam imajinasi tanpa batas.

Cerpen memang bukan fakta, tapi biasanya ia berangkat dari realita. Ia bisa juga terlahir atas sebuah reaksi dari sebuah peristiwa-peristiwa. Apapun peristiwa itu, selama itu menyentuh nurani, maka oleh tangan-tangan kreatif, akan lahir sebuah karya.

Mengenai ini kita membaca cerpen karya Kelopakbiru yang ia beri judul ‘Piring.’ Sebuah kisah yang berawal dari hal sederhana namun bisa menjadi bacaan yang luar biasa dan berbobot! Kisah ini tentu tidak akan terlahir ketika tak pandai-pandai membidik angle yang biasanya luput dari incaran penulis. Apalah arti sebuah piring? Bukankah yang lebih penting adalah isinya? Mungkin gambaran itulah yang kerapkali terlintas dalam benak kita. Tetapi begitulah. Kelopakbiru dengan segenap keluwesan bahasanya memiliki daya magis tersendiri. Dan tentu saja itu akan terasa setelah setelah kita menyelami kata-katanya.

Mengenai angle, kita juga bisa belajar dari ‘Suara Adzan Di Jantung Muadzin’ yang ditulis Kaisar. Ini mengingatkan kita, betapa seorang muadzin sejatinya adalah tugas mulia. Satu kemuliaan yang hanya bisa dilihat oleh orang-orang yang bergetar manakala mendengar suara adzan.” Mendengar saja membuat hati saya bergetar, apalagi kalau melantunkan,” begitu kata sang muadzin yang dalam kisah itu bernama Wak Sur.
Tahukah kamu, sedemikian mulia dan ikhlasnya melantunkan adzan mengingatkan orang-orang kepada Tuhan, di jantung muadzin pun terdengar suara adzan meski jasadnya telah terpisah dari raga.

Harapan, cita-cita, keinginan dan juga mimpi bisa terwujud lewat kata-kata. Namun, ketika itu belum tercapai sekarang, setidaknya mereka-mereka yang telah menuliskan apa yang diimpikannya telah melangkah ke depan untuk meraih mimpi itu. Dan, tentu itu akan terjadi selama dalam proses perjalanan meraih mimpi tetap dibarengi dengan upaya melatih kemampuan diri ke arah itu. ‘Bukan Mimpi yang Terpenggal’, ‘Bawang untuk Gaza’, dan ‘Kado untuk Istriku’ adalah gambaran tentang mimpi-mimpi dan harapan-harapan itu. Kisah-kisah lain yang terangkum dalam antologi cerita pendek ini juga tak kalah menarik untuk dibaca. Selamat membaca!






Membudayakan Aktivitas Literat


Buku, dalam pengertian saya ketika masih di bangku sekolah dasar, adalah kumpulan kertas bergaris yang dijadikan tempat untuk menulis dengan pensil. Tetapi tidak untuk kini, pengertian buku yang saya dapat justru berbeda jauh dengan pengertian buku ketika saya masih kecil. Pengertian buku yang saya maksud lebih mengarah pada bacaan, dan bukan kertas bergaris. Ia adalah lembaran-lembaran kertas berisi kumpulan gagasan penulis yang terangkum. Dahsyatnya sebuah buku lebih mengarah kepada bagaimana ide itu berbicara dan memengaruhi pembaca. Di dalamnya terdapat proses kreatif, karena sebuah buku mampu mengondisikan para pembaca untuk terus berolah pikir. Alasan kenapa buku itu berpengaruh, karena apa-apa yang tertulis di dalamnya secara intelektual dapat dipertanggungjawabkan.

Kalam Jauhari dalam esainya, “Berguru pada Buku,” menyatakan, dengan cara sedemikian rupa, buku memang bisa memengaruhi dan mengajarkan banyak hal kepada pembaca. Masih menurut Kalam, buku memiliki setidaknya tiga efek konstruktif. Ketiga efek konstruktif diantarannya adalah buku dapat menjadi guru bagi pembentukan identitas sosial (atau perseorangan), bagi pembentukan relasi sosial dan bagi pembentukan sistem-sistem pengetahuan dan kepercayaan sosial atau dalam istilah lain disebut dengan ideasional.

