Jumat, 19 September 2008

NEK, SEBAIKNYA KAU MATI SAJA


Oleh : Ali Irfan

Depan pelataran rumah, seorang perempuan tua duduk di atas kursi malas. Matanya menatap kosong. Sesekali ia menggerakkan kursi malasnya yang hampir saja diam dengan tangan yang masih menyimpan sisa-sisa tenaga saat masih muda. Ia pun menggerakkan pelan, perlahan.

Kerut kulitnya begitu kentara terlihat. Pun jika dilihat dari kejauhan. Rambut masih legam panjang, tidak seperti nenek pada umumnya yang sudah memutih di usianya. Kata ibuku, perempuan tua itu sewaktu masih muda keramas dengan merang, sisa pembakaran jerami padi yang ada di sawah-sawah. Hanya ditambahkan sedikit air, lalu dibasuh rata dari ujung sampai pangkal. Demikian halnya dengan gigi yang masih tertata rapi, leng-kap dan tak ada satu pun tanggal. Masih gigi asli. Masih kata ibuku, katanya orang-orang zaman dulu itu merawat gigi dengan remukan batu bata dari tanah liat sebagai odol.

Tak lama, terdengar hentakkan batuk perempuan tua. Sebelumnya ia tengah asyik dengan kinang yang bermain-main dimulutnya. Bibirnya memerah keemasan. Bahkan cairan merah itu mengalir melewati kedua sudut bibir. Lama aku menatap. Batinku berkata, seolah-olah sedang menatap drakula yang habis menghisap darah dengan kedua taring. Aku takut. Kalau-kalau ia berubah jadi drakula yang siap menerkamku seketika, padahal aku tak mau mati konyol.

Nenek itu hidup seorang diri di sebuah rumah tua. Tak jauh dari rumahku. Anak-anaknya sudah tak bersamanya lagi. Bahkan hampir dipastikan mereka tak ada yang menjenguknya. Entah kesibukkan macam apa yang dialami sampai-sampai mereka lupa bahwa ada seorang tua renta tak berdaya selalu mengharap kedatangan mereka.

Semenjak kepergian anak-anaknya merantau ke kota, ia makin sering didera penyakit. Sakitnya bertambah parah setelah sekian lama menunggu, anak-anaknya tak jua pulang menemui. Yang diderita tak hanya pada tubuh yang makin rapuh, pada tulang yang sudah tak mampu menopang berdiri tegap, melainkan juga pada sakit perasaaan yang sudah lama terpendam.

Sementara waktu begitu sombong. Berlalu tanpa menghiraukan siapa dan memeduli-kan apa. Waktu tak pedulikan itu. Sementara anak ayam berkicau di samping rumah, en-tah berteriak mencari induk ayam ataukah meminta makan.

Dalam lamunan aku berkata, “Nek sepatutnya di saat sekarang ini kau tak sendiri. Seharusnya bukan ayam-ayam itu yang menemani hari-hari nenek.” Keseharian si nenek memang tak lepas dari mengurus anak ayam yang memang sudah ia anggap sebagai teman. Atau mungkin dianggap sebagai anak sendiri. Ia tak pernah lupa memberi mereka makan. Entah dengan bekatul, beras bahkan sisa makanan.


Kalau saja ayam-ayam itu adalah anak-anaknya pasti terasa senanglah hati nenek. Tak kesepian seperti sekarang ini. Meskipun dibiarkan bebas berkeliaran, toh mereka itu pada pulang di sore harinya. Angan sekedar angan. Tetap saja mereka tak akan menjelma jadi anak-anaknya yang telah lama pergi entah kemana. Tak pernah pulang, tak ada kabar.

Pernah suatu ketika, ia mendapati ada yang kurang pada anak ayam itu ketika pulang di senja hari. Panik ia bukan main. Ia lantas mencari ke setiap sudut. Berteriak. Teriak-kannya menjadi perhatian tetangga, termasuk ibuku. Meski dengan langkah tertatih ia te-tap mencari anak ayam yang hilang itu.

Tiap kali bertemu orang yang kebetulan berpapasan, pasti ia ditanya. “Apa kau meli-hat anak ayam milikku?” tanyanya masih dalam kepanikkan. Orang yang tak suka ditanya, menyebut dalam hati bahwa si nenek itu telah gila. Dalam benak ia berkata, kehilangan anak ayam saja, paniknya bukan main.

Entah kenapa tiba-tiba orang itu mendapat umpatan, “Dasar orang tidak tahu diri,” Kontan orang itu terkaget dan langsung beringsut menghindar dari umpatan si nenek. Si nenek marah. Indera dengarnya begitu tajam. Kata-kata itu tertangkap di telinganya. Dan orang itu lebih memilih menghindar bermasalah dengan si nenek.

Hari mulai gelap. Suasana hening. Sebentar lagi adzan magrib bergema. Di sekitar su-dah tidak ditemui suara decit anak ayam. Semua ayam milik penduduk sudah ngandang. Tak henti nenek itu terus mencari. Ia sempat kecedwa, namun buru-buru ia menepis. Ia yakin, anak ayam itu tak jauh dari sini.

Tak lama setelah itu terdengar suara decit anak ayam. Si nenek merasa yakin, suara itu suara anak ayam yang ia cari. Dugaannya benar. Ia mendapati kaki anak ayam itu kena jeratan seutas tali di sebongkah kayu hingga ia tak bisa bergerak.

Begitulah nenek yang tinggal bersebelahan. Saat ia merasa kehilangan anak ayam, gemparlah semua orang sekampung. Setiap orang yang jadi lawan bicaranya tak lepas dari obrolan tentang anak-anaknya yang hingga kini belum pulang.

***

Akhir-akhir ini aku tak pernah melihat si nenek itu duduk di beranda rumah tuanya. Seperti biasa, duduknya si nenek tidak lain mengharap anak-anak pulang menemuinya. Ia berharap bisa memeluk mereka. Sebuah keinginan yang hingga kini belum terwujud.

Perasaanku makin tak enak saja. Kebiasaanku menyapa tiap pagi saat ia duduk di pelataran rumah tak bisa aku lakukan lagi. Ia sudah jarang ada disana, entah kenapa.

Penasaran, aku memberanikan diri menemui nenek itu. Sebelumya aku hanya menemui dia di depan rumah saja. Tak pernah aku masuk ke dalam rumah. Pintu rumahku buka perlahan. Aku merasakan aroma aneh. Tapi coba kutepis.

“Nek…nenek,” aku menyapa. Tak ada sahutan. Sekali dua kali tak ada sahutan. Suasana rumah sepi. Jelaga bergelantungan di bawah langit-langit. Kakiku melangkah mencari dimana nenek berada. Mungkin ia sedang istirahat di kamar.

“Nek,”aku menyapa pelan sambil membuka pintu perlahan. Terdengar suara erangan tak berdaya. Ia terbaring lemah diatas tempat tidur kumal. Bekas merah kinang bercece-ran kering di lantai. Ternyata ia tengah bergelut dengan penyakit yang telah lama meng-gerogotinya.

“Nenek baik-baik saja?” tanyaku pelan. Saat aku bertanya, ia tengah sibuk mencari si-sa-sisa napas seolah hendak lepas. Napasnya tersengal. Aku merasakan ia benar-benar ter-siksa.

“Nek, kenapa kau tidak mati saja menemui suamimu yang sudah meninggal beberapa puluh tahun lalu. Mungkin saja anak-anakmu sudah berkumpul di sana, dan tinggal me-nunggu nenek saja. Dari pada harus hidup seorang diri tanpa satu pun keluarga yang me-ngurus nenek. Anak-anak yang tega membiarkan hidup sendiri sampai saat ini tak per-nah memberi kabar. Sudah sukseskah jadi orang atau malah sebaliknya menjadi gelan-dangan hingga ia merasa malu dan tak mau pulang. Syukur kalau mereka masih hidup. Bagaimana kalau sudah mati, dimana mereka dikubur ia tak tahu,” kataku dalam hati.

Pyarr! Tiba-tiba aku tersadar. Pecahan gelas menyadarkanku dari lamunan. Hampir saja nenek itu terjatuh. Buru-buru aku menyangga tubuh lapuknya. Ah, nenek kenapa tak bilang mau ambil segelas air dalam gelas itu.

Lho, kenapa jadi aku yang menyalahkan nenek. Kalau aku tak melamun, mungkin tak begini akhirnya. Ini salahku. Aku melamunkan kondisi nenek renta yang hidup sebatang kara. Harapku sebaiknya ia cepat mati saja, agar deritanya tak berkelanjutan.

“Kamu jangan seperti anak-anak nenek,” ia seketika berujar. Dari ceritanya terlihat diwajahnya yang penuh tanya. Seolah-olah ia menyesal telah melahirkan anak yang tidak ada bakti sama sekali. Entah salah apa yang nenek perbuat. Nenek mencoba merenungi masa lalu.

“Iya Nek,” aku mengangguk pelan.

Lagi-lagi aku membayangkan. Anak macam apa yang tega membiarkan ibunya sendiri hidup tanpa ada yang menemani. Aku yakin, tak akan ada yang mau bernasib seperi nenek yang sedang berada di hadapanku ini.

Nek, aku berharap masa tua nenek tidak digunakan untuk mengumpat anak-anak nenek, apalagi sampai mengutuk jadi batu seperti dalam legenda Malin Kundang. Aku yakin, setiap kata yang terujar dari seorang ibu pasti nyata dan bernilai doa. Bukankah surga ada di bawah telapak kaki ibu.

“Nenek nggak bakalan mengumpat anak sendiri,” kata-kata itu terujar seketika dari mulut nenek. Sempat membuatku kaget. Pikir kecilku, apa ia tahu apa yang sedang aku pikirkan? Apa yang aku pikirkan hanya terucap dalam benak. Apa ia bisa membaca pikiran seseorang? Mudah-mudahan tidak! Itu hanya sebuah kebetulan. Tapi apa mungkin? Batinku berkecamuk.

“Setiap saat nenek selalu berdoa. Semoga mereka baik-baik saja. Nenek sudah tua. Nenek serahkan semuanya kepada yang kuasa,” katanya. Saat itu aku diam seribu bahasa dan hanya mendengar tiap kata yang terujar darinya.

Ia memintaku mengambil segelas air. Aku menurut saja dan langsung pergi ke dapur. Aku tak mendapati air di sana. Kering tak ada air tersisa meski setetes. Untuk masak air pun tidak memungkinkan. Dapur nenek sepertinya sudah lama tak berasap.

Aku ambil saja di rumah, pikirknya saat itu. Aku beringsut keluar menuju rumah untuk mengambil segelas air. Kubuatkan segelas teh pahit kesukaannya yang biasa ia minum. Aku tahu, ia tidak meminum air putih. Katanya air putih itu tidak berasa. Bahkan tak jarang memakan teh hitam sebagai camilan selain kinang. Teh hitam pekat selesai sudah kubuat. Aku bergegas menuju rumah nenek.

Sesampainya di sana, nenek malah tertidur. Aku coba membangunkannya. Tapi nenek tak menyahut. Kemudian aku duduk disampingnya. Maksudku biar ia bangun. Entah kenapa ia tak juga bangun. Cukup lama di sana. Setelah kupegang denyut nadinya, ternyata ia sudah tak bernapas.[]

IMPIAN SEMU


Oleh : Ali Irfan

Keberadaannya begitu jauh dari jamahan kepedulian banyak orang. Tak sedikit orang memicingkan dan memalingkan wajah saat bertemu. Ia juga seorang manusia yang mempunyai mimpi. Namun untuk mencapai itu semua terasa berat. Panas terik menjadi hal yang biasa. Ia hanyalah orang kecil, orang-orang menyebutnya sebagai gelandangan dan pengemis. Di sebuah gubuk kecil, terlihat bocah kecil bercengkerama dengan ibunya.

“Mak, aku ingin jadi orang kaya,” kata Yitno kepada ibunya.

“Kamu jangan bermimpi, kita bertahan hidup saja sudah beruntung.”

“Yitno ingin sekolah, Mak. Ingin jadi orang pinter,” Yitno tetap ngotot. Namun tetap saja ibunya memberi jawaban yang sama. Keinginan Yitno dianggap sebagai igauan bela-ka, tak pernah ditanggapi serius.

Prayitno, nama lengkapnya. Tubuhnya kurus bersarungkan sarung sebagai selimut menemani waktu menjelang tidurnya malam itu. Ibunya menaruh harap agar anaknya bisa lekas lelap. Matanya yang masih terbuka lebar membuat ibunya merasa kelu harus menjawab apa selain jawaban yang sama. Ia sadar tentang keinginan yang ada dalam hati anak semata wayangnya. Ia sendiri lumayan heran, belakangan ini anaknya terlalu rewel dan banyak menanyakan yang macam-macam. Sampai-sampai bingung harus menjawab apa.

