Senin, 09 Februari 2009

Karya yang Terlahir karena Sesuatu



Semangat dan energi dari seorang Ali Irfan yang saya kenal, nampaknya tak pernah padam. Kumpulan cerpen ini lebih mengukuhkan bahwa ide atau gagasan yang berlompatan dalam pikirannya tersalurkan melalui tulisan. Bukan hanya sekedar sebagai bacaan, tapi lebih dari itu adalah mampu menginspirasikan kita semua akan makna dari suatu cerita.

Pergulatannya di dunia jurnalistik sangat berpengaruh dalam gaya bertutur dan pemilihan kata. Maka tak megherankan bila beberapa cerpennya lahir karena adanya “sesuatu” yang terjadi. Semisal yang berjudul Eksekusi, terinspirasi dari kasus bom Bali. Manakala kiai kharismatik K.H. Syarief Muhammad bin Syech yang sangat akrab disapa Kang Ayip Muh wafat, hatinya gelisah dan lahirlah cerpen Menyentuh Keranda. Adanya “sesuatu” yang terjadi, jelas erat kaitannya dengan dunia jurnalistik. Cerpen berjudul Deadline! sangat kentara darah kewartawanannya tak terpisahkan.

Kelebihan dari seseorang yang konsisten bergelut di dunia jurnalistik, diantaranya adalah peka terhadap dinamika kehidupan, mampu merangkai huruf, kata, dan kalimat menjadi satu kesatuan arti secara lancar. Hal ini amat membantu kejernihan alur pikir sang penulis dalam menorehkan gagasan. Pergaulan dan pengalaman Ali Irfan di lingkungan pondok pesantren dan komunitas dakwah kampus pun telah menginspirasikan karyanya yang bertajuk Ratapan Semu Iblis dan Malaikat Seribu Cahaya.

Seperti saya sebutkan tadi bahwa instink jurnalisnya terus bergerak mengendus penggalan berbagai peristiwa. Mencoba merekam kejadian yang menyentuh hatinya, kemudian memaknai yang tersirat dari yang tersurat mejadi cerita pendek. Seribu kata, seribu makna niscaya tak akan pernah habis dalam menguraikannya.

Semoga pembaca dapat memetik inspirasi dari kumpulan cerpen ini. Dan saya percaya, sang penulis tak akan pernah kehabisan gagasan dan kata-kata dalam membuat karya-karya selanjutnya.

Yanto,Sy
Praktisi Media & Creative Director Forum Bela Budaya Cirebon







Tentang Cinta, Malaikat, dan Kematian


Cinta, malaikat, dan kematian adalah tiga unsur berbeda tergabung karena sesuatu dan menjadi dalam satu frase: antologi cerita pendek. Ketiganya menyatu lantaran ada sesuatu. Atau dengan lain perkataan, sesuatu menyatukan ketiganya. Sesuatu itu tak lain adalah rasa ingin tahu terhadap hal-hal yang sifatnya abstrak namun ada dan bisa dirasakan seperti halnya cinta, malaikat, dan kematian.

Kalau kita uraikan secara mendetil, sejatinya cinta adalah sesuatu yang abstrak dan bisa dirasakan. Di dalam cinta terkandung energi yang benar-benar menggerakkan manusia untuk hidup. Bahkan lebih hidup! Sebuah keberlangsungan berlangsung karena ada cinta. Ia tak perlu definisi, meski ada seribu makna disebalik kata itu. Satu kata yang kerap membuat hati anak manusia bergetar, tersipu, berani, bertahan, setia, bahkan berselingkuh! Satu kata yang terakhir bisa (atau biasa) terjadi manakala menemukan cinta yang lain lalu enggan melepas yang sudah digenggaman!

Ketika tak ada keberanian mengungkapkan, cinta pun bisa mengarahkan seorang anak manusia menjadi pencuri. Ini terjadi seperti dalam sebuah pengakuan, Akulah Pencuri Itu. Sadar bahwa mencuri perbuatan yang berdampak pada sebuah dosa, seorang anak manusia pun mengakui perbuatannya dengan mengaku dirinya sebagai pencuri. Dalam pengakuannya ia bilang, setidaknya dengan mengakui itu, akan memperingan mizan pertanggungjawaban di hadapan Tuhan nanti. Inilah pentingnya memaknai sebuah kejujuran. Bukankah jarang-jarang ada pencuri mau mengaku?