Membaca adalah salah satu bentuk interaksi intelektual yang tak jauh dengan buku. Yaitu interaksi yang bisa dikontrol penuh pembaca. Bisa menutup jika merasa kantuk atau bosan, melompati halaman atau kalau penasaran mengintip halaman akhir buku. Tak hanya itu, satu kelebihan aktivitas literat adalah kita bisa menunda proses membaca, menyimpan kenikmatan itu di lain waktu atau langsung melahapnya sampai habis. Dan pada saat-saat itulah muncul peluang mengolah isi bacaan. Itu adalah hal yang sangat berbeda seperti kita menonton film yang menyajikan pengalaman estetis. Penonton, seperti halnya pembaca dalam aktivitas literat, tidak bisa menunda klimaks kecuali menyaksikan tontonan yang sedang berjalan hingga usai.

Sebuah bacaan, bisa bersifat aditif. Artinya seseorang bisa merasakan keranjingan baca, atau yang biasa disebut dengan bookish (kutu buku). Baginya dunia seolah-olah belum lengkap kalau belum menyentuh dan membaca bacaan. Keasyikan membaca buku, seperti yang dilansirkan oleh Roland Barthes pemikir Prancis, dibangkitkan dari kemampuan teks merangsang kreativitas pembacanya untuk menciptakan teks-teks baru di kepalanya, termasuk ketika ia membayangkan, menafsirkan atau mengisi apa yang tidak tertulis di situ.

Selesai membaca, meminjam ungkapan Budi Darma, tidak berarti selesai segalanya. Tapi justru merupakan awal dari pengembaraan pikiran, perasaan dan naluri pembaca lantaran berbagai bacaan yang memukau akan meninggalkan kesan yang sukar terlupakan. Pengembaraan yang ditawarkan oleh bacaan yang inilah yang kemudian dapat menambah wawasan.
Ketika membaca sudah menjadi kebutuhan, maka tak ada cara lain selain menuangkan segala bentuk pengetahuan yang selama ini mengendap untuk ditorehkan ke dalam satu bentuk aktivitas yang tidak jauh berbeda dari dunia intelektual yaitu menulis. Menulis sebagai salah satu bentuk ketrampilan berbahasa dinilai ampuh untuk mengabadikan suatu pemikiran. Tulisan-tulisan yang bernuansa intelektual biasanya menggabungkan gagasan-gagasan untuk kemudian membentuk satu gagasan baru.

Seperti dalam pepatah Yunani menyatakan bahwa yang tertulis akan mengabadi dan yang terucap akan berlalu bersama angin (scripta manent verba Volant). Pepatah ini setidaknya mengingatkan kepada kita akan dua aktivitas kebahasaan: menulis dan berbicara. Apa yang tertulis tidak akan mudah sirna ketika aktivitas kebacaan secara kontinyu dibudayakan, dan itu akan membekas dalam ingatan, kecuali kalau daya ingatnya berkhianat.

Istilah mengabadi di sini tidak lantas menafikan bahasa ucap, hanya saja nilai ‘mengabadi’ itu terbantu karena memang tersurat pada buku. Sehingga kemungkinan untuk lupa dapat dengan mudah dikembalikan seperti pada mulanya yaitu dengan membaca kembali lembaran-lembaran yang sudah lama mengendap dalam ingatan. Berbeda dengan bahasa ucap, yang mengandalkan kemampuan daya ingat untuk mengingat apa-apa yang terucap. Pernyataan itu sempat disuarakan Pramoedya Ananta Toer yang menyatakan bahwa bahasa lisan biasanya hilang bersama lenyapnya per generasi dari masyarkat, tetapi tidak untuk bahasa tulis.

Memang ada sebagian orang bisa mengingat dengan baik apa yang diucapkan oleh seseorang, tetapi cakupannya terbatas, yakni sebatas pada ucapan-ucapan penting yang singkat, dan biasanya berupa nasehat. Tetapi tetap saja ketika itu tidak ditulis, suatu saat nanti akan pudar, karena sewaktu-waktu, daya ingat juga bisa berkhianat.