Pernah suatu ketika Yitno menanyakan dimana bapaknya. Mendengar itu, hati ibunya semakin tersayat, karena ia harus mengingat suaminya yang tewas mengenaskan saat kecelakaan tiga tahun lalu. Usia Yitno masih terlalu dini untuk mengetahui bahwa ayahnya telah tiada. Bocah itu berusia tujuh tahun. Di usianya yang sekarang, seharusnya sudah berada di bangku sekolah. Namun pada kenyataanya hingga saat ini ia masih belum.

Jangankan sekolah, untuk bertahan hidup saja sudah beruntung. Begitulah ucapan yang sering terujar dari ibunya agar Yitno tidak berpikiran terlalu muluk. Saat Yitno menanyakan keberadaan ayah, ibunya hanya menjawab, “Bapak ada di tempat yang jauh, suatu saat nanti kita akan menyusulnya.”

“Hari sudah malam, ayo cepat tidur. Besok pagi harus kerja. Kalau tidak mau makan apa nanti,” bujuknya penuh harap. Yitno pun menurut.

Ia sudah terlalu lelah seharian mengemis di jalanan hanya untuk bisa bertahan hidup. Pun halnya dengan ibunya. Ia harus pergi ke tiap-tiap rumah sekedar meminta sedekah belas kasihan.

Tak sedikit orang acuh. Menyebutnya hina dan jijik. Ada pula yang bilang pemalas. Hanya pura-pura saja. Sering pintu langsung ditutup saat datang. Pernah harus pulang dengan tangan hampa karena tak seorang pun memberikan sedikit apa yang dipunyainya untuk si pengemis itu.

Udara malam terasa dingin. Tubuh kurus sudah tergolek lelap bersama balutan sarung sebagai selimut. Tampak ia menggigil kedinginan. Sarung yang sudah koyak itu tak mampu menahan hawa dingin yang berhembus hingga malam itu. Bola lampu yang ada di ruangan itu bersinar redup. Membuat kantuk. Remang bola lampu berkekuatan 5 watt memaksanya tidur lebih awal.

Begitulah kehidupan Yitno sekarang. Bapaknya hanya mewariskan kemiskinan yang dibebankan pada ibunya. Bahkan anak seusia Yitno harus ikut memikul beban itu meskipun dengan meminta-minta. Mengemis sudah dijadikan profesi. Kemiskinan yang membelit dan tidak mempunyai ketrampilan apapun memaksa demikian. Walaupun terkadang tak tega melihat anak satu-satunya yang seharusnya berada di bangku sekolah, ia malah berada di jalanan, mengharap belas kasihan setiap oarang yang dihampirinya, mengharap kepingan atau lembaran rupiah yang di keluarkan dari saku ataupun dompet siapa saja yang ditemuainya.

Ia tak punya pilihan. Hidup harus bertahan meskipun dengan mengemis. Sebuah pekerjaan hina di mata kebanyakan orang. Malam semakin larut. Yitno sudah dari tadi terlelap dalam hidupnya meskipun hanya beralaskan tikar dan berselimutkan sarung yang sudah kumal. Sebelum tidur, ia berharap bisa mewujudkan keinginannya yang hingga saat ini belum tercapai. Harapan itu terus diucapkannya sebelum tidur seperti halnya malam kali ini. Harapan lain adalah menemukan mimpi indah yang seringkali terpotong pagi. Yah! Melanjutkan mimpi indah seperti kemarin. Padahal saat itu ia ingin tetap terus dalam tidurnya dengan balutan mimpi indah.

Seperti biasa setiap pagi harus berangkat. Apalagi kalau bukan mengemis di jalanan. Sepertinya hari itu hari indah bagi Yitno. Setiap orang yang dimintainya tanpa berpikir lama langsung memberinya lembaran uang ribuan. Lembar demi lembar ia terima dengan senang hati. Bahkan ada yang mengeluarkan dari dalam dompet dan langsung diberikan kepada Yitno. Sungguh jumlah yang banyak untuk ukuran pengemis.

Entah apa yang membuat mereka mau memberikan apa yang si pengemis minta. Mungkin karena kasihan melihat anak sekecil itu meminta-minta atau kasihan melihat tubuh kurus berbalut wajah memelas yang melekat. Yitno tak peduli atas dasar apa mereka memberi, yang penting baginya meminta dan menerima. Itu pun kalau dikasih. Kalau tidak, ia tak memaksa.
***
Sesaat Yitno melangkahkan kaki. Baru beberapa langkah ia bertemu dengan seorang laki-laki yang sedang berdiri santai di halte. Ia menghampiri lelaki itu untuk meminta-minta dengan mengulurkan tangan.

“Namamu siapa?” Tanya lelaki itu.

“Yitno, Om,” jawabnya singkat.
“Yitno, kamu tidak sekolah?”

“Nggak Om.”

“Orang tua kamu dimana?” kata lelaki itu.

Yitno diam sejenak setelah mendengar pertanyaan itu. Ia hanya punya seorang ibu, itu pun sama-sama mengemis.

“Ibu dan bapak Yitno ada di mana?” lelaki itu mengulang pertanyaan serupa.

“Ibu....,” ia agak ragu menjawabnya. Namun dengan perlahan ia berkata.

“Ibu mengemis juga. Kalau bapak, nggak tahu ada di mana? Tapi kata ibu, ada di tempat yang jauh. Suatu saat saya sama ibu mau menyusulnya.”

“Jadi Yitno disuruh ibu untuk mengemis, begitu?”

“Ya, Om,” jawabnya polos.

“Yitno mau sekolah?”

“Sekolah?” katanya

Tanpa pikir panjang ia langsung mengiyakan tawaran si lelaki itu. Sebuah kebetulan, sekolah adalah keinginan terbesar. Kapan lagi bisa sekolah, pikirnya polos. Saat itu juga ia diajak lelaki itu ke sebuah toko baju untuk membeli seragam sekolah dan sepatu. Tangan kurusnya digandeng oleh lelaki setengah baya itu.

Ketika itu, telapak kakinya tak beralaskan sandal, apalagi sepatu. Alas kaki ketika itu ya telapak kakinya. Meski tak beralas, ia tak terganggu. Telapaknya sudah kebal terhadap duri-duri yang berserakan di jalan. Panas jalan beraspal tak memberikan pengaruh bagi Yitno untuk melangkah.

Rasa senang menyelimuti wajahnya. Tak sedikit pun ia menaruh curiga pada lelaki itu. Bahkan sama sekali tak pernah terbersit dalam pikiranya apakah lelaki yang ditemuinya itu adalah seorang penculik, penjahat, atau bukan. Sama sekali tak ada dalam pikiran Yitno saat itu. Lagipula kalau diculik, mau ditebus pakai apa?

Sesampainya di toko baju lelaki itu tampak sibuk memilihkan baju untuk si bocah kurus itu.

“Yitno, coba yang ini.” Yitno pun hanya menurut saja.

“Ini terlalu besar, “ komentar lelaki itu sesaat setelah baju itu dikenakan Yitno, dan langsung menggantikan dengan baju lain.
“Nah, kalau yang ini pasti pas, ayo coba yang ini.”

Baju itu langsung dikenakannya pada Yitno. Memang benar. Baju itu pas di badan Yitno.

“Ya sudah, Mbak, yang ini saja sama sepatu itu.”

Si lelaki itu mengeluarkan dompet di saku belakang celananya dan diambilnya bebera-pa lembar uang untuk dibayarkan di kasir.

Lelaki itu itu ikut mengantar Yitno sampai ke rumah. Sesampainya di depan rumah lelaki itu beranjak pamit tanpa terlebih dahulu masuk ke rumah sederhana yang ditempati Yitno dan Ibunya.

“ Mulai besok, Yitno akan Om jemput dan langsung ke sekolah.”

“ Terima kasih, Om.”

“ Jangan panggil Om. Panggil saja bapak.”

“ Ya, Om, eh Pak.”

Yitno melangkah dengan wajah riang. Kedua tangannya menenteng dua bingkisan seragam sekolah dan sepatu. Tak sabar Yitno ingin menceritakan apa yang baru saja dialaminya di hari itu. Ibu pasti senang, pikir Yitno saat melangkahkan kaki menuju rumah. Sebuah rumah kecil yang letaknya di tengah-tengah pemukiman kumuh.

“Mak, Yitno pulang.”

Saat itu ibunya di dapur yang letaknya menyatu dengan ruang tamu. Ia langsung menemui ibu yang sedang menyiapkan makan siang, dan langsung menyerahkan uang hasil mengemis hari itu.

“Makan dulu, ibu sudah siapkan sayur asam dan tempe goreng dengan sambal kesukaanmu.”

Yitno meletakkan kedua bungkusan itu dan langsung mengambil piring untuk makan.Yitno menciduk nasi yang memang tinggal sepiring. Dituangkannya sayur asem dan tempe goreng. Baru saja mau memasukkan suapan pertama, ia dikejutkan teriakan ibunya.

“Yitno, apa ini!”

“Kau dapat dari mana? Kau mencuri!,” Yitno terkesiap. Tiba-tiba saja ibunya menghujani dengan pertanyaan seputar bingkisan itu. Seketika Yitno langsung diseret dari tempat ia duduk. Sang ibu langsung mendaratkan gagang sapu di pantat Yitno. Ia mengaduh kesakitan.

“Ampun bu, ampun. Saya tidak mencuri.”

“Bagaimana mungkin kau bisa dapatkan barang itu kalau tidak mencuri.” Gagang sapu masih bertubi-tubi mendarat di pantatnya. Sementara ia masih tetap pada pendiriannya tidak mencuri.

“Kita ini memang pengemis, miskin dan tak punya apa-apa. Ibu tak pernah mengajarkan kamu mencuri.”

Bocah kecil itu masih tersedu. Tak diberi kesempatan membela diri, untuk bicara yang sebenarnya bahwa dirinya tidak mencuri. Teriakan dan pukulan ibunya jauh lebih kuat dibandingkan dengan tubuhnya yang kurus.

“Kalau begitu, dari mana kau dapatkan ini.”
Suasana mendadak hening. Ia menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Ibunya hanya diam terpekur, matanya menatap kehampaan. Ibunya sadar bahwa anaknya benar-benar ingin masuk sekolah seperti halnya anak-anak seusianya. Namun, rasa-rasanya tak mungkin bisa membiayai sekolah. Penghasilan mengemis hanya cukup untuk makan, tidak lebih.

Suasana haru menyelimuti keduanya. Kini giliran ibunya menitikkan air mata. Nasi yang tadi hendak disantap dihinggapi lalat yang terbang kesana-kemari. Tempe gorengnya sudah tenggelam dalam genangan sayur asem yang sudah tak hangat lagi.

“Baju dan sepatu ini dibelikan seorang bapak yang Yitno temui di jalan buat sekolah.”

Baru saja terucap, ibunya tersentak kaget. Dahinya membentuk gelombang guratan. Ia langsung memeluk erat bocah kecil itu. Perempuan itu teringat suaminya. Mau tidak mau ia harus mengatakan yang sebenarnya meskipun pahit. Menceritakan bahwa ayahnya telah meninggal.

“Bapak Yitno ada di tempat yang jauh. Ia sudah tidak ada di sini lagi.”

“Tidak! Bapak Yitno belum mati. Bapak menyuruhku sekolah. Besok Yitno mau diantar ke sekolah.”

“Yitno, ia bukan bapakmu!” perempuan itu membentak.

Bocah itu tetap berkeras ia menemukan ayahnya. Ibunya kembali memeluk erat lantaran tak bisa berbuat banyak. Hari mulai gelap. Suasana lengang. Sunyi senyap.

Malam ini sengaja Yitno tidur lebih awal, karena besok pagi ia harus sekolah.

“Mak, besok bangunkan Yitno pagi-pagi ya,” katanya.

“Ya.” Jawab ibunya sambil meletakkan bingkisan baju dan sepatu di tempat tidur. Uahm,Yitno memejamkan matanya dan lelap.

***
Pagi yang dinanti tiba.Yitno beranjak dari tempat tidur dan segera mandi. Melihat tingkah anaknya yang tak biasa, perempuan yang tak lain ibunya merasa keheranan. Ketika itu ibunya baru selesai shalat subuh.

“Mak, baju dan sepatu Yitno mana?”

“Baju dan sepatu yang mana?”

“Baju yang kemarin dibelikan sama bapak itu,”

“Kau mimpi lagi, ya.”

