Kamis, 26 Juni 2008

Malaikat Seribu Cahaya

Oleh : Ali Irfan

Imajiku menari di panggung penuh kehampaan. Di kesendirian, di atas panggung itu, aku menari mengikuti alunan nada-nada kehidupan. Dinding-dinding, langit-langit, daun pintu dan jendela keheranan menatap aku. Seorang diri yang menari-nari melebur kesunyian layaknya Rumi. Aku begitu larut sampai-sampai berada di ambang ketidaksadaran, sampai di suatu subuh.

Bukan lelah yang aku rasakan, melainkan satu bentuk kepuasan yang tidak dapat diucapkan dengan kata-kata. Padahal, diatas pementasan tunggalku tak ada satu pun yang menilai. Aku masih ingin menari, tetapi pagi keburu menyapa.

***

Saat aku duduk bersila di sepertiga malam, di tengah balutan sarung beralaskan sajadah, suasana begitu sunyi. Sesunyi hati ini. Segala kelelahan luluh, terasa damai. Kedamaian yang tiada tara. Mungkin kau juga pernah merasakakan sepertiku. Butiran-butiran tasbih kusentuhi satu persatu. Seratus kali, bahkan hingga ribuan kali bertasbih menyebut kebesaran-Nya.

Dan, santri-santri masih terlelap dalam tidur di bilik-bilik pesantren yang penuh jelaga bergelantungan. Silir angin menyusup melalui celah-celah kamar membuat jelaga itu bergoyang. Ghoji, tertidur dengan sebuah kitab kuning dipelukannya.

Baru-baru ini aku tahu, di sela-sela tekunnya membaca kitab, ternyata ada bacaan lain yang benar-benar membuat matanya merasa betah berlama-lama berhadapan dengan kitab kuning. Di sela-sela kitab itu, ada selembar surat cinta. Sepertinya dari seorang kekasih. Ia jadikan surat itu sebagai pembatas. Itu kutemukan tak sengaja. Kitab itu terjatuh saat ia masih tertidur, dan lembaran surat itu terlihat menyelip diantara lembaran-lembaran kitab kuning, Khazinatul Asrar.

Baru kali ini ia tertidur cepat. Biasanya tiap malam ia habiskan dengan bercakap-cakap lewat handphone yang ia pinjam dari Rochyat, teman tetangga bilik. Rochyat baru saja diterima sebagai mahasiswa IPB tanpa tes masuk. Entah dengan siapa Ghoji bicara. Yang jelas dengan perempuan. Suara yang diloudspeaker terdengar renyah, dan cukup mengganggu tidurku. Sudah kesekian kalinya aku terbangunkan oleh suara cekikian Ghoji yang entah sedang menertawakan apa. Rayuan-rayuan murahan terdengar jelas di telingaku. Meski aku belum sadar benar dari masa istirahku, percakapannya benar-benar membuat telingaku memekak.

Dalam kelelapan aku menyayangkan semua provider yang mematok harga murah bahkan sampai gratis di masa-masa orang larut dalam masa istirah. Di saat orang-orang menenggelamkan diri dalam hiruk pikuk pagi sampai sore. Dan malam, disitulah ketenangan sebenarnya ada. Bahkan, di waktu malam, malaikat akan turun membawa butir-butir cahaya menyambangi orang-orang yang sedang asyik bercakap-cakap dengan tuhan, bukannya mendekati orang yang yang tengah asyik berkencan lewat suara. Ya, mereka turun, ke orang-orang yang khusyuk bercakap dengan keberadaan sang Khalik. Membaca tanda-tanda malam.

Dan ketika malam telah ditegakkan[1]. Disitulah, Tuhan bersiap-siap mengutus ribuan malaikat turun ke bumi. Beragam makhluk yang terbuat dari cahaya tampak bersinar kegirangan mendapat tugas menemui makhluk bumi, membawa segenggam cahaya untuk bisa dimasukkan ke dalam relung jiwa yang tengah menengadah memanjatkan do’a, melantunkan ayat-ayat suci sekaligus bermuhasabah diri.

Dari langit ke tujuh, para malaikat mulai beterbangan. Sayap-sayap terbentangkan. Bentangan sayap itulah yang akan meluncur, mengudara melewati langit keenam, kelima empat, tiga, dua sampai langit yang persis di atas bumi tempat kita berpijak sekarang ini. Kalau saja, mereka tetap pada wujud aslinya, niscaya semesta ini tak mampu menampung keberadaan mereka. Betapa tidak, sekali membentangkan sayap, lebarnya jarak langit dan bumi tak mampu mendaratkan sayap. Bagaimana dengan ribuan malaikat yang diutus ke bumi! Atas itulah ribuan malaikat itu menjelma menjadi butir-butir cahaya yang beterbangan di tengah samudera semesta menembus kegelapan. Tampak sebagian dari mereka laksana bintang-bintang gemerlapan yang kau tatap dari bumi tempatmu singgah.

Tapi, alangkah terkejutnya tatkala malaikat sampai ke bumi. Di awal sepertiga malam, di sebuah pondok pesantren, terlihat beberapa santri lelap dalam tidur. Sesekali terlihat diantara mereka menggeliat. Para malaikat sempat kecewa, kenapa mereka tak bangun-bangun untuk bisa bercakap-cakap bersama Tuhan? Bukankah ini waktu yang tepat.

Aha, terlihat beberapa santri menggeliat lagi. Ia tersadar. Kedua tangannya mengucek mata. Melihat jam di sebuah ponsel miliknya. “Hampir jam dua,” katanya. Malaikat tersenyum. Terlihat ia beranjak dari karpet tempat ia tidur berbantalkan sajadah dan beberapa buntalan sarung. Langkahnya agak sedikit gontai menuju kamar mandi. Mungkin mau buang air kecil, kemudian mengambil air wudlu. Ia belum sadar benar. Ia agak sedikit cerah, tapi tak begitu cerah. Tapi sayang, ia kembali melanjutkan tidur yang terpotong. Bukannya mengambil kopiah dan sajadah, ia malah menyomot ponsel yang ia pinjam. Kemudian menelepon entah siapa. Tapi yang jelas seorang perempuan. Malaikat yang tadi terlihat tersenyum mengernyitkan dahi. Ia hanya melihat butir cahaya yang ia bawa dari langit dengan tatapan kosong. Tak lama kemudian, ia melesat pergi menjauh membawa segumpal kecewa.