Apa yang terucap, apalagi ketika disampaikan dengan gaya bicara memukau, mungkin lebih mudah diingat seketika itu. tetapi beberapa saat setelah itu tidak terekam sempurna apa yang barusan terucap, dan hal itu tidak terjadi pada aktivitas tulis. Kecuali tulisan itu koyak, tidak terawat, dan sedikit kemungkinan hal itu terjadi. Pada dasarnya keberadaan buku itu benar-benar dihargai, karena didalamnya tertulis berbagai macam gagasan-gagasan intelektual yang dapat dijadikan sebagai bahan referensial ketika menulis, bahkan berbicara.

Setara dengan pepatah itu Danil Dakidae dalam bukunya “Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru” menuliskan bahwa setiap buku dari pengarang manapun yang pernah melihat terbit dan terbenamnya matahari, tidak lain merupakan kata pengantar kepada buku lain lagi kelak dikemudian hari, yang jauh lebih penting.

Dahsyatnya Sebuah Bacaan

Masih ingat cerita, bagaimana Pramoedya Ananta Toer menulis dan menjadikannya tulisan itu sebagai bacaan. Dengan bahasa khas yang garang dan meledak-ledak, tidak bertele-tele, ia menulis banyak hal yang menurutnya tidak beres dan perlu diluruskan. Ia menulis apa saja yang perlu ia tulis. Karena ia memiliki prinsip, “Semua itu harus ditulis. Apa pun…Jangan takut tidak dibaca atau tidak diterima penerbit. Yang penting tulis, tulis, tulis dan tulis. Suatu saat pasti berguna.”

Karena prinsip Pram tersebut, sampai-sampai sudah tak terhitung karya-karya yang ia hasilkan dari olah pikir Pram menuliskan realita yang ada. Karena saking garang, berani dan meledak-ledaknya, ada banyak karya Pram yang ditolak penerbit karena cukup beresiko, tentu saja menurut ukuran pemerintah kolonial pada masa itu. Bahkan karya-karya yang sudah terbit pun ditarik dari edaran oleh pemerintah kolonial masa itu.

Ketika ia berada dalam kungkungan sel, Pram justru produktif. Pram bebas menulis. Hanya saja ia dilarang mengedarkannya di luar kamp, bahkan orang-orang yang berhubungan dengan dunia tulis menulis pun dilarang menemuinya. Tetapi ia tak kehabisan akal, Pram menyelundupkan naskah-naskahnya kepada setiap orang yang mengunjunginya untuk dikirimkan kepada penerbit. Tentu saja hal itu sangat beresiko.

Penarikan naskah-naskah Pram pada masa itu setidaknya menggambarkan betapa dahsyatnya bacaan. Mungkin pemerintah kolonial masa itu merasa dalam keadaan bahaya ketika naskah yang mencatat segala kebobrokan akan dengan mudah terbongkar khalayak hanya dengan melalui bacaan. Dalam situasi seperti itu lah sebuah tulisan berfungsi sebagai pisau pembedah sesuatu yang sudah lama susah untuk disayat hingga isi yang ada didalamnya dapat dikeluarkan. Dapat dilihat dan dinilai khalayak apakah selama ini apa yang dilakukan itu adalah pantas dan memang perlu dilakukan, atau malah sebaliknya. Lebih tepatnya buku itu memfungsikan diri dengan memberi pengaruh dan membentuk ide bagi para pembacanya.

Ketakutan pihak yang meminta untuk menarik buku dari edaran tidak karena ‘senjata’ yang Pram bawa, melainkan karena mereka percaya bahwa sebuah bacaan tertentu tidak akan pernah kekurangan para pengagum pemilik gagasan yang siap menjadi pelopor karya-karyanya kelak.

Apa yang menjadi prinsip Pram dalam menulis, mengingatkan saya pada Ime Kertesz, sastrawan yang memuja kebebasan berekspresi dan sangat antipati pada sastra yang ditunggangi oleh muatan-muatan politis dari luar keindahan sastra itu sendiri. Kertesz berkata bahwa ia menulis untuk dirinya sendiri dan tanpa pretensi apa-apa untuk dibaca atau memengaruhi orang lain. Kertesz beranggapan bahwa pada akhirnya nanti penulis akan melihat dirinya sendiri, dan sehingga ia nanti akan menulis untuk dirinya sendiri.

