Sabtu, 13 Juni 2009

Hati-hati Bawa Hati


“Susahnya punya hati. Letaknya tersembunyi, tapi geraknya tampak sekali.”
Begitu kata Mohammad Faudzil Adzim mengawali pembahasan Kupinang Engkau dengan Hamdallah.

Saya jadi merasa tersindir, dan bahkan amat tersindir mengingat saya belum memiliki istri, eh, maksudnya belum sepenuhnya bisa menjaga hati. Sejauh ini hanya baru sebatas usaha untuk sebisanya, semampunya bisa menjaga hati dari sesuatu yang bisa menciderai hati selama masih sendiri. Adapun ketika hati ternoda oleh cela, itu tak lain karena lemahnya hati yang saya miliki.

Ighfirni Yaa Ghaffar. Semoga saya, anda, kita semua termasuk ke dalam orang-orang yang terjaga.

“Makanya, lebih baik punya istri. Kalau tersenyum ada yang menanggapi. Kalau berekspresi ada yang memahami. Sikapnya lembut tak bikin keki kadang malah memuji.

“Tuhan tak pernah ingkar janji, kalau terus menjaga diri, akan mendapat pendamping yang lurus hati.”

Mendengar kata-kata ini saya lebih tersindir lagi. Pikir saya pintar benar sosok yang satu ini menyindir. Tetapi memang benar demikian adanya. Ketika kita saya belum punya istri, (eh salah lagi, maksudnya belum bisa menjaga diri), ya memang mungkin sudah sebaiknya memiliki istri yang bisa menanggapi senyum, menanggapi ekspresi, yang memiliki kelembutan dan... lho kok malah jadi membicarakan istri ya, bukannya hati. Tapi yang jelas, sejauh ini pula saya terus menjaga diri sampai diri ini mendapat pendamping yang lurus hati lantaran masih sendiri.

Eh,belum lama bilang masih sendiri, Bang Faudzil ngeledek lagi,

“Tapi kalau masih sendiri, hati-hati bawa hati. Kalau sibuk mencari perhatian, kapan kamu mengenal gadis yang bisa menjaga pandangan?

Bagusnya sibuk menyiapkan perbekalan, (maunya sih kukatakan memperbaiki iman). Tanpa susah-susah membayangkan saat-saat tak tebayangkan.”

Tak berdaya aku dibuatnya. Sindirannya luar biasa lantaran membuat aku tak berdaya menjawabnya. Belum sempat saya mengomentari, eh, ia malah melepaskan serangan kata yang datang bertubi-tubi.

“Adapun kalau sudah beristri, jangan lupa mengingatkan. Kalau ada yang dilalaikan
tentang perkara yang disyariatkan. Tapi kalau ia memelihara kewajiban, ingat-ingatlah untuk memberi perhatian. Jangan sampai menunggu peringatan.”

Pebincanganku dengan Mohamad Faudzil Adzim mengingatkan saya pada peristiwa yang maksudnya lebih kurang senada. Ketika itu, saya terus mendapat cecaran pertanyaan yang bernada menyindir, namun dikemas dalam bentuk kelakar.

“Akhi, antum itu sudah terlalu banyak aminah, tetapi tidak satu Aminah pun kau miliki,”

“Maisyah sudah ada, kapan akan punya Aisyah, Akhi?

Sedemikian dahsyatnya sindiran yang nyaris datang bertubi-tubi, sampai peristiwa itu terbawa mimpi.

Suatu ketika di malam yang tenang, aku tertidur setelah merenungi berbagai macam sindiran yang sedianya memang diarahkan kepadaku. Setelah beberapa kejap tidur, suasana membawaku ke alam bawah sadar. Entah kenapa tahu-tahu saya berada pada suatu tempat, yang hanya ada saya seorang diri, dan tak ada siapapun. Aku melihat di sekelilingku, bentangan luas tak terhingga seperti awan.

Dalam suasana seperti itu, tiba-tiba ada satu titik yang mendekat ke arahku. Semakin dekat, semakin tampak jelas rupanya. Sosok yang datang itu bersayap seperti malaikat. Dan itu memang malaikat ketika ia memperkenalkan dari,”Aku malaikat datang dari surga membawa bidadari.”