Mimpi lagi. Ah, saya masih ingat benar bapak itu yang membelikan baju dan sepatu itu kemarin untuk sekolah.”

Ibunya sudah menganggap hal ini sudah biasa. Kemarin juga mengalami hal yang sama seperti saat ini. Paling sebentar lagi juga sadar bahwa apa yang dialaminya itu adalah mimpi.

Sejak ia sering bermain dengan anak Pak Lurah, keinginanya untuk sekolah begitu besar. Wajah Yitno berubah menjadi lain saat ibunya berkata, “Kau baru saja mimpi, Nak.”

Sejenak teringat pada bapak Yitno saat masih hidup. Walau kehidupannya tak jauh beda dengan sekarang, tapi jauh lebih baik. Keinginan ayahnya menyekolahkan Yitno begitu besar. Sampai-sampai ia rela makan satu kali sehari. Rencananya sebagian besar penghasilan sebagai tukang becak, mau ditabung buat biaya sekolah.

Peristiwa naas menimpa saat tengah menarik becak di siang hari yang panas. Dari arah belakang melaju sebuah mobil kijang berkecepatan tinggi hendak menyalip truk. Dari arah berlawanan juga melaju sebuah mobil bak terbuka yang melaju dengan kecepatan sama. Tabrakkan tak terelakkan. Saling hantam. Mobil kijang terlempar ke arah becak yang sedang melaju di pinggir jalan yang tak lain ayahnya Yitno.

Sekarang Yitno dan ibunya harus bertahan untuk melanjutkan hidup. Suratan memu-tuskan keduanya menjadi gelandangan dan pengemis. Sampai kini, keinginan Yitno ma-sih membekas dalam hatinya. Impian itu tak akan pernah pudar. Ia yakin suatu saat, im-pian itu akan ia dapatkan.

Senin, 08 September 2008

SUARA ADZAN DI JANTUNG MUADZIN



Angin mendadak menghentikan langkahnya saat menuju ke utara. Sayup-sayup terdengar lemah suara adzan menyapa di sebuah surau. Seruannya seperti tak diindahkan oleh mereka yang tengah sibuk mencari tuhan-tuhan kecil. Lantunan hampir saja melenyap. Bukan karena desau angin, melainkan karena suara kakek berusia 85 tahun itu memang sudah tak lagi merdu untuk didengar.
Angin mencoba mengatur patah-patah kata yang beterbangan, untuk digabungkan hingga utuh, supaya tidak salah pesan saat sampai di telinga-telinga masai. Suaranya seperti benang kusut kumal dan basah. Susah diurai dan diberdirikan.

Di kehampaan, suara itu perlahan-lahan melebur. Ketika lisannya berucap, terdengar nada terbata-bata. Napas seolah mau lepas. Namun, dasar kakek keras kepala, ia tetap memaksa melantunkan adzan di surau. Padahal kondisinya sedang kurang sehat lantaran sudah sepuh.

Satu persatu jamaah maghrib bermunculan. Satu dua shaf depan terisi sudah. Hati ka-kek bahagia, meski dengan suara seadanya ternyata masih ada yang mau mendengarkan, lalu melangkahkan kaki ke mushalla. Ia tak peduli berapa banyak jumlah jamaah. Baginya, yang terpenting tugas sebagai muadzin tunai. Sedikit banyak jamaah yang hadir tidak menghalangi niatnya untuk mengingatkan mereka-mereka kepada tuhan.

Pernah saat musim panen tiba, hampir setiap hari ia di surau. Orang-orang kampung sibuk dengan arit di ladang. Bersuka ria memanen padi yang sudah menguning. Antara sawah dan surau justru lebih ramai sawah. Celakanya saat adzan tiba mereka masih asyik memotong batang padi. Sedikit waktu istirahat, lalu melanjutkan kembali memanen. Entah mereka letakkan di mana agama mereka saat musim panen tiba? Padahal adzan tak ubahnya seperti jam dinding yang menunjukkan pukul dua belas ketika terlantunkan di tengah hari.

Yah, akhir-akhir ini jumlah jamaah lebih mendingan dibandingkan ketika kemarau meradang. Ia sendiri heran, kenapa iman harus kendur atau bahkan luntur hanya karena cuaca? Pernah juga ia menjadi imam sunyi. Datang seorang diri, melantunkan azan dan iqamah, sampai shalat sendirian karena tidak seorang pun hadir. Wak Sur, demikian kakek itu biasa disapa hanya bisa menahan napas patah-patah.

Sisa hidupnya memang ingin dihabiskan untuk beradzan. Ia pernah berkata dengan suara patah-patah di hadapan jamaah shalat, “Selama masih hidup, saya akan tetap adzan. Hanya ini yang saya bisa.” Intinya ia mengutarakan keinginan untuk adzan di surau. Dengan keterbatasan suara yang sangat lirih ia bertakbir, bersyahadat, menyeru shalat dan mengajak ke kemenangan, bertakbir dan bertahlil, mengesakanNya.

Hasrat Wak Sur, mendapat sambutan baik. Selama ini memang tak ada yang seistqomah seperti dirinya menjadi muadzin. Siapa mau di tengah pagi buta mesti bangun mendahului suara kokok ayam dan lolongan anjing? Siapa berkenan adzan tengah hari, ketika banyak orang tengah bergelut mencari tuhan-tuhan kecil? Siapa sempat, saat sore hari pergi ke tajug, dimana banyak orang tengah sibuk pulang kerja dengan kondisi letih? Masa maghrib yang begitu cepat sementara lelah belum juga pulih, dan lebih memilih istirahat saat kumandang Isya. Tak ada yang sesempat itu selain Wak Sur.

Sejak saat itu desah suara kakek menyebar ke seantero kampung. Lima kali sehari. Subuh, di pagi hari sebelum cahaya. Tengah hari, menjelang, masa dan sesudah senja.

Pernah sempat ada seseorang mendahuluinya adzan. Saat sudah memasuki waktu adzan, Wak Sur belum tampak. Usai shalat, Wak Sur mendekati orang itu. Dengan suara lirih berkata, “Harus dengan amalan apa untuk mengakhiri hari-hari saya yang sebentar lagi mati selain dengan adzan.” Seketika orang itu segera meminta maaf lantaran merasa telah lancang, mendahului sang kakek.

***
Ada satu hal yang tak ingin diingat lagi oleh lelaki tua itu. Masa lalu. Ya, masa lalu. Tak ingin secuil pun kenangan hinggap di pikirannya. Ia tak mau mengingat semua itu. Karena itulah ia menjadi sebatang kara. Kebiasaan laknat membuatnya kehilangan istri yang dicintainya. Masa di mana, saat mudanya lebih banyak dihabiskan di meja judi.

Sebagai nelayan, ia sebenarnya lihai memainkan jala dan menangkap ikan. Hanya saja, hasil melaut ia pertaruhkan di antara lembar-lembar domino, membiarkan istrinya yang sedang mengidap asma di rumah sendiri, kesepian. Tak peduli dapur sudah lama tidak berasap. Tapi, semua itu tak membuatnya berubah.

Melaut bisa seharian tanpa peduli waktu. Purnama - saat air laut pasang - adalah malam yang tak pernah ia lewatkan. Membuatnya dengan mudah menjebak ikan-ikan yang tampak dalam pandangan mata di bawah siraman terang bulan. Hasil melaut saat bulat bulan sempurna biasanya melimpah. Ia senang bukan main. Itu artinya kesempatan untuk bertarung di meja judi jadi lebih banyak. Peluang untuk menang pun dalam piki-rannya akan lebih besar.

Saat itu, ia pulang melaut pukul dua pagi. Tidak langsung menuju rumah, melainkan langsung menuju ke tempat teman-temannya mengadu. Ia yakin, kekalahan beberapa waktu lalu akan terbayar malam itu juga. Di meja judi ia bisa seharian. Waktu terlewatkan begitu saja. Subuh masih tetap jalan. Hingga matahari terbit, ia masih asyik masyuk diliputi iming-iming kemenangan peraduan. Hari beranjak siang, ia masih belum beranjak.

Hari itu benar-benar miliknya. Semua taruhan lawannya terkuras habis. Berpindah di genggamannya. Ia menang telak! Tepat tengah hari, ketika semua sudah usai, para pengadu nasib tergeletak kelelahan. Dan tidur di bangsal-bangsal beralaskan tikar kumal. Kartu domino dan kulit kacang masih berserakan.

Baru beberapa tapak kaki melangkah menuju rumah, langkah kaki seketika terhenti. Ia merasakan seperti ada desir angin yang menyentuh hati saat tiba-tiba terdengar suara adzan di tengah hari. Lantunannya mengalir syahdu. Ia langsung lemas. Air matanya tiba-tiba menderas membasahi kedua pipi. Seluruh tubuhnya merinding. Hatinya bergetar. Lisannya tak mampu berucap. Seketika bergenggam uang di tangan ia lepaskan. Dua orang rekannya yang kebetulan saat masih terjaga setengah heran dibuatnya.

Ia ingat istri yang terbaring lemah. Tanpa berpikir panjang, setelah adzan usai, ia berlari kencang ke rumah. Saat tiba, langsung bersimpuh di kaki istrinya yang tengah sekarat. “Ajari aku wudlu, aku ingin shalat” katanya lirih. “Aku ingin shalat, ajari aku wudlu,” katanya sambil menggoyangkan tubuh istrinya. Tubuh perempuan di depannya tak bergerak sama sekali. Ia baru berhenti ketika sadar bahwa istrinya sudah tak memiliki napas. Ia tak mampu melakukan apa-apa. Hanya meneriakkan, “Tidak!!!”

Sejak peristiwa itu, ia lebih memilih menyendiri. Hingga tersadarkan bahwa ia telah menyia-yiakan waktu untuk urusan yang tidak perlu. Sejak saat itu pula ia merasa menjadi lelaki paling bersalah di dunia. Ia menyesal.

Dan, hari-harinya kini lebih banyak ia habiskan untuk melakukan hal yang sekiranya bisa menghapus dosa masa lalu. Setiap kali mendengar adzan, merinding ia dibuatnya. Sejak saat itulah, ia menghadap Kyai Mashudi meminta mengajarinya adzan. Ia bertekad untuk menjadi seorang muadzin. Pikirnya, mendengar saja membuat hati bergetar, apala-gi melantunkan?

Masa lalu itulah yang benar-benar tak mau diingat. Ia adalah kini. Seorang lelaki tua yang hidup sebatang kara, yang tidak melewatkan untuk mengumandangkan adzan. Hing-ga di usia senja.
***

Kesehatan Wak Sur makin lama makin memprihatinkan. Jalannya saja sudah tertatih. Suaranya sudah melenyap. Sesekali batuk ketika melantunkan adzan, sampai terdengar ke pengeras suara. Wak Sur susah dicegah. Tekadnya benar-benar sudah bulat. Ingin adzan sampai mati. Kalau belum mati, ia akan tetap adzan.

Saat itu Wak Sur melantunkan adzan subuh. Suara yang terdengar dalam lantunan adzan nyaris hampa. Seperti suara berbisik. Tanpa ekspresif, tanpa penjiwaan. Sama sekali tak menggerakkan hati untuk segera beranjak. Menyaksikan hal itu, para jamaah sempat saling tatap. Keagungan Sang Pemilik Semesta ia lantunkan lirih. Syahadat, mengesakan Tuhan dan bahwa Muhammad Rasul terakhir, ia lantunkan dengan mengandalkan suara-suara yang hampir patah. Seruan shalat, menuju kemenangan. Dan, selesai mengucap Lailahaillallah ia ambruk!

Segera tiga orang dari jama’ah sholat subuh membopongnya ke Rumah Sakit Pertamina. Ia masih sadar ketika ia berada saat dalam perjalanan menuju Rumah sakit, sekonyong - konyong ia berdzikir seakan-akan tidak pernah terjadi apapun. Sesampainya di Instalasi Gawat Darurat (IGD), ia disambut seorang dokter cantik nan muda berjilbab, Dr. Hanum namanya. Setelah diperiksa ternyata ia mengalami peradangan mematikan yang menyerang sebagian besar jantung.

Setelah itu Wak Sur tak bergerak. Meninggal? Memastikan akan kematian Wak Sur, Dr. Hanum meletakkan stetoskopnya di atas dada Wak Sur. Dr. Hanum terkejut saat menempelkan stetoskop bukan mendengarkan detak jantung melainkan mendengar suara adzan. “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Asyhaduallailahaillallah.” Dokter Hanum terkejut mengernyitkan dahi. Memastikan kebenaran apa yang ia alami, ia kembali meletakkan stetoskop di atas dada Wak Sur, suara adzan masih terdengar di telinganya hingga sampai selesai. Itu benar-benar suara adzan!