Kedahsyatan lain sebuah bacaan adalah bagaimana bacaan itu membentuk pola budaya perilaku, mulai dari tingkah juga cara bertutur. Meminjam istilah Sutarji Calzoem Bahri, bahwa membaca (sastra) juga membuat orang menjadi berbudaya. “Orang berbudaya baca sastra” adalah semboyan yang tertulis pada majalah sastra Horison. Saya sepakat bahwa aktivitas literat itu perlu dan harus dibudayakan dan diberdayakan. Ini bias dilakukan dengan membuat komunitas-komunitas penulis, mendirikan rumah baca, atau perpustakaan.
Ada satu ungkapan lain yang menuliskan bahwa bangsa yang besar terlahir dari tradisi membaca yang kuat. Kebesaran bangsa-bangsa itu, kalau ditelaah lebih jauh adalah bisa menjadi maju ‘hanya’ karena menanamkan aktivitas kebacaan yang ketat. Membaca memang perkara ringan-ringan susah. Tetapi bukan alasan untuk tidak membaca ketika malas sudah bergelayut. Seandainya saja, malas dapat dihapuskan mungkin tak akan ada banyak bangsa yang ketinggalan.

Sejarah telah membuktikan bahwa tradisi membaca yang baik telah melahirkan peradaban emas sepanjang masa. Hal ini sangat penting bagi siapapun yang berusaha mempelajari realitas semesta. Beberapa alasan untuk menguatkan pernyataan segala peradaban pada masa lampau semuanya dimulai dari tradisi membaca yang kuat. Ter gambarkan seperti pada peradaban Yunani yang dimulai dengan Iliad yang ditulis oleh Homer. Karya Newton yang membangkitkan peradaban Eropa. Pun halnya dengan peradaban Islam yang bangkit setelah turun wahyu kepada Muhammad, sang nabi terakhir.

Tak usah jauh-jauh untuk menggambarkan bagaimana dahsyatnya sebuah bacaan. Dalam keseharian saja bisa terlihat siapa-siapa saja yang suka baca dan tidak sama sekali. Perbedaan keduanya akan terlihat jelas. Orang yang biasa membaca, akan begitu mudahnya berbicara, karena perbendaharaan katanya begitu banyak. Tentu isi bicara yang berbobot, yang mungkin dapat dijadikan sebagai bahan referensi. Apa yang terujar biasanya berdasar dan dapat dipertanggungjawabkan. Bagi orang yang tidak suka baca, orang tersebut akan begitu susahnya untuk bersuara, kalaupun berbicara, apa yang terucap biasanya bukan hal baru yang semua orang sudah tahu.

Kita bisa banyak belajar dari banyak orang, atau bahkan dari buku itu sendiri. Perlu diketahui bahwa buku adalah guru yang baik dan tak pernah marah. Guru yang berbeda dalam pengertian konvensional yang dapat diajak bicara ketika mengalami kesulitan. Ketika seseorang berhadapan dengan bacaan, ia tak mempunyai privilege untuk menanyakan kepada pengarangnya. Karena tak semua orang kenal dengan pengarangnya. Kalau pun ada upaya kearah itu, diperlukan usaha keras otak untuk menjawab pertanyaan yang masih mengendap ketika telah usai membaca buku tersebut. Dari situ lah proses kreatif muncul.

Sebagai pungkasan dalam tulisan ini, saya hanya akan menegaskan kembali betapa pentingnya membudayakan aktifitas literat, yaitu aktifitas yang menggeluti dunia kebacaan. Seperti apa yang dikatakan Che Guevara. “Sempatkan waktu luang untuk baca.” Sampai-sampai Pablo Neruda yang mengenal Che secara pribadi merasa terharu, karena ketika Che ditangkap di hutan Bolivia dalam ranselnya ditemukan kumpulan puisi Neruda. Di sela-sela masa gerilnya, masih saja ia menyempatkan untuk membaca.[]