Sosok malaikat itu datang tak sendiri melainkan berdua dengan seseorang yang dilihat dari penampilannya adalah seorang perempuan. Saya tak bisa melihat wajahnya lantaran tertutup burkah. Kepalanya menundukkan pandangan. Sekilas tampak ia menatapku dibalik cadarnya, hanya ketika saya balik menatapnya, ia buru-buru menundukkan pandangan. Mungkin malu.

“Wahai Ali, ini saya bawakan calon istrimu! Menikahlah dengannya, dan perbanyaklah keturunan agar bisa menambah bobot bumi dengan kalimat LAAILLAAHAILLALLAH.”

Saya terperangah mendengar itu. Sosok perempuan bercadar itu masih tertunduk malu. Merasa penasaran, saya pun menanyakan siapakah sebenarnya yang akan menjadi istriku nanti. Saya penasaran dengan sosok yang katanya adalah calon istriku itu. Bidadari Syurga. Bidadari yang didatangkan langsung bersama malaikat dari syurga. Bidadari yang datang dari syurga. Ah, siapakah ia?

Permintaan pun terturutkan. Malaikat itu membukakan cadar penutup wajah. Hati saya berdesir-desir. Degup jantung naik turun lantaran dibombardir rasa penasaran yang begitu hebat. Secara perlahan cadar itu dibuka. Gerakan membuka cadar tampak sekali hati-hati, pelan, pelan sekali seperti gerak slow motion dalam adegan film.

Dan ketika cadar itu hampir tersingkap...

Sungguh teramat sangat saya sayangkan...

Saya terbangun!

Sebel!







“Perempuan itu Mulia!”


Totem pars pratoto
Sebagian yang diseluruhkan.

“Cowok itu...BRENGSEK!”

Pernyataan itu muncul dari seorang perempuan, yang menurut pengakuannya dicintai, dikagumi, dan disayangi oleh banyak laki-laki. Begitu banyak lelaki yang mengharap uluran cintanya. Tetapi anehnya bukan bahagia yang ia dapatkan, melainkan luka yang ia rasakan.

Terang saja luka yang ia rasakan, karena semua lelaki yang menghampirinya itu rata-rata memberikan sesuatu yang semu. Yang kadar kesenangannya hanya sesaat. Berharap beroleh kesenangan sejati, tapi yang ia dapatkan adalah luka hati.

Ia memang tampak kelihatan tangguh, tegas dan pantang menyerah. Tapi siapa sangka dibalik ketangguhannya sebagai seorang perempuan ia sejatinya rapuh, dan begitu mudahnya dipatahkan pertahanan bentengnya oleh makhluk bernama laki-laki. Ia seperti bersembunyi dibalik perangai tangguh. Sedemikian sering serangan yang terus memborbardir dari berbagai penjuru membuatnya hampir tak berdaya. Dalam ketakberdayaan itulah ia memberanikan diri untuk membunuh.

“Aku adalah pembunuh. Untuk kesekian kalinya, aku telah membunuh perasaan laki-laki terhadapku.” Meski pembunuhan itu ia lakukan dengan penuh rasa iba dan diluar keinginan yang begitu hebat. Tetapi ia tetap melakukannya.

Setelah itu ia akan murung beberapa hari sebelum akhirnya pulih kembali seperti sedia kala.

Membunuh adalah jalan terakhir agar perasaan itu tak hidup lagi. Membunuh adalah satu-satunya cara untuk bisa menghentikan langkah yang bisa mematikannya. Membunuh adalah pilihan ketika cara-cara halus dengan mendiamkannya, mengacuhkannya, tak membuat laki-laki berhenti mengejarnya. Ya membunuh! Ia menjadi seorang pembunuh!! Kepadaku, ia memberikan daftar nama-nama yang sudah ia bunuh dengan cara yang sama. Aku hanya terperangah tak percaya sambil berkata,”Sadis benar kamu ini.”

Dalam hatinya, sebenarnya muncul perasaan bersalah lantaran terlalu banyak perasaan yang dibunuh dengan tangannya. Meski tindakan itu diyakininya sebagai kebenaran, dan memang itulah kebenaran, tetapi perasaan bersalah itu tetap saja ada. Dan selalu menghiasi hari-harinya. Takut kalau-kalau ia akan membunuh lagi.