BERLABUH DI MERAPI


Pagi-pagi merapi masih diselimuti kabut tebal. Hamparan hijau tampak sejuk dipandang dan rapi. Gemericik air sungai riuh meramaikan suasana pagi. Sementara buluh embun masih menempel di atas daun-daun dan rerumputan. Pak Karso masih belum beranjak dari tempat tidurnya. Sehabis shalat subuh, ia langsung memeluk bantal melanjutkan tidur yang sempat tertunda semalam.

Siang nanti rencananya akan merumput untuk kawanan mendo di belakang rumahnya. Pagi-pagi rumput masih basah sehingga ia masih belum mau beranjak. Sementara Mbok Dijah, istri Pak Karso sedari pagi sudah berasap di dapur, seperti biasa menyiapkan sarapan, persiapan untuk makan siang hingga makan malam. Di Jawa, sudah terbiasa memasak sekaligus untuk makan satu hari.

Setelah selesai mengasap seperti biasanya Mbok Dijah berangkat ke sawah untuk menyiangi rerumputan liar yang tumbuh di ladang miliknya. Di atas petak sawah, tumbuh padi yang mulai menguning. Tidak untuk waktu yang lama, padi yang sudah menguning itu akan segera dipanennya. Biasanya selepas dari sawah ia mampir ke hutan mencari kayu bakar. Jarak tempat mencari kayu bakar dari sawah tidak terlalu jauh, tempatnya bersebelahan.

Matahari perlahan menanjak, sengatan di kala siang terasa begitu hangat. Pak Karso sudah berangkat merumput. Dengan ditemani keranjang dan sabit ia mulai membabat hijau rumput yang tumbuh subur di kebun, bahkan tak jarang untuk mendapatkan rumput segar ia sempatkan mendaki hingga ke tengah-tengah Merapi. Naik turun bukit sudah menjadi hal biasa bagi Pak Karso.

Ditatapnya gundukan tanah kokoh yang menjulang tinggi dihadapannya, alih-alih melihat kepulan asap dari puncak merapi. Tak lama setelah itu, kembali ia merumput, keranjangnya masih setengah diisi rumput. Sebelum rumput itu penuh dan keranjang tak mampu menampungnya, ia tak akan pulang. Pantas saja, ternak pak Karso gemuk-gemuk. Padahal tubuhnya tak segemuk kawanan kambing yang ia pelihara. Kurus tapi masih kuat menempuh kiloan jarak menanjak. Akhirnya, keranjang itu penuh dengan rumput dan pak Karso pun bersiap-siap untuk pulang.

***

Terkejut Pak Karso ketika sampai di perkampungan, lalu lalang semua warga dengan bawaannya masing-masing. Ibu-ibu dengan bayi yang digendongan, bapak-bapak dengan beban pikulan di kedua pundak bahkan ada yang dibuntal dengan kain sarung. Entah apa yang ada dalam buntalan kain itu, beras, hasil kebun ataukah helai pakaian. Bahkan ada warga yang menggandeng, memboyong puluhan hewan ternak!.

Diletakkannya beban rumput yang melekat dibelakang pundak Pak Karso. Ia menatap heran. Semua-mua orang sibuk mengungsi.

“Merapi dalam keadaan bahaya!” ucap seorang warga kepada Pak Karso.

“Merapi mulai bereaksi!” ucapnya lagi.

Ada apa dengan Merapi? ucap Pak Karso sambil menatap gundukan tanah yang menjulang yang tampak kokoh dihadapannya.

Tampak ada beberapa petugas, entah dari instansi mana, melakukan sweeping terhadap warga untuk segera mengungsi dari pemukiman dekat Merapi. melihat hal semacam itu, Pak Karso malah makin kebingungan, tak mengerti.

“Merapi dalam keadaan bahaya, demi keselamatan, diharapkan semua warga yang berada di lereng merapi agar secepatnya mengungsi,” ucap seorang petugas menggunakan megaphone.

“Tak ada yang aneh dengan Merapi.” ucap Pak Karso kepada petugas itu.

“Merapi mulai bereaksi dan diramalkan untuk waktu yang tak lama akan meletus. Merapi dalam keadaan bahaya. Semua warga diharuskan mengungsi,” jelas petugas.

Pak Karso tak menyambut baik penjelasan petugas itu, baginya tak ada yang aneh dalam merapi. Merapi tak akan meletus, pikirnya.

“Sudah puluhan tahun saya hidup dengan merapi. Hari-hari saya ditemani merapi dan bahkan untuk makan pun dari gundukan tanah ini,” kata Pak Karso sambil menatap Merapi.

“Semua warga selama ini berhubungan baik dengan Merapi. Dan saya lebih mengenal merapi daripada saudara. Bagaimana mungkin saya akan meninggalkan Merapi,” katanya berbicara seorang diri dalam hati.

Belum terlihat oleh Pak Karso ada tanda-tanda merapi akan meletus, seperti belum terlihatnya binatang-binatang semisal harimau, kera, rusa yang turun dari gunung, semua akan baik-baik saja, Pak Karso membatin.

Sementara petugas itu kembali menyerukan warga untuk mengungsi. Rumah Pak Karso berada di pinggiran lereng merapi dan jauh dari pemukiman penduduk sekitar. Dengan tak menghiraukan lalu lalang orang mengungsi, ia mengangkat kembali keranjang rumput yang tergeletak di atas tanah dan membawanya ke rumah. Sesampainya di rumah ia mendapati Mbok Dijah, istrinya sudah tidak ada di rumah.

Kawanan mendo yang ada dibelakang rumah masih ada di kandang. Kambing-kambing itu tampak tak tenang, terdengar suara berisik debukan kaki-kaki kambing Pak Karso, mungkin lapar. Ternyata benar. Di kandang tak tersedia rumput hijau untuk disantap kambing miliknya. Buru-buru ia menaruh hasil merumputnya dan cepat-cepat diberikan kepada kambing yang sedari tadi mengembik tak karuan.

Tiba-tiba pikiran Pak Karso tak tenang, ia dihinggapi gelisah yang tiba-tiba menyerang. Sementara suasana di sekitar tampak lengang. Kopi yang selalu disediakan Mbok Dijah seusai merumput pun tak tersaji, ia tak tahu entah sedang ada di mana istrinya sekarang. Ia mendapati sepi di rumahnya.

Grrunngn!!!!, tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Hal itu membuatnya semakin panik di kesendirian. Suara gemuruh itu membuat sedikit getaran, sampai-sampai kursi yang ada di dekat meja menjadi sedikit bergeser. Ia benar-benar merasakan getaran itu, cepat-cepat ia menunduk. Getaran itu tak lama dan keadaan kembali tenang, sunyi. Merasa keadaan sudah aman, tanpa pikir panjang, ia bergegas keluar rumah, menyusul istrinya yang entah ada mana. Pak Karso mendapati kesunyatan, di perjalanan ia tak mendapati orang berlalu lalang, apalagi berpapasan dan saling sapa. Saat itu benar-benar dalam keadaan lengang. Ia terus berjalan seorang diri dengan langkah kaki yang dipercepat.

Di tengah perjalanan, mendadak langkahnya terhenti. Beberapa jenak ia berdiri dan berpikir, teringat kawanan mendo yang ditinggalkannya di rumah. Bagaimana mungkin, aku pergi tanpa mendo, pikirnya. Setelah berpikir beberapa jenak, ia memutuskan untuk kembali ke rumah dan membawa kawanan mendo untuk diikutkan bersamannya. Terpaksa, ia menyusuri balik jarak yang tadi ia tempuh. Perasaan khawatir akan mendo miliknya terpandar dari raut wajah yang menyimpan seribu kecemasan akan kambing-kambing miliknya.

“Bapak hendak ke mana, semua warga sudah mengungsi ke utara,” ucap salah seorang petugas yang tadi siang ditemuinya. Pak Karso pun menghentikan langkahnya.

“Aku akan membawa mendo milikku yang masih ada di kandang, kasihan mereka nggak ada yang ngurus,” jawab Pak Karso ringan.

“Keselamatan bapak lebih penting, bapak sebaiknya ikut saya ke kamp pengungsian,” tawar petugas itu.

“Tidak. Aku akan tetap membawa kawanan mendoku untuk aku ikutkan dalam pengungsian. Saya tidak akan pergi tanpa mendo milikku,” Pak Karso tetap berkeras dalam pendiriannya.

“Bapak ke sana dulu saja, nanti saya menyusul,” ucap Pak Karso. Tanpa menghiraukan petugas itu, Pak Karso melanjutkan langkah menuju rumah. Tak berselang lama, ia pun sampai di rumah. Namun ia terkejut saat menuju belakang rumah, ia mendapati pintu kandang dalam keadaan terbuka. Kawanan mendo miliknya pun tak ada. Ia panik bukan kepalang. Saat itu ia terburu-buru pergi, sampai-sampai ia lupa untuk menutup pintu kandang.

Terdengar lirih suara embikan dari jarak yang tak begitu jauh dari tempat dimana Pak Karso berada. Cepat-cepat Pak Karso mengarahkan pendengarannya kearah suara embikan itu, alih-alih itu adalah suara embikan kambing miliknya. Dugaan Pak Karso tepat, kawanan kambing miliknya sedang berjalan menuju selatan ke arah merapi!. Pak karso berlari mengejar kambing-kambing yang sedang bergerak menuju selatan. Ia begitu heran, semakin cepat ia melangkah, semakin jauh pula kambing-kambing itu dari penglihatannya. Sampai-sampai jarak kawanan kambing bergerak tak terjangkau oleh kedua matanya yang sudah tua. Padahal arah selatan adalah arah menanjak, ke puncak Merapi!

Pak Karso tampak letih, ia tak bisa melanjutkan langkahnya menanjak, sementara kawanan mendo miliknya masih terus menanjak tanpa menoleh sedikitpun ke arah Pak Karso yang sedari tadi membelakanginya. Kawanan kambing itu semakin menuju puncak. Bentuknya mengecil, mengecil dan mengecil hingga hilang diujung pandangan mata. Tatapan mata Pak Karso tertuju pada puncak merapi tempat kawanan kambing miliknya berada. Subhanallah, kawanan kambing itu mencapai puncak yang mengeluarkan asap!

Terlihat jelas oleh Pak Karso kepulan asap yang membumbung dari kawah puncak merapi. Semakin lama kepulan asap itu semakin membesar disertai getaran dan hentakan yang cukup berat. Disertai bunyi kedebam, batu-batu bermuntahan dari dalam merapi, tak berselang lama muncul sesosok yang tak asing bagi Pak Karso dari puncak merapi.

Sosok itu mirip dengan beberapa mendo miliknya, tetapi dalam wujud besar dan bertanduk. Kepulan asap seolah berubah menjadi mendo raksasa, menjadi Wedhus gembel. Bergerak menyusuri lereng-lereng Merapi disertai bebatuan yang berguguran. Pohon-pohon pun diterjangnya. Pak Karso hanya terduduk tak bisa berbuat apa-apa saat melihat wedhus gembel itu bergerak cepat kearahnya.

Minggu, 07 September 2008

QASIDAH GURUN



Perempuan itu pucat pasi. Di wajahnya keringat menetes. Ia tampak lelah, juga panik. Berjalan membawa beban diseret sendirian. Perlahan, ia menyeret sesuatu yang tampak berat. Beban itu seukuran perempuan itu. Terbungkus karung goni yang ujungnya diikat dengan ikatan simpul mati. Sesekali matanya mengintai ke arah kanan kiri jalan yang ia lewati. Sekedar memastikan apakah ada orang yang melihat atau mengawasi.

Telapak tangannya mengeras. Terus menerus memegang tali pengikat beban yang tak mampu ia bawa dengan langkah cepat. Ia menyempatkan istirah sejenak. Sekedar melemaskan otot-otot yang tegang. Mengembalikan jiwa-jiwa yang terasa kaku. Juga menghindar dari mentari yang begitu menyengat. Sungguh sengatan yang berbeda yang ia rasakan. Berharap mendapat seteguk air yang bisa mengaliri kerontangnya tenggorokan, namun tak ia dapatkan. Ia hanya berkali-kali menelan ludah sekedar membasahi. Tak siapapun ada. Yang ada hanya hamparan pasir halus yang membentang luas hingga batas mata memandang.