***
Merasa masa istirahku terganggu, aku beranjak dari selembar alas tidur. Kubasuh muka ini dengan cipratan air wudlu. Menoleh ke arah Ghoji, ia acuh. Sepertinya ia benar-benar menikmati perbincangan yang menurutku hanya buang-buang waktu saja, berkencan lewat suara.

Sengaja aku menuju ke surau, mencari ketenangan untuk bisa bercakap-cakap dengan alam. Pukul setengah tiga pagi. Tak terdengar suara meski suara jatuh sehelai daun pun, apalagi suara Ghoji yang tengah asyik menelepon di pagi buta. Katanya, menelepon tengah hingga sepertiga malam murah, bahkan kadang gratis. Modal begadang, cukup buat hati senang.

Inikah malam-malam dimana ribuan rahmat ditembakkan dari langit. Di mana, dimana cahaya itu. Aku ingin sekali melihat bagaimana cahaya itu ditembakkan malaikat di sepertiga malam. Siapakah orang yang beruntung mendapat sapaan cahaya yang dibawa malaikat di sepertiga malam ini.

Di tengah aku menatap gelap, tiba-tiba aku melihat langit hitam itu membelah. Sekilas cahaya merobek gumpalan-gumpalan awan hitam. Cercah bintang-bintang mulai menyurup. Dan sedikit bergeser ketika kilatan cahaya putih menyilet langit. Sunyat. Aku merindukan saat-saat seperti ini.

Sudah seribu kali putaran tasbih ini berputar setelah kutunaikan rakaat tahajjud. Butiran biji-biji tasbih kenyang aku sentuh satu persatu-satu. Sebanyak itu pula bibir ini basah dengan kalimat tasbih.

Brag! Tiba-tiba anganku mengarah pada sesosok rupawan. Di tengah kesunyatan, di tengah surau, saat aku tengah asyik berdzikir, tiba-tiba ada seorang perempuan muda cantik berbalut pakaian tipis menyapaku. “Sentuh aku kang, aku bagian dari pahalamu[2],” katanya dengan suara mendesah seperti suara angin. Mata ini kuat-kuat kupejamkan. Namun terasa pejal. Sepertinya aku memerlukan dua batang lidi yang panjangnya setengah batang korek api untuk membuatku tetap terjaga. Batang korek api seakan berkata, “Tatap dan sentuhlah! Ia bagian dari pahalamu.” Pahala, pahala. Itu bagian dari pahala bagi orang-orang yang telah meluangkan waktu di sepertiga malam untuk bercakap-cakap dengan alam, juga bercakap-cakap dengan Tuhan. Bisikkan, tiba-tiba menyeruak ke telingaku.

“Baiklah kalau kau tak mau sentuh aku. Menarilah saja denganku. Sepintas tadi aku lihat kau tampak gemulai menari sebelum kau hempaskan diri di hamparan sajadah. Ayo, menarilah, sudah lama aku tak menari,” kata perempuan itu.

“Kenapa kau diam saja, aku didatangkan ke sini untuk menemanimu yang sedang sendiri. Di tengah malam ini. Berapa kali harus aku bilang bahwa aku bagian dari pahalamu,” tambahnya lagi. Ya, sudahlah kalau begitu biar aku saja yang menari. Ingat, aku menari untukmu,” katanya lagi.

Keringat dingin menyapaku. Suara desahnya seakan mengharap aku untuk menyentuhnya dan mengajaknya menari. Benarkah, ini bagian dari pahala itu. Aku bimbang. Ah, bagaimana mungkin pahala tersaji gurih dihadapanku. Mata ini kupejamkan rapat-rapat.

Suara jenggeret memecah kesunyian, namun tak menyeretku dalam kekhusyukkan. Di hadapanku, terdengar suara degupan kaki yang menyentak berirama. Suara itu terdengar memutar. Sebuah selendang menyangkut melewati wajahku, bau harum perempuan binal tercium kuat di hidung. Sepertinya tarian itu sudah dimulai. “Ayo, menarilah denganku,” kata itu masih saja terngiang. Haruskah kubuka mata ini lebar-lebar. Ada dua pilihan. Menyeret perempuan itu ke luar surau atau menyetubuhi perempuan itu. Untuk pilihan kedua ini, aku tak mau. Ia belum halal. Lagipula ini tempat suci. Bisakah aku melalui pagi ini.

***
Di tengah pejaman mata aku melihat. Ada seberkas cahaya menyapaku. Dengan kecepatannya seberkas cahaya itu melilit tubuh dan menyeretku membahana ke angkasa. “Hei, kau mau bawa aku kemana?” aku mencoba berontak. Namun tetap saja, aku terseret, aku tak mampu berontak. Aku menurut saja, membiarkan tubuh ini terbawa berkas cahaya. Malaikatkah engkau? Kenapa tak kau tampakkan saja rupamu lalu kau pinjami aku sayap agar aku bisa ikut terbang bersama kemana engkau mau.

Ada pemandangan lain yang aku saksikan di tengah gelapnya malam. Beribu-ribu cahaya melesat cepat menyilet langit. Cahaya apakah itu. Lalu kenapa tiba-tiba menghilang. Aku terhenti di suatu tempat yang tak ada siapapun kecuali aku, seorang diri. Tiba-tiba terdengar suara azan, menggema. Di tempat sesunyi ini. Dari mana arah suara itu. Aku melihat sekeliling, hanya hamparan kosong.