Sebuah kesan yang seakan melepas ketergantungan terhadap laki-laki, walau sebenarnya ia sangat merindukan, mengharapkan sosok yang membawakanya cinta suci melalui ikatan pernikahan. Hanya saja karena terlalu sering menemui beberapa laki-laki yang kebetulan berkepribadian brengsek, ia dengan mudahnya mengambil kesimpulan, bahwa sebagian laki-laki itu mewakili semua karakter kebrengsekan beberapa lelaki. Bahkan ketika ada seseorang yang berusaha serius mengajaknya menikah, entah sadar atau tidak, ia juga menyatakan bahwa laki-laki itu brengsek. Bahkan, ketika ajakan itu dilakukan dengan cara yang santun sekalipun!
Beruntungnya sejak awal, lelaki itu mengatakannya dengan sesuatu yang membuatnya perlu waktu untuk dirinya pikir-pikir.

“Aku ingin kita segera dipertemukan sebagai pasangan hidup, dikumpulkan dalam kebaikan, kebahagiaan, kemesraan, dan canda tawa yang tak putus-putusnya mengisi kehidupan rumah tangga. Kalaupun ada butir-butir bening yang menetes dari sudut air mata, semoga itu adalah air mata kebahagiaan

Kalau kau menerimaku (menjadi suamimu) aku ucapkan alhamdulilah, tetapi kalau sebaliknya aku lantangkan Allah Akbar! Sebab dengan begitu aku masih bisa tersenyum. Sebab itu pula, meraih atau tidak mendapatkanmu, cinta akan tetap saya dapatkan, karena saya melakukan ini semata-mata hanya untuk menjaga diri. Tak apa, kau tak menerima, masih ada banyak muslimah lain yang akan menerimaku.”

Lelaki itu bersyukur dan tak begitu gampang larut dalam gulana rasa.

Mari kita kembali ke cowok brengsek tadi. Aku hanya tersenyum ketika mendengar perkataannya semacam itu. Seperti tak pernah terpikir lebih dulu, bahwa kebrengsekan seseorang itu tidak hanya dilakukan oleh laki-laki. Semua orang berpeluang melakukan kesalahan, karena sejatinya akhir pada sebuah penilaian itu hanya ada dua, baik dan buruk. Bukan tampan dan tak tampan, cantik dan tak cantik. Dan, itu kaitannya dengan hati. Dan hati ada kaitannya dengan rasa. Brengsek berarti masuk kategori penilaian buruk. Dan penilaian itu erat kaitannya dengan pikiran seseorang.

Totem pars pratoto. Sebagian untuk seluruh. Begitulah pernyataannya kalau dikategorikan dalam majas. Saya meyakini dengan sepenuh hati, rasa, dan pikiran kalau pendapat itu keluar ketika hati, rasa dan pikiran itu sedang kalut, tidak dalam keadaan selaras.

Saya juga sama sekali tak terganggu ketika ada perkataan senada macam itu. Yang namanya pendapat itu sifatnya subjektif. Karena subjektif itulah, yang bertanggungjawab terhadap opini itu tentu saja si pelaku yang memberi penilaian itu tadi.

Saya tak bisa membayangkan, apakah nanti ketika ia menemukan sosok lelaki yang setampan Ali, sebaik Abu Bakar, seberani Umar, secerdas Usman maka akan mengalihkan pendapatnya menjadi Laki-laki itu baik!

Saya hanya berharap selaksa energi positif akan segera memenuhi ruang hatinya. Dan, sepercik energi positif itu sebenarnya telah ia dapatkan. Hanya saja yang jadi masalah, ia menampungnya di tempat yang khusus atau malah membiarkannya begitu saja. Salah satunya adalah ketika ia mengirimkan pesan singkat bahwa cowok itu brengsek, untuk meneguhkan penilaiannya itu, kepada seorang lelaki yang ia merasa nyaman ketika berada di dekatnya, ia langsung mendapat jawaban.

“Perempuan itu... MULIA.”