Ia tampak lelah. Sampai-sampai di sela istirahnya tertidur. Buntalan goni ia jadikan sebagai bantal tempat kepala berpijak. Lelap benar dalam tidurnya. Padahal ia berada ditengah terik. Lengan kirinya menelangkup kedua mata untuk menghindari sengatan matahari, juga terpaan debu yang beterbangan. Sunyi.

Terpaan angin membuat perempuan itu terbangun. ”Ah, aku tertidur rupanya,” katanya. Sementara tinggi matahari masih sepenggalah. Ia beranjak dari masa istirah. Membersihkan debu-debu yang menempel di kulit tubuh, juga yang menempel di baju lusuh yang ia kenakan. Beban itu kembali ia seret, melekatkannya ke pundak, sambil berjalan dengan langkah berat. Peluh yang ia kucurkan segera dibasuh dengan lengannya.
Sesekali perempuan itu meringis, menahan perih sakit. Ia tetap berjalan. Di depan masih luas membentang, pandangan mata, masih jatuh pada hamparan pasir. Entah sampai kapan perjalanan yang ia tempuh akan berakhir.

Tak pernah terpikir oleh perempuan itu untuk meninggalkan saja beban yang ia bawa. Dengan begitu, mungkin tak harus berlelah-lelah. Ia bisa berlari sekuat tenaga dengan lepas tanpa harus terikat beban. Tidak sekali-kali pikiran itu terlintas. Tebersit pun tidak. Tampaknya ia akan selalu menyeret beban yang ia bawa. Entah sampai dimana akhir perjalanan itu.

Sementara hari beranjak gelap. Perempuan itu masih tetap berjalan. Angin gurun tak menyurutkan langkah. Dingin menusuk. Suasana gelap. Angin berhembus. Membuat rambutnya terurai membentuk gelombang. Sunyat benar malam itu. Tak ada secercah cahaya bintang pun yang memberikan cahaya. Sekedar menemani perjalanan mengiringi. Jangankan bertabur bintang, bulan pun tak tampak malam itu.
Lajunya saat menapak mendadak terhenti. Merasakan ada sesuatu yang aneh di kepalanya. Pandangan mata seakan-akan berputar. Seakan jadi poros. Memutar, memutar hingga pandangan kabur. Putaran itu semakin kuat dan “Brakk!!” ia tersungkur, menggeletak di atas gurun seraya memeluk beban yang ia bawa. Tak ada suara. Hanya sedikit gemuruh. Gelap semakin pekat. Sunyat.

Matahari sudah kembali muncul. Tak ada kokokkan ayam atau lolongan anjing pernanda pagi. Matanya berkedip-kedip terkena kilauan cahaya. Ia terbangun dari tidak sadarnya. Mencoba beranjak dari geletak, ia tak mampu. Berkali-kali mencoba bangkit, tetapi tak bisa. Ia kesal. Dipukulnya hamparan pasir dengan genggaman tangan. Tak ada air mata yang menetes. Mata yang tak mampu berkaca-kaca.

Di tengah usaha menggapai bangkit, tiba-tiba di depannya hadir sosok lelaki berjubah. Tak mampu ia melihat wajah itu karena semua tertutup jubah yang ia kenakan.. Segera ia memeluk beban yang ia bawa.

“Assalamu’alaikum...” lelaki berjubah itu memberi salam.

“Wa…wa…wa” perempuan itu gagu. Tak bisa menjawab salam. Diulangnya salam itu hingga tiga kali. Tapi tetap saja, ia tak mampu menjawab.

“Siapa namamu?” Lelaki berjubah itu kembali menyapa.

Gemetar seluruh tubuh perempuan itu. Roman mukanya menyimpan kekhawatiran yang amat dalam. Perempuan itu tak bergeming. Tetap diam dengan tatapan menunduk. Diulangnya pertanyaan itu. Tak lama, bibir perempuan itu mulai bergerak.

“Narsih. Nama saya Narsih, Kinarsih.” Jawabnya dengan nada pelan.

“Mau kemana kau seorang diri dengan bawaanmu itu,” tanya balik lelaki itu.

Pertanyaan itu seakan menohok perempuan itu. Dalam diam ia justru bertanya pada diri,“Hendak kemana saya pergi, saya sudah berjalan begitu jauh namun saya tak punya arah. Kemana tujuan yang ingin saya capai?”

Beberapa jenak merenungi diri.

“Tidak!!” perempuan itu tiba-tiba seperti orang baru sadar dari lamunan.

“Tentu saja kakiku melangkah bukannya tanpa arah. Tapi saya akan membawa jauh-jauh…,” perempuan itu tak melanjutkan bicaranya. Matanya menatap beban yang ia bawa.

“Kenapa kau tak lanjutkan bicaramu. Apa yang kau bawa.” Lelaki itu tampak penasaran.
“Tidak! siapapun tak boleh tahu apa yang aku bawa.” Jawabnya ambil memegang erat bawaannya.

“Aku takkan memaksamu untuk menunjukkan apa yang kau bawa. Ada satu hal yang kau perlu tahu, bahwa tempat ini tak berbatas. Sampai batas yang tak tentu, akan tetap seperti ini. Yang akan kau temui hanya hamparan pasir. Jadi percuma saja kau melakukan perjalanan yang tak kau ketahui arah yang kau tuju. Sebenarnya bagaimana bisa kau ada di tempat ini?”

Perempuan itu diam beberapa jenak merenungi kata-kata lelaki berjubah.

“Kenapa saya ada di sini?” katanya dalam benak. Lalu menerawang jauh ke belakang, mencoba mengingat-ingat bagaimana ia bisa berada di tempat ini.

Suasana begitu tenang. Hanya sedikit gemuruh angin. Juga kicauan burung manyar. Pikirannya, sekali lagi, menerabas jauh hingga sampai pada suatu titik dimana ia berada pada ketidakpercayaan.

Ia merabai diri, memegang kedua pipi, tangan kaki dan semua tubuh yang melekat dalam diri perempuan itu. Terasa ada yang aneh saat Kinarsih merabai pergelangan tangan. Ia tak mendapati denyut nadi pergelangan. Ia terkejut saat tangan kanan menekan denyut nadi, urat-urat yang ada dilengannya terburai keluar. Sebagian ada yang putus. Darah yang ada disekitarnya mengering. Perempuan itu dibuat gila tidak percaya melihat urat-urat yang keluar tercerabut laksana akar kehilangan tanah. Yang lebih mencengangakan, sebilah pisau masih menancap di lengan.

“Kau telah membunuh dirimu sendiri,” ucap lelaki berjubah itu.

“Tidak, tidak, ini tidak mungkin terjadi,” ia mencoba membantah.

“Tetapi ini sudah terjadi.”

“Kau salah, ketika kau menghindar dari masalah dengan jalan bunuh diri. Lepasnya raga dari jiwa itu merupakan awal dimulainya kehidupan baru yang tak mungkin dikem-balikan ke keadaan semula.”

Mendengar ujaran lelaki berjubah, tiba-tiba saja air mata perempuan itu mengalir. Matanya kini berkaca-kaca. Seketika itu juga, ia merasakan dahaga yang sangat. Ingin sekali rasanya meneguk tetes air. Kepada lelaki berjubah itu ia mengharap seteguk air. “Aku haus, apa kau punya seteguk air,” kata perempuan itu.

“Kau minum saja darah dan air matamu. Di sini, di hamparan pasir ini, tak akan pernah kau temukan oase untuk orang-orang yang memisahkan raga dari jiwa dengan tangan sendiri.”

“Aku hanya seorang manusia lemah, yang tak mampu mengemban amanat hidup”

“Dan kelemahanmu pula tak bisa dijadikan sebagai alasan untuk kau mengakhiri hidup. Apapaun alasan itu, memisahkan raga dari jiwa adalah hal tak patut. Sekalipun untuk tujuan terhormat, layaknya harakiri. Bunuh diri adalah cara pengecut menuju kematian. Sekalipun dilakukan dengan cara berani.”

Perempuan itu terduduk diam dihadapan sesuatu yang terbungkus seukuran dirinya. Penyesalan itu datang. Meratap. Dibukanya tali pengikat karung goni itu, perlahan ia membuka tali itu. Ratapannya semakin menjadi ketika ia melihat dirinya terbungkus dalam karung goni itu. Wajah perempuan itu mendadak pucat seperti jasad sendiri yang ia tatap.

“Aku harap kau orang terakhir yang melakukan tindakan bodoh. Sudah banyak orang-orang sepertimu saya temui. Yang terjadi adalah penyesalan tanpa arti. Mereka pun sama sepertimu yang menyeret jasad sendiri, entah mau dibawa kemana jasad yang sudah membusuk miliknya itu. Mereka, juga sama sepertimu, yang enggan meninggalkan jasad sendiri yang ia bawa. Padahal jasad itu sudah tak berguna. Mereka, termasuk juga kau, tak mampu berbuat apa-apa. Untuk menggali lubang sendiri pun mereka tak mampu. Sayang, aku tak bisa berbuat banyak.”

Kata-kata yang terujar membuat perempuan itu merasa tersudutkan. Ia tak mampu bercakap apa-apa.

“Boleh aku bertanya? Sebenarnya kau siapa,” katanya mengungkapkan pertanyaan yang sudah lama terpendam sejak pertama kali bertemu dengan lelaki berjubah itu.

“Aku malaikat penjaga gurun ini.” Dan setelah itu sunyi. Tak ada kata-kata.

Kamis, 04 September 2008

DEADLINE



Pukul 00.15, saat pagi baru mulai beberapa langkah. Sebuah email masuk. Sudah cukup lama saya menanti balasan hasil editan dari Pemred dengan harap-harap cemas. Isinya cukup menyentakkan...

“PERHATIAN! PERHATIAN! PERHATIAN!
Harap hati-hati, ini pelajaran berharga bagi kita semua tentang tulisan yang bisa berakibat fatal. Cover halaman satu, iklan seharusnya ditulis ......’Tahun yang baru, bukan Tuhan yang baru! Kalo tuhan yang baru, nanti ada kitab baru, nabi baru dst. Untung ketahuan, kalau tidak, kita tamat!”

Pesan itu datang saat pagi baru beranjak beberapa menit saat deadline. Saat mata masih menatap layar komputer, memelototi penggunaan tanda baca, pemenggelan kata demi kata, kalimat demi kalimat, mencari kemungkinan ada kesalahan dari setiap naskah yang akan dicetak.

Deadline, bagi saya sudah jadi harga mati. Tak bisa ditawar. Tidak bisa tidak surat kabar harus siap dibawa ke percetakan. Saya mengartikan deadline sebagai garis kematian. Kata itu saya urai bebas hingga menjadi dua kata yang memiliki arti beda.

Dead yang berarti mati, kematian, dan line yang saya artikan sebagai batas, bisa juga berarti baris, mungkin juga garis. Ya, garis atau batas kematian. Media akan mati, ketika sudah ingkar deadline. Batas yang tak bisa ditawar-tawar. Sudah.

Pesan itu benar-benar membuat saya shock. Membuatku tak mampu berucap apa-apa. Sama halnya dengan Richard, Ade dan juga Ramdhan. Saya tak berani membayangkan, kalau pesan itu terujar langsung dari lisan Pemred, tidak melalui sebuah email. “Pemred pasti marah besar,” pikirku. Pesan yang tertulis dalam huruf kapital dan penuh tanda seru, setidaknya menunjukkan, betapa Pemred benar-benar marah.

Saya ingat, suatu ketika Pemred pernah berujar, betapapun lelahnya kita, detail jangan sampai terlupakan. Salah satu huruf saja akibatnya bisa fatal. Jangankan sehuruf, kesalahan menulis pada tanda titik koma saja akan menjadi masalah besar. Apalagi kesalahan logika? Betapa pun kredibilitasnya sebuah media, kerja keras akan menjadi sia-sia ketika terjadi kesalahan dan kita akan dianggap bodoh. Detail, ingat! Lagi-lagi detail. Detail bukanlah perkara sembarangan.

Tahun berubah menjadi Tuhan!

Benar-benar fatal dan tidak bisa dimaafkan. Kalau saja itu benar-benar terjadi, maka habislah. Kalimat itu tertera pada redaksi iklan ucapan selamat natal dan tahun baru dari mega proyek yang akan membuat kota ini menjadi lebih berwarna, bangunan sembilan tingkat lengkap dengan segala fasilitas. Mengalahkan Mal terbesar kota untuk saat ini. Tahun depan mega proyek itu dipastikan jadi.

Ade, disainer iklan, juga terlihat lemas, tak mampu berkata apa-apa. Saya lihat matanya sudah terlihat lelah, sudah dua hari ini mematut diri di depan layar monitor, mencermati satu demi satu bagian, mencermati kemungkinan ada kesalahan untuk segera ia koreksi. Detail bukanlah perkara main-main. Saya, yang masih shock, seringkali menyalahkan diri. Saya kecolongan!