Dan, alangkah terkejut saat mata ini benar-benar terbuka. Sebaris orang tampak sedang melakukan jamaah subuh. Subhanallah, jam berapakah ini? Kulihat jam di salah satu dinding sebuah surau. Setengah lima! Setelah itu mereka mengucap salam, dilanjutkan dengan dzikir. Aku buru-buru keluar surau mengambil air wudlu.[]

[1] Qur’an Surat Al Lail Ayat Pertama
[2] Saya kutip dari sajak Joko Supriyadi “Dosa di Shalatku” yang dimuat di Horison Kakilangit 72/Desember hal 20.

Menyentuh Keranda


Cerpen : Ali Irfan

Subuh, ia masih sempat menjadi imam, mengisi ceramah pagi di surau pesantren. Selepas shalat ashar, seusai tengokkan salam kedua ia sudah tak bergerak lagi. Tepat pukul 16.15 saat hari menapaki senja, ia sudah tak lagi memiliki nafas.

Terang saja kabar kematiannya cukup mengagetkan. Orang sepertinya benar-benar langka. Komentar-komentar terus berdatangan. Kenapa harus orang seperti ia yang mesti disudahi pinjaman nafas lebih awal? Masih belum ada orang yang pantas menggantikan seperti adanya.

Sepertinya masih banyak orang yang belum berlega hati melepas kepergian lelaki kharismatik itu. Tak ada air mata yang mengiringi kepergian sosoknya. Mungkin masih ingat pada sebuah pesan yang pernah ia lontarkan hingga tak ada air mata saat ada kematian. “Tak perlu menangisi sesuatu yang telah pergi, tapi ketika itu bisa membuatmu sedikit tenang, menangislah,” begitu pesannya.

Kematian yang begitu indah. Terduduk di tahiyat akhir, dengan telunjuk masih melambangkan bahwa segalanya akan bermuara pada yang satu.

Suatu kali semasa hidup ia juga pernah berpesan, “Saya menginginkan kematian yang sederhana.” Dan keinginan itu ia dapatkan. Sebuah kematian sederhana yang tak terduga.

***

Berita kematiannya begitu cepat menyebar. Dalam hitungan menit, rumah yang terletak di samping surau pesantren dipadati pelayat. Shalawat menggema tak putus-putus. Wajahnya begitu damai, tenang seakan tak ada beban. Terlihat ia seakan tersenyum. Pelayat berdesakkan ingin menyentuh jenazah terakhir sebelum dikebumikan. Apa? Menyentuh jenazah! Yah, menurut mereka menyentuh jenazah seorang ulama akan kecipratan berkah. Entah darimana kepercayaan itu timbul. Seolah-olah jenazah itu adalah sesuatu yang sakral.

Sebelum prosesi pemakaman. Kerabat keluarga tampak memandikan jenazah, di sebuah tempat tertutup oleh kitaran kain putih membentang persegi. Tampak orang terdekat memandikan. Di bibir jenazah terukir senyum keabadian, seolah tak ada beban, lepas mengabadi. Keranda di depan sudah siap menanti. Lalu lalang orang berdatangan dan semakin banyak saja.

Sebagian terlihat menyolati sebagai bentuk penghormatan terakhir. Tak putus-putus hingga satu hari satu malam. Kerabat-kerabat berdatangan dari dalam dan luar kota bahkan sampai pelosok. Kebanyakan yang datang dari luar kota mengenakan jubah putih. Kata orang-orang, mereka adalah seorang habib, keturunan rasul Muhammad. Kabar yang begitu cepat.
Sore senja hari hingga beranjak malam, pagi sampai sore lagi para pelayat tidak putus-putusnya. Apa yang membuat kematian itu begitu istimewa. Lalu, dimana kematian yang sederhana. Adakah kematian itu seperti yang diinginkan?

Para ulama, santri-santri, pendeta, pejabat, aktifis partai politik sampai artis datang melayat. Terang saja, menyorot perhatian wartawan. Hingga tak heran, hampir semua koran menurunkan headline tentang kematian yang begitu istimewa ini. Turut juga hadir orang biasa, pemulung sampai tukang sampah. Mereka memunguti sisa-sisa botol air mineral dari sebuah jamuan. Shalawat tak henti-hentinya bergema. Kematian siapakah ini. Pastinya, bukan kematian sembarang orang.

Keranda siap diberangkatkan ke pemakaman. Jarak rumah menuju pemakaman, lu-mayan jauh untuk ditempuh jalan kaki. Lima kilometer! Orang-orang di luar sana sudah dari tadi menyemut.

Sempat terjadi perdebatan, mengenai proses pemberangkatan, apakah menggunakan mobil ataukah diarak jalan kaki. Pilihan mobil jatuh karena alasan keamanan, apalagi melihat begitu banyaknya orang yang berhasrat menyentuh keranda karena alasan keberkahan. Ini tak sepatutnya terjadi karena mengarah pada syirik.

Tetap saja, perdebatan bermuara pada jalan kaki. Jenazah tetap diarak sampai ke pemakaman. Pasalnya, kematian seperti inilah yang diinginkan jenazah semasa hidup. Dan semua menerima alasan itu.

Shalawat masih terus menggema tak putus-putus. Keranda diberangkatkan. Seketika lautan manusia terbentuk. Luasnya melebihi batas pandang. Di kejauhan, yang terlihat hanya butiran-butiran kecil yang bergerak searah. Sebentuk hijau, bertalikan bunga tampak jadi pusat lautan orang.

***

Di pemakaman. Tampak empat orang sedang menggali tanah kubur. Mereka tampak senang, pasalnya tanah-tanah yang mereka gali begitu mudahnya. Jengkal demi jengkal tanah terangkat di ujung cangkul, hingga kedalaman satu setengah meter.