Manakala tak ada keberanian membalas, kaum hawa pun, cukup membalasnya dengan diam. Sebuah jawaban yang menimbulkan rasa penasaran lelaki meski ada sabda nabi yang mengatakan, diamnya perempuan adalah sikap menerimanya. Sampai-sampai dengan tingkat kepercayadirian yang tinggi, kaum adam harus mengatakan, Sebenarnya Kau Mencintaiku, Hanya Saja Kau Tidak Mengatakannya. Namun ada sebagian bagi kaum hawa yang berprinsip bahwa diam saja tidak cukup. Mungkin terjadi karena ada kekhawatiran cintanya tak berbalas. Maka dengan sekuat tenaga, seorang Rahma Syifa memanfaatkan gelombang elektromagnetik untuk mengekspresikan rasa seperti dalam cerpen Lelaki yang Datang Lewat Mimpi. Kesetiaan pun diuji dalam Lelaki yang Tak Pernah Tidur lantaran menunggu kedatangan bulan yang kerap mengganggu hatinya. Keinginan untuk bercinta dengan bulan pun muncul meski urung lantaran mempertimbangkan kesetiaan seorang istri.

Cinta memang mengajarkan seseorang untuk berkhianat, selain tentunya mengajarkan kesetiaan. Kalau ingin tahu apa itu kesetiaan, belajarlah pada Malaikat! Ia makhluk Tuhan yang tingkat kesetiannya sudah teruji. Dengan anugerah kesempurnaan yang tiada tara, sebenarnya manusia bisa seperti malaikat tanpa harus menjadi malaikat. Bahkan seseorang bisa mendatangkan Malaikat Seribu Cahaya yang langsung diturunkan dari langit. Tetapi keegoan yang melekat pada diri manusia malah membuatnya kadang kebablasan lantaran muncul keinginan memiliki Dua Helai Sayap Jibril.

Tetapi, seberapa jauh manusia berpetualang menyelami hidup, pada akhirnya akan bermuara pada satu, yakni kematian. Ia adalah akhir yang pasti, tetapi kapan waktunya masih menjadi misteri. Kematian tak perlu dicari, karena sejatinya ia akan datang sendiri menghampiri. Yang patut diperhatikan adalah bagaimanakah kita seharusnya mati? Kisah mengenai kematian, mulai dari kematian yang sederhana, kematian yang belum saatnya, sampai bunuh diri telah saya tuangkan dalam Senja Di Atas Kereta, Menyentuh Keranda, Deadline!, Eksekusi, Qasidah Gurun, Suara Adzan di Jantung Muadzin, dan Nek, Sebaiknya Kau Mati Saja.

Ali Irfan. Tegal, 2 Februari 2009. 14.44






Jumat, 06 Februari 2009

Aku, Wimar Witoelar, dan Fira Basuki



Ini pengalaman yang belum aku kisahkan kepada kalian. Kisah lama memang, tapi itu tak apa kan? Saya memercayai, sebuah pengalaman yang dituliskan akan menjadi kisah mengabadi yang sewaktu-waktu bisa dibuka kembali. Saya menyebut hari itu terlalu indah untuk dilewatkan, karena benar-benar memicu aktivitas saya dalam menulis. Begini kisahnya...


haripertama:sembilanseptemberduaribuenam

Saya bertemu dua sosok berbeda. Buku menyatukan mereka. Dekat seperti sahabat, bahkan seperti ayah dan anak! Mereka Wimar Witoelar dan Fira Basuki. Saya mengenal keduanya pada sebuah buku biografi berjudul “Heal Yeah: Wimar Witoelar & Fira Basuki.” Penulis buku itu Fira Basuki. Seorang jurnalis, penulis juga novelis.

Pukul delapan malam saya sudah berada di salah satu stasiun radio di Cirebon. Ikut acara talk show. Niat awal wawancara Wimar Witoelar dan Fira Basuki buat majalah kampus yang saya kelola, majalah FatsOeN. Tetapi entah, ketika keduanya datang, mental tiba-tiba down. Memang saat itu ada banyak orang. Rombongan Wimar datang dengan dua mobil, yakni terdiri dari orang-orang Intermatrix, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang Public Relation milik Wimar.

Saya tak punya banyak kesempatan untuk bercakap-cakap dengan Wimar karena sejak kedatangannya langsung disambut kru radio. Sesekali saya mengambil gambar keduanya. Sedemikian asyik memotret, sampai hampir lupa pada niatan awal untuk wawancara.