Ingatan mengembara kemana-mana, sempat juga membayangkan kalau peristiwa itu benar-benar lolos dan terjadi. Dan, kalau memang itu benar-benar terjadi, mungkin ceritanya akan lain, bisa jadi seperti kisah berikut ini.
***

Tak ada tanda-tanda langit bakal mendung. Semuanya berjalan lancar tanpa ada kendala. Sebanyak 200 ribu ekslempar telah tercetak rapi, secepat kilat langsung menyebar di seantero kota ini.

Entah kenapa, hari itu terasa agak berbeda. Ada perasaan lain yang mengganjal. Tapi apa? Belum terjawab. Berkali-kali saya menghubungi nomor kantor, namun selalu sibuk. Akhirnya saya putuskan untuk berangkat ke kantor sehari setelah koran terbit. Sesampainya di kantor, saya melihat semua orang di kantor tampak pucat. Hening. Tidak seperti biasanya. Saya berjalan penuh dengan tanya menuju mejaku. Di meja, sudah tergeletak surat kabar yang masih hangat. Edisi terbaru.

“Pak?” kata Ilalang, Sekretaris Redaksi tiba-tiba dengan suara parau.

“Ada kesalahan fatal di halaman pertama pada redaksi iklan selamat natal dan tahun baru. Kesalahan terletak pada tahun yang tertulis menjadi tuhan” jelasnya lebih lanjut.

Mata saya membelalak terkejut. Aliran darah dan nafas seakan berenti seketika.

Buru-buru saya mengecek kebenaran yang disampaikan Ilalang. Saya segera menyambar surat kabar yang tergelatak untuk kubaca detail, saya berharap apa yang disampaikan Ilalang adalah sebuah kesalahan.

Lemas sudah persendianku. Apa yang disampaikannya nyata-nyata benar. Kesalahan itu realita yang terjadi sebenarnya. Kesalahan itu benar adanya. Kepanikkan itu semakin menjadi, selang beberapa jam surat kabar itu disebar, telepon tak berhenti berdering memprotes, kita dianggap sebagai media yang menghina keberadaan tuhan dengan melahirkan tuhan baru.

Keesokkannya semua media massa menurunkan headline kemunculan Tuhan baru yang tidak lain diarahkan kepada surat kabar tempat saya bekerja. Sudah bisa ditebak sebelumnya, akan ada ribuan massa dari berbagai institusi agama akan turun ke jalan. Sinyal-sinyal itu sudah terdeteksi sejak mula. Tanda kantor redaksi bakal digerebeg ribuan massa. Apa yang terjadi sungguh di luar dugaan.
Udara pengap mulai terasa di dalam kantor.

Kesalahan fatal, pada redaksi iklan halaman depan benar-benar telah menyulut amukkan massa, terutama golongan yang fanatik terhadap agama. Indonesia memang negera demokratis, tapi untuk urusan agama, jika ada yang menyinggung perasaan salah satu agama, bisa-bisa panjang urusannya.

Setelah negeri ini ramai dengan kemunculan nabi baru, kini tanpa ada satu pun yang menginginkan, telah muncul Tuhan baru, dan tidak menutup kemungkinan akan muncul kitab suci, ajaran atau bahkan rumah ibadah baru.

Sebuah kekhilafan yang tak sengaja. Tapi apa mau dikata, suasana sudah panas. Massa merangsek masuk ke ruang redaksi. Mereka siap mengobrak-abrik kantor, teriakan untuk meminta Pemred keluar nyaris tak henti-hentinya. Keadaan malah semakin berguncang. Meminta maaf sudah bukan waktu yang tepat.

"Gantung!"

"Bakar!"

"Cincang!"

"Rajam yang telah melecehkan keberadaan Tuhan!"

Begitulah kira-kira hujatan yang terlontar tiada henti-hentinya.

Tiba-tiba saja, muncul sekelompok orang yang meneriakkan hujatan itu mendekat ke arahku. Mereka membawa sebilah tongkat. Tongkat yang telah menghancurkan jendela-jendela pintu, juga membuat lebur monitor. Tangan-tanganya siap mengacungkan lempang kayu untuk disabetkan ke arahku. Sementara saya terjebak. Tak saya temukan pintu keluar. Terpojok. Mereka sudah persis di depanku. Tak banyak yang saya lakukan selain melindungi diri dengan kedua tangan yang kulekatkan di atas kepalaku. Dan....Ahh!!!
***
Richard menyadarkanku dari lamunan. Cukup mengagetkan, lantaran ia menabok pundakku dengan keras. “Ayo cepetan ganti, bapak sudah menunggu,” katanya. Gelagapan saya mencoba mengembalikan alam bawah sadarku yang terbang entah ke mana, untuk saya tarik kembali ke dalam alam bawah sadar. Lamunan membuatku larut. Sampai-sampai saya lupa, bahwa redaksi yang menuliskan Tuhan mesti diganti Tahun. Awal yang tertulis Tuhan Baru menjadi Tahun Baru.

Segera saya meralat. Usai menuliskan, saya tetap melototi satu persatu meski mata sudah basah lantaran terlalu lama menatap monitor. Awas jangan sampai ada yang salah. Gelombang warna yang terpancar dari layar monitor memaksa mata berkedip berkali-kali. Halaman demi halaman kupelototi satu persatu tiap kata yang terangkai. Hingga sampai pada satu judul naskah yang persis menggambarkan kondisi saya saat sekarang ini. “Saya Shock!” begitu judul artikel yang sedang saya perhatikan.

Sebuah artikel yang menuliskan perjalanan hidup seorang bos keretek yang penuh drama. Dalam artikel yang saya tulis, dikisahkan, ia mengalami satu fase menuju kema-tian untuk menemui tuhan, namun ia masih bisa dipinjami nafas.

Pernah ia dalam kondisi koma, tak sadarkan diri selama beberapa bulan. Di rawat, di sebuah ruang khusus. Kebanyakan orang-orang yang koma sudah lanjut. Ia sendiri paling muda. Selama itu pula, dalam alam bawah sadar, ia menemui satu persatu anggota keluarganya. Mulai dari isteri, anak-anak, sampai kerabat dan teman dekat seakan mau pamit dari dunia ini. Untuk pergi menemui mati.

Ia pasrah. Sampai-sampai dalam artikel itu ia bilang, “Saya pasrah, Kalau pun pinjaman nafas saya sampai detik ini, silahkan ambil,” katanya. Akhir cerita itu, ia selamat setelah melewati operasi yang telah tiga kali gagal, karena ketidaksiapan mental. Setelah sembuh ia berkata, “Mungkin Tuhan masih memberi kesempatan buat orang bejat seperti saya untuk segera bertaubat.”

Saya ingat, saat usai wawancara dengan bos rokok asal Malang di suatu hari di awal senja sampai senja itu tenggelam. Saya melihat ia mengambil seratus ratus ribuan sebanyak lima lembar dari dompetnya, lalu dimasukkannya ke dalam amplop putih.
“Sebagai tanda terima kasih,” katanya.

Saya sempat diam beberapa jenak. Jantung berdegup kencang.

“Maaf Pak, saya tidak bisa menerima ini,” kata saya sesantun mungkin.

“Setiap wartawan yang wawancara juga saya kasih kok. Hitung-hitung uang bensin,” ia mendesak. Pikirku, saya harus segera pergi dari tempat ini, kalau tidak saya bisa tamat gara-gara menerima amplop itu. Berkali-kali ia mendesak untuk aku menerima amplop berisikan setengah juta!

“Terimakasih banyak pak, atas perhatiannya. Bukannya saya tak mau menghormati pemberian dari bapak. Bapak sudah meluangkan waktu interview saya sudah beruntung. Komitmen kami, tidak menerima pemberian dalam bentuk apapun dari nara sumber.”

Mendengar penjelasan itu, ia agak terkejut sekaligus tercengang.Di tengah ketercengangannya, saya segera pamit, karena tugas liputan saya sudah usai.
Saya mengendarai sepeda motor, terlihat jelas jarum penunjuk bensin dalam speedometer itu mengarah pada huruf E.

Sesampainya di kantor, perut terasa lapar. Beruntung, ibu warung di depan masih buka. Saya menunaikan hajat untuk mengisi kekosongan perut. Sepiring nasi setakaran membukit, dengan lauk ikan kembung dilengkapi sayur daun singkong dan sambal. Rasanya tak terkatakan. Usai makan, saya membuka dompet, dan ternyata kosong, tak ada sepeser pun! “Bu, catat di rekening saya saja ya bu. Bayarnya minggu depan.”

LELAKI YANG TAK PERNAH TIDUR


Cerpen : Ali Irfan

Di suatu malam mata lelaki itu masih belum terpejam. Hanya ditemani gelap dan asap rokok. Istrinya sudah dari tadi nyenyak dalam balutan selimut. Sesekali ia menatap perempuan yang menjadi teman hidupnya hingga kini. Malam itu benar-benar sunyat. Hanya terdengar suara detak jam dan juga decak cicak yang mengintip malu melalui angin-angin.

Lelaki itu berjalan perlahan menuju jendela kamar. Dibukanya jendela itu. Slap! seberkas cahaya bulan menyusup dengan kecepatan tiga kali sepuluh pangkat delapan meter per detik. Begitu cepatnya sampai-sampai ia tak bisa mengamati bagaimana cahaya itu bisa menyelasap. Sepertinya, sinar bulan itu sudah menunggu lama untuk mengisi ruang gelap yang ada di sela-sela kamar hati.

Ia menatap asal sinar itu dengan kagum. Bulatan cahaya lembut itu mengawali dengan senyuman. Lelaki itu pun membalasnya dengan senyuman. Lelaki dan rembulan sama-sama tersenyum.

“Aku tak pernah bisa tidur di malam hari, maukah kau menemani aku dalam keterjagaanku,” ucap lelaki itu pelan kepada cahaya bulan.

“Aku akan selalu ada di waktu malam. Meskipun harus sendiri, ketika semua-mua mata yang ada di bumi sudah terpejam, aku tetap terjaga. Apalagi ada seorang teman, kita bisa berbicara apa saja sampai pagi,” jawab bulan dengan tenangnya.

“Ups! Tutup jendela ini segera, aku takut membuat ia terbangun,” ucap bulan tiba-tiba ketika melihat istri lelaki itu menggeliat.

“Belum tidur sayang,” kata perempuan itu sambil merapikan rambutnya yang panjang.

“Kenapa kau buka jendela itu, bukankah udara di luar begitu dingin”

“Aku hanya sedang mencari ketenangan. Di luar sana begitu tenang. Kalau mengganggu, baiklah aku tutup saja jendela ini.”

Saat itu jarum jam menunjuk angka tiga pagi. Sebentar lagi akan ada suara kokok ayam membangunkan mata yang terpejam. biasanya lengung ayam itu disusul dengan suara adzan.

“Maaf, sepertinya untuk saat ini kita tak bisa berlama-lama bicara,” ucap lelaki itu sambil mengantarkan cahaya bulan keluar melalui jendela. Bulan itu mengangguk mengerti.

Lelaki itu sudah berada di samping istrinya. Begitu cepat istrinya tertidur lagi. Sementara lelaki itu masih terjaga, sambil membayangkan senyum bulan. Tiba-tiba cahaya itu melewati celah-celah jendela.

“Mau apa kau datang lagi,” ucap lelaki itu.

“Aku hanya ingin mengucapkan sampai ketemu lagi, karena waktuku tak lama. Sampai ketemu esok malam. Aku harap walau kau sudah punya istri, kau masih mau untuk sekedar duduk ngobrol menemaniku, karena aku selalu sendiri di malam hari.” Lalu cahaya itu melesat jauh ke langit, melewati terpaan angin pagi. Gelap malam pun berangsur-angsur sirna menjadi pagi yang cerah.

***

“Semalam aku bermimpi Mas berbicara dengan bulan. Kau diajaknya pergi ke bulan bersamanya. Cahaya itu melilit tubuhmu dan menarik ke bulan. Kau benar-benar jahat tak membawaku ikut ke sana, padahal aku juga mau ke bulan,” ucap istri lelaki itu.
Lelaki itu tersentak kaget mendengar ucapan istrinya.

“Ke bulan? Ah, mama ada-ada saja. Itu kan hanya mimpi. Mimpi kok ke bulan, kenapa tidak ke Mars sana yang sudah jelas-jelas ada pertanda kehidupan,” ucap lelaki itu ringan. Bukankah apa yang diucapkan istrinya itu benar-benar aku alami semalam dan tentang ajakan bulan itu memang benar-benar apa yang ia katakan semalam, lelaki itu terdiam dalam bingung, matanya menatap kosong.