Benar-benar suatu kehormatan tak ternilai, bisa menyiapkan tempat peristirahatan terakhir. Kematian siapa lagi, kalau bukan kematian yang istimewa. Keringat mengucur sedikit, tidak terlihat wajah lelah. “Kenapa ya, orang seperti beliau lebih dulu dipanggil?” kata salah seorang diantara mereka. “Setidaknya ini menandakan bahwa kematian itu sebuah kepastian,” timpal seorangnya lagi.

“Apa kalian tak memerhatikan, tak seperti biasanya tanah-tanah ini begitu lunak untuk kita gali,” kata seorang lagi.

“Iya ya, padahal yang sudah-sudah tanah tidak selunak ini, bukankah ini musim kemarau?”

“Karena orang yang meninggal begitu istimewa,” jawab seorang lagi singkat. Mendengar jawaban itu, seketika mereka diam. Hanya ada desau angin. Daun-daun kamboja kering berguguran. Di tanah, sudah berserakan daun-daun kering itu menumpuk. Tidak lama lagi akan terurai menjadi humus.

Setelah hening beberapa jenak. Terdengar suara gemuruh dari seberang sana. Keempat penggali kubur itu langsung terkesiap, mencari dari arah mana sumber suara gemuruh itu. Samar-samar suara terdengar dari kejauhan. Terlihat oleh mereka, ribuan orang bergerak menuju arah pemakaman, iringan itu melangkah cepat. “Sepertinya penghuni galian kita telah datang,” kata salah seorang dari mereka.

***
Nyata! Sesuatu yang dikhawatirkan terjadi. Laju pengiring jenazah terhambat. Sebagian besar orang tampak mendekati keranda. Padahal di sekeliling keranda, melingkar pagar manusia. Keinginan mereka sederhana, ingin menyentuh keranda. Hanya itu saja.

Kontan teriakan larangan berhamburan. Petugas keamanan tampak menyeret bebe-rapa orang ke tepi. Mereka mengacaukan suasana. Iringan terus saja berjalan. Pemanggu keranda tampak kewalahan. Beberapa orang juga berebut giliran untuk dapat memanggu keranda. Saya, yang ada ditengah kerumunan itu hanya bisa menatap keriuhan yang terjadi di tengah sana. Saking banyaknya orang berebut menyentuh, sampai-sampai orang yang memanggu keranda itu terangkat di tengah keriuhan suasana. Uniknya iringan itu tetap saja jalan. Kondisi itu benar-benar tak terlelakkan.

Mendekati pemakaman, suasana makin gaduh saja. Bahkan makin kacau! Keranda itu hampir saja koyak. Kelambu hijau bertuliskan kalimat tauhid tampak tak rapi, tali-tali bunga yang melingkari keranda juga sudah ada yang putus. Iringan jenazah seketika berhenti, sesuatu yang tak terduga pun terjadi. Gemuruh shalawat, sebagai lagu pengiring jenazah seketika terhenti. Suasana riuh mendadak sunyi. Sunyat di tengah lautan manusia di sore hari.

Semua-mua berdiri mematung, ketika menyaksikan keranda itu bergerak. Kelambu hijau itu terangkat angin. Jenazah di dalam keranda, yang mengenakan kafan putih terbangun dari tidur abadinya. Semua tak mampu berkata-kata. Tercengang!. Bulatan kapas putih yang melekat di kedua mata dan lubang hidungnya seketika ia lepas. Kain kafan, yang membalut hingga ke ujung kepala ia buat sedemikian rupa layaknya pakaian ihram.

Di tengah kerumunan ia beranjak berdiri, seperti hendak memberikan tausiyah di acara tabligh akbar yang dihadiri jutaan massa. Biidznillah! Ia kembali meminjam nafas untuk sekedar memberikan beberapa patah kata terakhir! Seperti sedianya, awal ia mengucap salam, tahmid juga shalawat. Lalu memberikan ceramah perpisahan.

“Bukannya ketenangan yang saya dapat, tapi malah keriuhan. Saya bukanlah orang yang patut kalian kultuskan. Kalian tak akan mendapatkan apa-apa dengan menyentuh kendaraan terakhir saya untuk menemui Tuhan. Saya menginginkan perjalanan kematian yang sederhana.”

Dan inilah masanya, masa kontrak pinjaman nafas juga ruh yang melekat dalam jiwa ini sudah saatnya untuk menghadap untuk dimintai pertanggungjawaban. Semua akan mengalami masa-masa seperti ini.

Di tengah perjalanan ke rumah terakhir saya melihat, kenapa mesti berdesakkan berebut untuk menyentuh keranda. Sudah saya tegaskan, kalian tak akan mendapatkan apa-apa dengan menyentuh keranda. Tadi saya sempat berdiskusi dengan malaikat. Malaikat pun hanya bergedek kepala melihat sebagian dari saudara-saudara berebut menyentuh keranda. Saya meminta ijin, untuk meminjam nafas saya kembali lima menit untuk menghindari hal-hal yang semestinya tak patut dilakukan.

Maaf saudara-saudara, saya tak bisa berlama-lama. Bidadari sudah menanti saya. Assalamu’alaikum.”

Senin, 23 Juni 2008

Akulah Pencuri Itu

Ada sebuah ketakutan ketika sesuatu yang bukan milikku berada dalam kuasaku. Buktinya ketidaktenangan mengusik. Tetapi aku menginginkanya. Aku tak peduli, bagaimana sesuatu itu aku dapatkan.

Apa aku melakukan kesalahan fatal hingga aku bisa seperti ini. Sudah dua hari ini, rasa tak tenang benar-benar mengggangu. Rasa-rasanya ingin kututup saja hati yang menyimpan segala rasa ini.

Akhirnya kuputuskan saja untuk mengatakan bahwa aku telah mencuri sesuatu di dirimu yang tak kau ketahui. Ya, karena aku melakukan itu di alam bawah sadar. Dalam keterpanaan aku melakukan itu. Kedengarannya lucu memang, seorang pencuri mengaku telah mencuri. Jarang-jarang ada pencuri mau mengaku.