“Sayang, pagi-pagi kok sudah ngelamun. Apa semalam nggak tidur,” kata istri lelaki itu menyadarkan. Pandangannya menatap perhatian mata lelaki itu yang tampak sekali kelelahan. Mata yang dibuat terus terjaga oleh si pemilik mata.

“Oh, nggak apa-apa kok. Cuma lagi merasakan kehangatan kopi pagi. Semalam memang tidak bisa tidur tetapi tidak sampai pergi ke bulan kok. Itu kan mimpi,” ucap lelaki itu membela diri sambil mencubit kedua pipi istrinya dengan mesra.

“Oh ya seandainya aku jadi ke bulan, kau ingin memesan apa sayang,” Lelaki itu menawarkan.

“Aku hanya ingin, bulan itu tak merebut suamiku. Yang aku takutkan ketika kau sudah ke bulan kau tak mau pulang menemui istrimu yang ada di bumi,” ucapnya manja. Lelaki itu terdiam.

“Yang lain?” tambah lelaki itu.

“…” berpikir.

“Oh, ya. Aku harap kau tidak tergoda oleh seorang nenek yang berkereta dengan kucing kesayangannya di bulan sana. Temani saja ia main, mungkin ia merasa kesepian karena selama ini ia bermain hanya ditemani kucing. Apalagi akhir-akhir ini aku sering tak melihat nenek itu bermain bersama kucingnya. Bila perlu ajak saja ia ke bumi. Barangkali saja ia sudah merasa jenuh hidup di bulan sana.”

“Kau tidak meminta aku membawakan bintang?” lelaki itu menawarkan.
”Tidak! Bagiku kau sudah cukup mencerahkan. Bahkan lebih cerah dari bintang.”

Begitulah obrolan itu berlanjut mengisi suasana sarapan pagi. Lelaki itu lalu duduk dihadapan komputer, jemarinya mulai memijit tuts-tuts aksara yang berbaris acak, tidak runut. Dengan ditemani kopi yang masih hangat, ia menuliskan apa yang baru saja ia bicarakan dengan istrinya. Tentang keinginan istrinya yang tak berlebih, yang memintanya untuk tidak tergoda oleh keindahan bulan, untuk mengajak nenek ke bumi bersama kucingnya seandainya ia jadi ke bulan sana. Bagi lelaki itu obrolan tadi bukanlah obrolan kosong yang tak berarti. Setidaknya obrolan itu menunjukkan kesetiaan sejati yang diperuntukkan bagi suami.

Sebentar lagi gelap tiba, bulan tentu sudah bersiap-siap menemui lelaki itu. Sesuai dengan janjinya semalam. Tetapi akankah lelaki itu ke bulan?

***

Seperti biasa, lelaki itu sudah berada di balik jendela. Jendela yang terbuka memaksa sinar bulan menyusupi kamar-kamarnya. Aku tahu sudah lama kau menunggu, makanya aku buka jendela ini, tanya lelaki itu kepada bulan. Bulatan cahaya itu tampak senang, terlihat dari pancaran cahaya yang semakin terang, seakan-akan ia mengucapkan terimakasih. Istrimu sudah tidur belum, tanya si bulan itu pelan. Si lelaki menggeleng. Belum, ia sedang membuatkan aku kopi untuk bisa menemanimu ngobrol karena dengan secangkir kopi pahit membuat aku tak akan bisa tidur, kecuali menghabiskan malam bersamamu, jawab lelaki itu.

Tak berselang lama, kopi pahit sudah tersaji di depan lelaki itu. Dalam diam ia berkata, bagaimana mungkin aku akan berpaling dari memiliki istri seorang kau. Aku tak mungkin menafikan keadaanmu, tetapi ada yang aneh dengan rasaku. Ada yang hinggap erat dirasaku, tetapi itu bukan kau.

“Kalau lelah istirahatlah, jangan kau paksakan,” ucap istrinya sambil memegangi pundak lelaki itu dan mendaratkan dagunya di pundak kiri lelaki itu. Sepertinya istri lelaki itu tak tahu, bahwa ia tak akan pernah bisa tidur di malam hari. Menghabiskan waktu gelap sekedar bercengkerama dengan kesendirian. Entah terbuat dari apa mata lelaki itu, sampai-sampai lelaki itu kuat untuk tidak tidur semalaman.

“Tidurlah kau dulu, nanti aku menyusul,” pinta lelaki. Istrinya menggeleng manja. Si lelaki itu mencium kening istrinya. Lalu membopongnya ke tempat tidur. Sekumpulan awan menutup wajah bulan malu-malu melihat lelaki dan perempuan itu bergumul dalam selimut.

Keadaaan kembali tenang, istri lelaki itu sudah tertidur. Dan si lelaki itu kembali menatap ke luar dari jendela. Mencari-cari bulan di balik awan yang menutupi. Lama juga ia menatap. Akhirnya bulatan cahaya itu muncul juga meski dengan wajah yang masih malu-malu.

“Aku begitu iri melihatmu. Aku ingin menjadi seperti istrimu, kita akan melakukannya di bulan. Seperti apa yang aku tawarkan semalam, bagaimana apa kau siap untuk pergi sekarang ke tempatku?”

“Sekarang?”
“Kapan lagi,”

Bagaimana kita pergi ke sana, tanya lelaki itu. Aku punya kecepatan, akan aku ubah kau menjadi cahaya, kamu tahu kecepatan cahaya bukan, yaitu kecepatan yang tak tertandingi oleh kecepatan lain di jagad ini. Hitungan detik sebagai satuan waktu terkecil pun belum seberapa. Ketika menjadi cahaya kita akan begitu mudah untuk menuju ke arah yang kita tuju. Dalam hitungan kurang dari detik, kita akan sampai di sana. Kau tak akan mengecewakan aku dengan menolakku bukan? Lelaki itu berpikir panjang mendengar kata-kata itu. Apa salahnya menjadi cahaya, sepertinya itu mengasyikkan, pikir lelaki itu meneruskan.

Diskusi singkat memunculkan kata sepakat. Dalam kecepatan cahaya mereka melesat. Si lelaki tak sempat melihat heningnya galaksi malam, bintang-bintang yang bertaburan acak yang dilewatinya pun tak ditemuinya, semuanya berlangsung sangat seketika.

“Sekarang kita sudah sampai, kita bisa melakukan apa saja di sini. Jangan khawatir, tak ada orang lain selain kita di sini. Di sini hanya ada nenek, itu pun sudah sakit-sakitan. Sakitnya bermula saat kucing kesayangannya mati terlindas roda kereta miliknya. Dan sejak saat itu ia jarang bermain-main diatas pendaran cahayaku. Sewaktu kecil kau mungkin sering melihat ada seorang nenek bermain-main dengan kucingnya bukan? Itulah nenekku. Kau aku ajak ke sini, karena aku tahu keadaan nenek tidak akan lama lagi, dan aku tak mau sendiri. Aku butuh seseorang yang bisa membuat pendaran cahayaku semakin terang, dan seseorang itu adalah kau, karena kau adalah lelaki yang tak pernah tidur di malam hari. Aku sudah lama memperhatikanmu.”

Tiba-tiba saja bulan mulai membelai rambut lelaki itu, belaiannya semakin kuat. Lelaki itu tampak gugup melihat tingkah bulan yang tak menentu.

“Kau tak akan membuat aku redup kan?” katanya.

“Tapi, aku masih punya seorang istri.”

“Bukankah istrimu ada di bumi sana, ia tak akan tahu kau ada di sini bersamaku.”

“Tidak! Aku tak bisa melakukan ini.”

“Istrimu ada di bulatan sana,” tunjuknya sambil menunjuk ke arah bumi.

“Sekarang, biarkan aku pulang,” kata lelaki itu tiba-tiba. Ia tak mau mengkhianati istri dengan bercinta dengan bulan.
“Silahkan kalau kau bisa.” Ucap bulan dengan nada kesal.

Lelaki itu tampak kebingungan.

“Kau tak akan bisa pulang dengan kecepatan yang aku miliki,” katanya mengan-cam. Bulan itu agak meredup saat lelaki itu tak menerima ajakannya dan itu adalah hal yang tak dinyana oleh bulan sebelumnya. Pikirnya untuk bisa melakukan apa saja dengan lelaki itu, berbicara bebas dan bercinta sepuasnya sampai pagi kandas sudah.

Lelaki itu tampak bingung. Ia hanya menatap bulatan kecil yang ada di jauh sana. Dalam diam ia berpikir, bagaimana ia harus pergi dari tempat ini dan menemui istrinya yang mungkin masih dalam tidur. Ingin sekali rasanya gravitasi bulan tak lagi menariknya untuk tetap tinggal dan ia akan melesat meski tanpa kecepatan, karena ia bukan cahaya.

Melayang ke angkasa, melewati kegelapan malam dan sampai ke rumah. Tapi itu masih sekedar angan. Ia belum bisa melakukan itu. Gaya tarik bulan masih begitu kuat menahan massa lelaki itu.

Dalam keadaan bingung tiba-tiba ia mendengar suara deheman seorang perempuan tua. Lelaki itu mencari arah suara itu. Tak lama ia mendapati arah suara. Ternyata seorang nenek tua. Lelaki itu berpikir, apakah perempuan tua yang ia hadapi adalah seperti apa yang ada dalam dongeng? Kereta yang ada di sebelahnya, tongkat itu dan seekor kucing mati. Apakah yang saya hadapi adalah nenek yang sering bermain-main dengan kucing di bulan seperti yang aku tahu dalam dongeng? tanya lelaki itu pada diri. Ia tersentak saat si nenek itu mengangguk pelan, “Ya ini aku.”

Dengan suara parau ia menjawab

“Saat ini aku sudah tak kuat lagi untuk bermain. Apalagi kucing hitam yang biasa menemani bermain sudah mati terlindas roda kereta ini. Kebiasaan nenek yang turun setiap kali purnama sudah sejak lama nenek tidak lakukan, karena sejak saat itu nenek tak mendapati anak-anak bermain gobak sodor di bawah purnama. Anak-anak bumi kini lebih tertarik dengan televisi dan play station.”

“Tunggu-tunggu,” ucap lelaki itu memotong pembicaraan si nenek. “Berarti nenek bisa mengantar saya pulang ke bumi.”

“Ya, tapi mau ke siapa saya ke bumi?”

“Begini saja, bagaimana kalau nenek ikut saya ke bumi dan tinggal bersama saya dan istri agar nenek tidak sendiri?” Si nenek menggeleng,

“Tempat saya di sini, dan saya tidak akan kemana-mana selain bersama bulan. Pakai saja kereta itu,” si nenek menawarkan.

“Bukankah nenek sedang sakit dan butuh perawatan,” kata lelaki itu.

“Nenek tidak seperti makhluk bumi yang mesti dirawat dengan berselang-selang infus dan menelan butiran-butiran obat. Sudah, kau pulang saja sekarang, kereta itu akan mengantar sampai ke rumahmu.”

“Tapi,” ucap lelaki itu, “Bagaimana aku harus membalas kebaikan nenek.”

“Jangan abaikan pendaran cahaya bulan, karena ketika kau mengabaikannya ia akan terlihat murung bahkan meminta awan untuk menutup wajahnya, cukup sederhana bukan,” kata nenek tua itu.

“Baiklah,” kata lelaki itu.

“Sampaikan maaf saya kepada bulan karena aku sempat menaruh pesona akan pendaran cahayanya.”

“Ah, itu urusan gampang,” kata si nenek itu,

“Memang banyak yang terpesona dengan sebagian sampai keselurahan cahaya yang memendar darinya, sampai-sampai seorang penyair terinspirasi untuk membuat puisi.

Lelaki itu dengan perlahan menaiki kereta yang sudah siap mengantarkannya pulang sedari tadi. Kereta itu mulai perlahan melaju, meninggalkan jejak bulan, nenek dan kucing itu. Slapp!! Seperti memiliki kecepatan cahaya kereta itu melesat cepat.

Dan seketika itu ia sudah berada di luar jendela kamarnya, ia melihat istrinya masih tertidur. Lelaki itu beranjak masuk melewati jendela. Terdengar bunyi berisik, istri lelaki itu terbangun, dan mendapati ada sepasang tangan di bibir jendela yang hendak menggapai-gapai sesuatu.

“Subhanallah Mas!” teriak perempuan itu terperanjat kaget mendapati lelakinya berada di luar jendela dan mencoba masuk melewati celahnya.