“Maaf. Aku telah mencuri sesuatu milikmu. Kalau kau merasa kehilangan sesuatu akulah pencuri itu,” kataku yang kukirim melalui pesan singkat.

Aku sudah menduga, kau akan lama membalas pesan itu. Lagi pula aku tak begitu memerlukan balasan langsung. Berharap kau membalas tentu saja ingin. Mengenai bagaimana reaksimu, aku juga ingin tahu. Marah, aneh, terkejut atau kau malah berkata, ada-ada saja kau ini

Aku bisa terawang, kau pasti akan baca dengan sangat hati-hati. Bisa jadi, kau kernyitkan dahi. Apa maksudnya ini?. Mungkin itu kata-katamu yang akan terujar. Dan, penasaran kau dibuatnya. Aku mengharapkan itu.

Biar saja, bukankah kau juga sering buat aku penasaran. Kau bahkan merasa senang dengan kepenasaranku. Saat aku ingin tahu sesuatu, kau tak pernah mau cerita. “Ah, tapi itu nggak begitu penting,” katamu. Tidak penting bagimu, bisa jadi sangat penting untukku. Tak penting di mataku, bisa jadi begitu penting di matamu. Kita memang berbeda.

Dan, dua hari yang lalu, atau bahkan jauh-jauh sebelumya, aku telah mencuri sesuatu milikmu. Apa kau sadar telah kecolongan.
***
Sendiri aku terbaring di kamar. Kuintip melalui jendela tak ada sapaan bintang. Apalagi cahaya bulan. Hai, kalian sudah lama tak menyapaku. Kemana saja selama ini. Aku sangat merindukan sapaanmu.

Ingin rasanya aku pergi ke sana untuk bisa kucari sumber cahaya yang memberi terang. Biar aku saja yang bersinar. Kau tentu lelah. Tiba-tiba saja aku merasa sudah di bulan. Kupijakkan kaki ini perlahan-lahan karena gravitasi di sana tak sekuat di bumi. Takut-takut kalau aku berlari, aku terpantul dan menghilang dalam lingkaran kosmos.

Aku cari sumber cahaya itu, namun tak aku temui. “Aku hanya cermin yang memantulkan cahaya,” kata bulan. Pencarianku terhenti setelah bulan berkata bahwa ia hanyalah cermin, pantulan, tidak lebih. Dan aku telah salah memilih. Kala aku ingin mampir ke bintang, mereka masih di telan gumpalan awal. Lagi pula aku sudah lelah, sementara masih ribuan mil jarak yang mesti aku tempuh untuk menuju ke arahnya.
***
“Baru kali ini kutemui ada orang ngaku jadi pencuri. Emm..kayaknya nggak ada. Memang apa yang kau curi dariku?” sebuah pesan masuk ke ponselku.

Aku tak mengindahkah pesan itu. Ha.ha..ha..., setidaknya dengan pesan itu ia sudah mulai masuk dalam perangkap. Aku memang mencuri. Mengenai apa yang aku cari biar kau cari saja sendiri. Setidaknya dengan ijin lebih dulu, beban dosa mencuriku akan sedikit berkurang. Akan lebih mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan Tuhan perihal kenapa aku mencuri.

Aku tak mau ketidaktenanganku ini berlarat-larat. Makanya aku katakan saja, bahwa aku telah mencuri sesuatu darimu. Akulah pencuri itu. Tapi kau tak merasa kehilangan. Yah, karena aku melakukannya perlahan-lahan sampai-sampai kau tak merasakan itu. Karena aku begitu menginginkan itu, dan kau tak mau berikan itu kepadaku.

“Kok nggak jawab? Mang kau nyuri apa dariku? Perasaan aku nggak kehilangan apa-apa. Jangan bikin aku pusing donk, please...,” satu pesan lagi masuk.

Kena! Kau sudah masuk perangkap. Bisikku pelan. Beberapa jenak, pesan itu aku jawab.

“Setidaknya dengan mengakui itu, akan memperingan pertanggungjawabanku di hadapan Tuhan. Coba kau cek lagi, katanya peka. Masa nggak merasa kehilangan sesuatu. Ada yang kucuri darimu. Maafin ya,” begitulah jawaban pesan itu.

***
Jujur, aku terpana dengan laku lampahmu. Matamu ketika menatap dan senyummu selalu mengembang seperti bunga-bunga merekah. Laku bicaramu yang halus menyejuk-kan. Aku sangat menginginkan semua itu. Tapi, aku sadar, perempuan sepertimu tak bakal memberikan tatapan mata, senyuman dan semua-mua yang kau miliki kepada kaum adam. Langkahmu menundukkan pandangan.

Semua-mua itulah yang aku curi darimu. Hanya saja kau tak merasa kehilangan. Aku mencuri tatapan matamu untuk kuletakkan dalam mataku, hingga ketika menginginkan tatapanmu, tinggal kutatap saja di depan cermin. Dan aku melihat matamu. Tanpa sepengetahuanmu, aku juga mencuri bibir yang memberi senyum manis untuk kuletakkan di bibirku. Ketika aku rindukan senyummu. Tinggal kusunggingkan senyum saja di hadapan cermin. Dan aku melihat senyummu. Semua itu tersimpan rapi di memori otak menempati folder khusus di hati.
Aku tak ingin semua itu sirna seperti halnya kisah seorang gadis kecil yang diasuh se-orang pendeta hingga dewasa. Gadis kecil itu ditemukan pendeta, di sebuah kandang ku-da terpojok di sela-sela tumpukkan keranjang rumput. Tanpa sehelai benang pun!

Kecantikkan gadis saat dewasa justru membuat petaka. Laki-laki yang sudah beristri dibuat terpana dengan kecantikan dan kemolekan tubuh gadis itu. Padahal ia telah menjadi seorang biara, pelayan Tuhan di gereja-gereja karena asuhan si pendeta.

Kisah kecantikan sang biara ternyata bermuara pada fitnah. Sebagian besar ibu-ibu menyebutnya pelacur karena gadis gereja itu membuat suami-suami mereka jarang pulang. Suami-suami mereka justru malah bertingkah aneh. Pergi ke gereja bisa setiap hari hanya untuk melihat rupa si pelayan Tuhan. Gereja penuh, sesak. Si pendeta tampak senang. Ternyata warga di sini sudah mulai berubah, “Puji Tuhan,” pikir si pendeta saat itu.
Gadis yang ditunggu-tunggu akhirnya keluar. Semua-mua tatapan orang yang men-dendangkan lagu pemujaan, tertuju pada biarawati itu. Hanya saja ada yang lain ketika itu. Kain lebat menutup semua wajah perempuan itu. Hingga yang ada seolah-olah kain lebat berjalan. Di tangan ia membawa sebuah baskom berisi air. Langkahnya terhenti di tengah-tengah mimbar. Suasana mendadak hening. Lantunan lagu pemujaan seketika ter-henti. Semuanya tertatap pada seorang perempuan yang sedang berdiri di depan.

“Maafkan aku Bapa. Saya belum bisa menjadi pelayan Tuhan yang baik. Tempat suci ini memang ramai dikunjungi jamaah. Tapi, tidakkah Bapa lihat. Semua-mua yang hadir di sini adalah laki-laki yang sebenarnya ingin mendapatkan tatapan mata. Dengan mak-sud tanpa mengurangi kekhusyukkan menghadap Tuhan, di tempat ini (sambil tangannya menunjuk ke sebuah baskom yang ia bawa) sudah saya berikan semua yang mereka inginkan.

Saya sudah mencongkel dan meletakkan kedua biji bola mataku untuk mereka. Saya sudah menyayat bibir yang membuat mereka dalam keterpanaan (sesaat). Dan, sekali lagi maafkan saya Bapa, saya tak bisa menjadi pelayan Tuhan yang baik.

Diletakkannya baskom yang berisi bola mata dan sayatan bibir biarawati itu. Semua-mua laki-laki yang hadir dibuat membisu kaku. Semua persendiran seakan tak lagi mam-pu menopang. Keringat, mengucur deras. Lalu perempuan itu melangkahkan kakinya per-lahan-lahan meninggalkan gereja. Kerudungnya basah oleh darah yang mengalir melalui lubang kedua bola mata. Siapapun tak berani menghentikan langkah perempuan itu. Tak terkecuali, seorang pendeta yang sudah lama mengasuhnya.

***
Aku tak ingin kisahmu berakhir pada tindakan bodoh yang tidak perlu. Apalagi tragis. Sepenuhnya aku sadar bahwa tindakan ini salah dengan mencuri-curi pandangan saat kau lengah. Dan senyumanmu itu selalu saja membuat jantung berdegup kencang. Makanya kukatakan saja, bahwa aku telah mencuri sesuatu darimu. Tapi aku mohon, jangan kau lepas bola mata indah yang melekat di matamu untuk kau berikan kepadaku. Karena aku tahu, sakitnya bukan main. Lagipula mengerikan!
***
Tiba-tiba ponselku berdering. Sebuah nomor yang belum aku simpan memanggil

“081317849XXX calling…”

Nomor yang tadi aku kirimi pesan menelepon. Aku berpikir beberapa jenak.mencari-cari keputusan untuk menjawab telepon atau tidak.

“Hallo,”
telepon itu aku angkat.

“Assalamu’alaikum,” terdengar suara perempuan. Suaranya lembut. Dan ia mengawali perbincangan.

“Makasih telah mengingatkan. Kau benar, pengakuan bahwa seseorang telah berbuat salah itu perlu. Kesalahan itu manusiawi. Aku sendiri menyadari itu. Saya jadi ingat, dengan mengakui berbuat salah pertanggungjawaban di hadapan Tuhan akan lebih ringan. Lebih-lebih jika orang itu mau memaafkan…”

Aku tercengang tak bisa berucap sepatah kata pun. Nyaris tak diberi waktu bicara. Ia terus saja bercerita panjang. Di seberang sana terdengar suara yang memang merdu.

“Kau salah. Sepertinya kau perlu tahu yang sebenarnya. Aku sudah tahu siapa pencuri itu. Kau bukan pencuri itu. Justru, pencuri itu tidak lain aku. Aku selalu mencuri tatapan matamu yang sedang menatap di kehampaan, matamu begitu menyejukkan. Aku dibuat tenang menatapnya. Apalagi ketika kau tersenyum, membuat aku melambung. Aku sempat bertanya, apa aku sedang menatap ketampanan Yusuf?”

Aku makin dibuat tercengang.

“Aku percaya, tak ada manusia sempurna di jagat ini selain Muhammad. Penampilan bisa saja menipu. Masalahnya saya ingat kata nabi, kurang lebih menyatakan, ‘Orang melakukan amalan akhirat bisa jadi melakukan amalan dunia. Orang yang melakukan amalan dunia bisa jadi bermuara pada amalan akhirat’ kurang lebih seperti itu isi haditsnya. Yang saya takutkan adalah masuk kategori pertama. Terimakasih telah mengingatkan. Assalamu’alaikum....”
Seketika telepon di tutup. Aku masih tercengang.
----------------------------

Dua Helai Sayap Jibril

JIBRIL, tolong kau pinjami aku sayapmu!. Biarkan aku melesat dengan kepakkan sayap milikmu, yang dengannya aku dapat melesat jauh hingga ribuan mil. Aku merasa jengah berada di bumi ini. Di tanah bumi ini, aku tak ubahnya seperti kunang-kunang yang ge-merlap di siang hari. Aku benar-benar merasa tak berarti. Aku ingin pergi ke suatu tempat yang di sana hanya ada kesunyian. Di sini, yang ada hanya gelak tawa sinis, kebohongan juga kata-kata manis yang menipu.