“Cangkir kopi terjatuh, saya mencoba mengambilnya melalui jendela,” ucap lelaki itu pura-pura.

SEBENARNYA KAU MENCINTAIKU, HANYA SAJA KAU TAK MENGATAKANNYA


Oleh : Ali Irfan

Luapan rasa yang lama terpendam tumpah sudah. Tapi hanya menyisakan kecewa yang amat pedih. Kau tetap saja berbohong. Kesalahan fatal itu benar-benar kau lakukan. Ruang hatimu sudah kau isi dengan sesuatu yang abstrak. Menerima seseorang dimana kau ragu untuk menyebutnya ia benar-benar berpengaruh atau tidak.

Kau mendongakkan wajahmu setelah lama menunduk malu. Seolah ingin berkata kepadaku, kenapa tidak dari dulu kau mengungkapkan itu. Tetapi entah. Aku begitu ya-kin bahwa kau masih mencintaiku.

Kau bohong dengan tidak mengatakan sesegera mungkin bahwa kau juga mengha-rap aku datang memenuhi ruang hatimu yang masih kosong. Tidak diisi dengan sesuatu yang abstrak. Aku hanya tak mau gegabah. Lagipula, perempuan sepertimu biasanya ti-dak mudah untuk menerima seseorang. Entah karena alasan apa kau bisa setengah me-nerima dia untuk mengisi ruang hati yang kosong. Dan lebih-lebih, katamu, ruang hati-mu telah terisi oleh ia yang sejatinya abstrak.

Angin awal Juni benar-benar tak menyehatkan. Siang terasa terik, malam bisa membuat tubuh menggigil. Jaket yang melekat, sedikit membuatmu merasa hangat. Kau ingat, ketika itu aku membawamu di suatu malam. Kau mengenakan sweater hitam seperti warna malam. Di sanalah, aku memposisikan sebagai laki-laki yang tengah berha-dapan dengan perempuan.

Lama kau tak bicara. Hanya berdiam diri. Semua dengan segala kemungkinan-kemungkinannya telah aku siapkan. Setidaknya itu menunjukkan bahwa aku bukan laki-laki yang mudah rapuh. Aku pikir belum terlambat waktu untuk mengatakan semuanya. Kau sebenarnya tahu apa yang ingin aku katakan, hanya saja kau selalu menutup diri. Walau sebenarnya kau ingin aku sesegera mungkin mengatakannya kepadamu. Tapi kau bilang sudah terlambat.

“Boleh aku bertanya,” katamu.
“Itu sudah pertanyaan,” jawabku.

Aku menganggguk. Membolehkan ia bertanya, sambil menyeruput jus alpukat yang tinggal separuh.

“Kenapa baru sekarang kau mengatakan ini. Kau tahu, sebenarnya sudah lama aku mengharapkan kata-kata itu terujar darimu tanpa harus kau katakan kepadanya,” tanya-nya.
“Karena aku tak mau gegabah. Entah kenapa aku memiliki keyakinan yang begitu kuat bahwa kau tidak mencintainya. Tinggalkan saja dia. Katakan, kau mencintaiku,”
“Tidak,”
“Katakan kau mencintaiku,”
“Tidak!”
“Kau mencintaiku,”
“Tidak!”
“Kau bohong,”
“Aku mencintainya,”
“Bohong,”
“Aku mencintainya,”
“Bohong.”

Aku melihat ada kebohongan di wajah dan hatimu. Kebohongan untuk mengatakan bahwa kau mencintainya.

Baiklah kau perlu waktu. Tapi kau juga harus tahu, aku tak akan pernah berhenti untuk berusaha memilikimu seutuhnya. Aku ingin kau menjadi milikku.

“Kak...”
“Jangan panggil aku kakak!”
“Kak...”
“Saat ini aku bukan kakakmu. Aku adalah aku,”

Kau belum memberikan jawaban yang sebenarnya. Masih kau simpan rapi. Dalam hati kecil aku berkata, “Baiklah, kau simpan saja dulu. Barangkali suatu saat kau perlu. Aku masih menunggu. Bukan sebuah kesalahan menurutku, ketika aku mengharapkanmu untuk hadir dalam hidupku dalam satu ikatan suci, karena sejatinya kau masih sendiri. Lagipula belum ada yang melamarmu, apalagi kau belum bersuami."

Kau pernah bilang bahwa kau sudah dijodohkan. “Oh, ya?” Aku jawab saja tanpa rasa canggung sedikit pun. Aku menjawab tenang karena sejatinya semua orang sudah punya jodohnya masing-masing. Aku sudah punya calon istri, kau sudah punya calon suami. Istriku bisa saja Aisyah, Noura, Nurul, atau bahkan Maria seperti yang ada dalam novel Ayat-Ayat Cinta-nya Habiburahman El-Shirazy. Tetapi kenapa aku lebih tertuju kepadamu. Bisa saja ia yang berada di jauh sana. Atau bahkan berada di seberang sana. Di depan, samping, atau belakang. Tetapi kenapa aku lebih tertuju kepadamu? Mengenai kapan ia datang, kita tak tahu. Tapi yang jelas, akan datang pada waktu yang tepat. Nah, sekarang itu tengah aku usahakan biar datang tepat waktu.

***
Malam tanpa jawaban. Pertanyaan menggantung. Jawaban masih belum terluapkan. Setelah peristiwa itu secara tidak langsung kita bersepakat, untuk selalu menatap malam yang penuh dengan bintang berserakan. Kita sepakat untuk tetap terjaga sampai sebelum cahaya, yang akan muncul sebelum fajar. Menatap gemerlap ribuan batu-batu cahaya yang beterbaran. Kau dan aku percaya bisa saling menatap melalui rembulan sebagai perantara, layaknya cermin yang memantulkan bayangan serupa.

***
Bulan keperakan sudah tak terlihat lagi di awan. Hari sudah beranjak siang. Kau bilang, bahwa kau terbaring lemah, saat jantungmu kambuh. Padahal kau sudah jengah menelan pil-pil penenang setiap hari untuk tidak membuat jantungmu bergetar. Bosan merasakan sakit yang tak terperi.

Kau tahu, sebenarnya ada yang lebih sakit lagi dari sakit jantung yang kau derita. Yakni, ketika tiba-tiba teringat peristiwa di suatu pagi. Ketika kau memendam rasa yang begitu lama entah sampai kapan. Dan, ketika kau benar-benar butuh, aku malah pamit baik-baik untuk pergi, katamu. Padahal aku sama sekali tak pergi, aku hanya menguir sejarah untuk masa depan kita nanti, masa depan buat istri dan anak-anakku nanti. Sampai-sampai aku tak tahu harus bagaimana meruntuhkan kerasnya batu yang ada dalam hatimu.

***
Aku, yang sempat mengharapkanmu tiba-tiba membeberkan semua di hadapanmu. Hanya membawa segenggam kata maaf, bahwa selama ini aku hanya telah memainkan peran di sebuah pementasan yang pemerannya hanyalah kau dan aku.

“Maafkan, peran ini semestinya mesti disudahi sekarang. Aku tak mau larut dalam sandiwara tanpa babak. Sebuah peran yang sebenarnya aku sendiri masih ingin melanjut-kan,” kataku.
Matamu berkaca-kaca mengalirkan butiran bening dan terdiam sesaat mendengar ujaranku yang tiba-tiba.
“Kau mau kan, memberi kata maaf untukku,” kataku lagi.
Kau masih saja diam. Biasanya kau tidak sediam ini. Saat aku bercerita kau begitu seriusnya memperhatikan tiap kata-kata yang terujar. Namun sore itu, kau tampak lain.
“Please!”
“Tidak! Katamu tiba-tiba.
“Kenapa?” tanyaku penasaran
Hanya diam yang aku dapatkan.
“Cerita ini harus segera disudahi,” kataku.
“Karena sebenarnya aku...”
“Ah, sudahlah jangan dibahas,” katamu tiba-tiba menutup pembicaraan.

Seperti ada aura lain di wajahmu ketika aku mengatakan itu. Kata yang belum usai kau ucapkan masih menyimpan tiga titik di belakangnya. Itu artinya ada sesuatu dibalik kata itu. Kata-kata lain yang menyiratkan makna. Kalau boleh menebak, titik-titik itu tak lain sebuah untaian kata yang memintaku untuk tidak mengatakan jangan pergi meninggalkanmu.

Aku tahu itu. Matamu yang bicara. Keyakinanku tentang rasa yang tak pernah bohong. Tapi, cerita ini benar-benar harus diakhiri. Kejora yang lebih cerah telah hadir dalam kehidupanku. Aku sudah lama mengenalnya, bahkan jauh sebelum mengenalmu. Kau pun sebenarnya kenal dekat dengannya, karena ia tidak lain adalah saudaramu.

Ketika aku mengatakan itu, kau setengah tak percaya. “Nggak mungkin bisa secepat itu. Ka.. sebenarnya...” Kau ulangi kata-kata yang belum selesai kau ujarakan.

Tapi itu adalah kemungkinan, Aku tahu lanjutan kata-kata itu. Kau akan menga-takan, “Sebenarnya aku mencintaimu hanya saja aku tidak mengatakannya. Itu kan yang ingin kau ungkapkan? Tapi biarlah waktu yang akan menjawab. Kalau selama ini kau tahu, bahwa orang yang begitu kau kagumi sepenuh hati bukan orang lain, melainkan aku, kenapa kau diam saja? Bukankah aku telah mengatakannya kepadamu.

***

Sengaja, malam itu sedikit pun tak melongok ke langit malam. Padahal, di seberang sana kau menanti gambaran wajahku yang seharusnya terpantul di bulan. Namun yang kau lihat hanya kesan pucat. Terangnya begitu beda. Malam itu aku benar-benar tidak mau menampakkan diri. Aku tak ingin rasa yang mendera kuat itu menjebak kita ke dalam pusaran pasir isap, yang lambat laun akan menenggelamkan aku dan dirimu hingga tak ada seorang pun mampu menyeret kembali ketika telah benar-benar tenggelam. Kata-kataku yang mengatakan tidak akan pernah berhenti untuk mencintaimu sampai kapan pun, untuk sementara aku cabut.
***

Mengenalmu menjadikan aku belajar lebih banyak dari sedikit hal yang kelihatan-nya sederhana. Tentang rasa. Kau tak ubahnya seorang guru yang memberiku pelajaran mengenai rasa. Dari rasa itulah aku hanya ingin mengatakan sesuatu kepadamu. Ketika dulu pernah bilang bahwa aku mencintaimu, tapi sekarang tidak lagi. Rasa itu sudah aku simpan di tempat yang rapi.

Sekarang aku mengerti. Ungkapan cinta bagiku adalah kata-kata sakral yang tak semestinya diucapkan pada sembarang orang. Mengenalmu, dan memimpikan untuk memiliki dan hidup bersamamu adalah kesalahan terindah yang pernah aku lakukan. Aku berharap pengalaman itu tak terjadi lagi. Sebaiknya sampai di sini saja dulu. Aku takut rasa yang dulu untuk mencintaimu muncul lagi. Sementara aku sebenarnya telah mene-mukan yang lain. Tapi aku takkan memberinya cinta. Bukan pula janji. Biarlah mengalir apa adanya.

Kepadanya aku hanya bilang,
“Aku mencintaimu...” Kau tahu bagaimana respon wajahnya ketika aku mengucap-kan kata-kata itu? Wajahnya langsung memerah dengan memunculkan gerak yang salah tingkah.
“Ya aku mencintaimu.” Kau tahu bagaimana respon wajahnya lagi? Wajahnya se-makin memerah dan laku lampahnya makin salah tingkah.
“Kata-kata itu... tak akan pernah aku ucapkan pada satu orang perempuan pun kecuali...” Kau tahu, bagaimana tatapan matanya saat kata-kata itu aku ucapkan. Matanya membelalak menatapku.
“Kecuali siapa?” tanyanya lebih penasaran.
“Istriku.”
***

Di antara ribuan bintang, ada satu bintang yang kerlipnya buram. Itulah rindu. Merindukan ia datang menyapa. Kerlip buram itu tidak lain adalah rindu. Kerinduan akan datangnya saat-saat aku dan ia menikmati hujan cahaya malam. Berdua. Tiada seorang pun menganggu. Dan, ketika butir-butir cahaya itu tidak tampak, ia mengubah diri menjadi sosok rupawan di setiap purnama. Ya, ia menjadi rembulan yang menyembu-ratkan cahaya. Ia telah datang meski masih berada dalam ketidakpastian. Memang, hidup ini penuh dengan sesuatu yang tidak pasti. []