Ambilkan aku dua helai saja dari sayapmu yang mencapai ribuan itu. Dua sayap itu untuk aku tancapkan di kanan dan kiri pundakku. Aku tak bisa membayangkan kalau se-mua-mua sayap yang kau miliki ada dipundakku, mungkin aku akan berubah menjadi sa-tu titik yang tak tampak oleh kasat mata telanjang. Mungkin yang akan ada hanya kum-pulan sayap-sayap yang tergelatak di hamparan tanah, karena aku tak mampu memang-gulnya.

Aku serius Jibril, kenapa kau malah tertawa. Atau jangan-jangan tawamu itu adalah tawa sinis yang juga menyimpan penuh kebohongan. Lepas, lepaskan sayapmu itu, pin-jami aku sayapmu dan bawa aku terbang dengan kepakkan sayapmu itu. Tancapkan, tan-capkan ujung sayap itu dipundakku oleh tanganmu. Biar semua isi dunia tahu, bahwa aku bukanlah seorang picik yang tak mampu berbuat apa-apa. Aku ingin bisa sepertimu.

Aku pernah mendengar cerita tentang mu Jibril. Itu pun kalau daya ingatku tak ber-khianat. Yaitu saat kau menjelma menjadi laki-laki gagah dengan jubah putih menemui Muhammad anak lelaki Abdullah. Dan sahabat-sahabat Muhammad pun begitu tercengang saat melihatmu. Melihat seorang asing yang tampak begitu gagah, yang wajahnya begitu cerah, laku lampah yang menawan dan pasti.

Juga, kalau daya ingatku tak berkhianat lagi, cerita saat kau bertengger di antara langit dan bumi dengan rupa aslimu, untuk menemui Muhammad kau tampak semakin gagah, apalagi saat kau merebahkan kedua sayapmu. Ujung mata siapapun tak mampu melihat ujung sayap yang kau kepakkan secara perlahan. Pada saat itu, semua-mua orang yang menatapmu mengucurkan keringat deras karena kagum menatap kegagahanmu. Dan satu lagi, kepatuhanmu itu yang tak bisa dibandingkan dengan siapapun di jagat ini.

Beruntung aku bisa bertemu denganmu di tempat yang sunyi ini. Karena aku yakin, kau tak akan datang di keramaian. Bukankah kau suka kesunyian. Itulah sebabnya kenapa di malam sesunyi ini aku mau bersendiri hanya untuk menemuimu. Aku pun sama sepertimu, Jibril. Tak suka keramaian, hingar bingar, lalu lalang, beragam macam orang. Orang-orang yang penuh dengan kebohongan, orang-orang yang mengenakan topeng disetiap wajahnya. Menggeluti dunia yang belum juga sudah.

Tunggu, tunggu. Kenapa warnamu tak lagi cerah, semua-mua kulit yang membalut tubuhmu itu membiru. Kau tak habis bertarung dengan raja iblis bukan. Kau tampak lelah, Jibril. Apa karena kau terlalu banyak memecutkan halilintar hingga kau kehabisan tenagamu, aku mencoba menerka. Jibril masih diam. Bahkan ada helai sayap koyak yang tak tertancap rapi di pundakmu. Ya, dua helai sayap itu hampir lepas dari akarnya.

Jibril hanya menatapku diam, sembari melihati kedua helai sayap yang ada di belakang pundaknya. Matanya menatapku, raut muka Jibril tampak heran saat melihatku berceracas panjang-panjang dihadapannya sedari tadi.

“Kau mau sayap koyak ini?” kata Jibril

“Ambil saja. Aku sudah tak memerlukannya lagi” Tambah Jibril.

Ppfffkkkk!, cuppkkk!

“Sayap ini sudah lama membawaku membahana, dan memang sudah sepantasnya untuk diganti.”

“Benar Jibril?” Aku sedikit tak percaya saat Jibril mengujarkan itu.

“Ayo, cabut saja dua sayap ini, kedua sayap ini justru membuat aku tersiksa. Aku justru lebih senang kalau saja sayap koyak ini tak ada dipundakku lagi.” Ulangnya lagi.

“Benar Jibril?!”

“Ayo cabut saja, cabut dengan kedua tanganmu itu.”

Jibril menunduk, aku mendekati perlahan.

“Ayo jangan lama-lama, cabut saja aku tak betah berlama-lama menunduk seperti ini.”

Aku melihat sayap itu memang sudah koyak, helaian-helaiannya sudah tak rapi. Ujung akar sayap itu pun sudah saatnya untuk tercerabut. Mengalir cairan biru dari dasar akar sayap itu. Benar-benar aneh, bukankah sayap Jibril membentang jauh hingga batas pandangan mata pun tak mampu untuk menjangkaunya. Tetapi, yang ada dihadapanku ini tak ubahnya seperti manusia bersayap.

“Apa kau benar-benar Jibril?” Tanyaku.

“Bodoh, kau. Ya.. ini aku.”

“Aku bisa merubah wujudku menjadi siapa saja yang aku mau.”

“Boleh aku bertanya?” tanyaku pada lelaki bersayap.

“Kau boleh bertanya apapun, asalkan kau cabut dulu dua sayap koyak yang ada di pundakku ini. Aku sudah tak kuat dengan kepayahan ini”

“Baiklah, aku boleh bertanya apa saja bukan?”

“Iya, cepat kau lekas cabut sayap ini.”

Aku mulai merabai ujung bulu-bulu halus, menggenggam erat dengan kedua tanganku dibongkot sayap itu. Terasa alot tancapan sayap itu. Walau tampak koyak, masih kokoh.

“Kau itu laki-laki, kerahkan semua tenagamu.”

Aku kembali mencoba untuk mencabut dua helai sayap Jibril yang koyak itu. Terasa susah memang. Tapi aku yakin, sayap itu pasti dapat aku pisahkan dari pundak Jibril. Saat aku menarik sayap itu, mataku terpejam, bibirku kukatupkan dengan gigi. Pun juga dengan Jibril. Aku tampak payah, sekuat tenaga aku menarik sayap itu. Jibril menahan nyeri saat sayap itu aku coba cabut.

“Kau sama saja menyiksaku dengan berlama-lama membiarkan sayap koyak itu masih tertancap di pundakku.”

“Tidak, aku tak bermaksud menyiksamu. Kau tahan saja, sayap ini hampir lepas”

Dan setelah agak lama berpayah-payah, akhirnya sayap itu lepas juga. Sayap itu bergerak-gerak ditanganku, dan tak lama kemudian. Gerakan sayap itu tak lagi aku lihat. Seketika tumbuh dua sayap baru menggantikan dua sayap yang aku cabut dengan payah. Pucat biru yang tadi menyelimuti balutan wajah Jibril kini berangsur kembali seperti semula. Lelaki bersayap yang tak lain adalah Jibril itu tampak sebagai lelaki gagah.

“Sudah, dua sayap koyak milikmu itu sudah lepas. Sekarang kau bisa bangkit seperti pada mulanya, tak usah menunduk lagi.”

“Sayap itu sudah aku cabut, jadi aku boleh bertanya apapun kepadamu Jibril. Jibril sudah berdiri tegak tepat dihadapanku.”

“Lalu apa yang ingin kau tanyakan, sayap itu ambil saja buat kau. Aku sudah tak memerlukannya. Karena sudah tergantikan dengan sayap baru. Kau tak perlu heran, sebangsaku memang tak mampu mencabut sayap dengan tangan sendiri, ketika sayap malaikat mulai koyak, malaikat turun ke bumi menemui manusia-manusia sepertimu. Manusia yang memerlukan sayap malaikat untuk bisa menjadi malaikat walaupun sebenarnya itu tak akan pernah bisa.”

“Justru itu yang aku tanyakan. Aku ingin bisa sepertimu, yang tak merasa sunyi di kesunyatan. Sementara aku, aku benar-benar muak dengan semua sandiwara kehidupan yang memaksa aku memainkan peran yang tak aku sukai. Aku lebih menyukai peran sebagaimu, sebagai malaikat.”

“Sudah aku katakan, hanya orang-orang bodoh sepertimu lah yang terlintas dalam pikirannya untuk bisa menjadi sepertiku, seperti malaikat. Kau tak akan bisa menjadi sepertiku, tetapi kau bisa seperti aku. Dari sikapmu, laku lampahmu dan kepatuhan.”

“Ya tentang kepatuhan itu…” tanyaku kepada Jibril

“Bagiku, kepatuhan itu adalah kutukan, adanya perubahan masa kami tak diberi tahu, dan karena kepatuhan itulah yang sudah melekat kami tak bisa membantah. Apalagi melawan, kami tak diajarkan untuk itu, kami, hanya patuh terhadap segala bentuk perintah sang Khalik, apapun perintah itu, kami laksanakan. Aku tak bisa membayangkan kalau kau menjadi aku. Orang-orang sepertimu adalah orang-orang yang cepat merasa bosan, apalagi diturunkannya kau ke bumi hanyalah akan merusak apa isi dunia. Tetapi tetap saja, kau diturunkan ke tanah ini. Pernah aku mengelak saat awal-awal manusia akan diturunkan ke bumi. Tetapi entah kenapa hingga saat ini aku belum menemukan jawaban yang masih dirahasiakan itu. Yakni jawaban yang membuat kami kecut dan tak berani melawan.,”

“Bukankah lebih enak menjadi sepertimu.”

“Tidak, kau lebih enak menurutku.”

“Jadi kita sama-sama enak dong.” Serempak aku dan Jibril menjawab sama.

“Tapi, tidak kawan, kau lebih enak menurutku.”

“Hidupmu lebih berwarna, ada persaingan dan yang terpenting, kau tak sendirian.”

“Tapi,masalahnya aku merasa sepi meski di tengah-tengah keramaian.”

“ Itu bukan masalah menurutku, hanya saja kau terlalu egois.”

Aku, keakuan, egois.

Malaikat, kepatuhan.

Aku benar-benar tak mengerti. Kau tak mengerti apa keinginanku Jibril. Jibril malah tersenyum melihatku. Senyuman yang lama-lama menjadi tawa Pffffk, Cuppkk!!!!

Kenapa kau malah melebarkan tawamu Jibril. Tawa jibril begitu menggema, rasanya ingin kututup saja telinga ini. Kedua daun telinga yang aku miliki tak mampu mendengar Jibril mengeluarkan gelak tawa yang seolah mengejekku.

“Aku tidak main-main denganmu Jibril.”

“Aku pun demikian,”

“Bagaimana dengan kedua sayap koyak ini Jibril.”

“Terserah mau kau apakan sayap itu, sayap itu sudah menjadi milikmu. Aku tak berhak dengan sayap itu, bukankah kau menginginkan itu.”

“Ajari aku memasangkan sayap ini dipundakku.”

“Tak akan bisa. Kau terlalu mengada-ada. Mesti berapa kali aku bilang, kau tak akan pernah bisa menjadi sepertiku.”

“Bagaimana mungkin tak bisa kalau kau belum mencoba mengajariku.”

“Dasar manusia keras kepala. Terserah mau kau apakan sayap itu, itu sudah bukan menjadi milikku.”

Tanpa ia berucap apa-apa lagi, kemudia ia melesat pergi dengan sayapnya. Sllaapp!! Berhenti di satu titik dan hilang. Aku tak sempat menghalangi kepergian Jibril. Ia begitu cepat melesat, kecepatannya terbang melebihi kecepatan cahaya, bahkan saat mataku berkedip ia sudah berada di ribuan mil jauh terbang mengelilingi jagat. Aku hanya terdiam. Kedua tangan memegang masing-masing satu sayap koyak. Untuk apa sebenarnya sayap ini, pikirku.