Ada yang menarik dari sosok Wimar. Sapaan yang ia gunakan menggunakan inisial. Wimar Witoelar ternyata akrab disapa WW (read: wewe, not double u, double u). Katanya nama itu egaliter, yakni mengedepankan persamaan. Ia tak memandang perbedaan dari mana ia berasal, mulai dari agama, ras dan lainnya yang sekiranya mengindikasikan ada jarak.

Kesederhanaanya begitu melekat. Padahal ia bukan orang biasa lantaran kapasitasnya yang memang tidak diragukan lagi. Meski saat kecil sempat dicemooh sebagai bebek si buruk rupa (ugly duckling), WW ternyata seorang aktivis kampus, the great communicator, pernah didapuk sebagai news caster VOA, dan karir politiknya jadi Juru Bicara Kepresidenan masa pemerintahan Gus Dur.

Firbas juga tak kalah menarik. Gaya penulisannya energik. Ketika kamera menyorot ke arahnya, ia pasang rona senyum pipit. Senyumya khas. Saat duduk di sebuah sofa, tiba-tiba Fira Basuki duduk di kursi persis depan saya. Saya mencoba berusaha bersikap biasa, biar tidak kelihatan canggung, apalagi gugup.

Dalam benak saya berucap, “Ini kesempatan untuk wawancara Fira Basuki!” Saya pun tak melewatkan itu, tanpa menunggu waktu, juga tanpa minta ijin wawancara, saya langsung melontarkan pertanyaan,

“Kenapa Mbak Fira mengambil sastra dalam kepenulisan?” tanya saya tiba-tiba.

“Ceritanya ini wawancara nih?” Jawab Fira seketika dengan senyum khas. Sepertinya ia paham tengah berhadapan dengan wartawan amatiran, he...

Saya membalas dengan senyum mengiyakan. Setelah itu Fira menjawabnya.

“Ya, karena dunia sastra segalanya bisa mungkin. Sesuatu yang tidak mungkin dalam kehidupan nyata ketika dalam dunia sastra itu bisa saja terjadi dan sah-sah saja.”

Ternyata, ia mulai menulis sejak duduk di bangku SD. Saat teman-temannya asyik bermain, ia malah asyik di kamar membuat puisi di buku harian. Tahu Fira suka menulis, ibu tercintanya kasih saran agar Fira ikut lomba penulisan puisi. Namun Fira acuh. Ibu tersayang ternyata punya inisiatif dengan mengisikan formulir pendaftaran. Hasilnya mengejutkan, tak terduga, tak disangka. Fira tampil sebagai juara menulis puisi yang diselenggarakan majalah Bobo. Padahal sama sekali tak merasa ikut lomba.

Saat talkshow mau dimulai, wawancara terpaksa saya hentikan. Saya hanya melontarkan dua pertanyaan. Lagi pula saat itu saya tak tahu harus bertanya apa lagi. I’m speechless!

harikedua:sepuluhseptemberduaribuenam

Saya masih mengikuti keduanya saat acara bedah buku di Gramedia. Saya datang ke acara itu lantaran dapat bocoran dari dari salah seorang kru WW, besok ada door prize berupa buku-buku Wimar yang akan diberikan kepada peserta bedah buku. Entah kenapa, saya yakin akan mendapatkan satu buku Wimar.

Apa yang saya harapkan ternyata terwujud. Saya adalah orang pertama yang melontarkan pertanyaan dalam forum. Ya demi sebuah doorprize! Sudah jadi kesepakatan awal, setiap penanya akan mendapatkan bingkisan.

Saya menghadiri acara itu bersama Siti Khudriyah, seorang kawan yang juga aktif di FatsOeN. Saya komporin dia bertanya biar dapat bingkisan. Terkesan materialistis memang, tapi tak apa kalau demi sebuah buku yang mencerahkan! Ia pun menurut, bahkan melontarkan pertanyaan terbaik. Ia mendapat satu buku Hell Yeah dan satu bingkisan, yang entah apa isinya. Saya dan Dyah senang lantaran dapat apresiasi menarik dari Wimar,

Sebenarnya saya sempat iri karena saya hanya mendapat satu bingkisan, Dyah dapat dua. Ia pertanyaan terbaik, saya biasa-biasa saja. Bahkan Dyah mendapat kehormatan berduet dengan Wimar menyanyikan lagu Hell Yeah! Itulagu favorit Wimar yang hampit diputar di mobilnya setiap kali ia bepergian. Dyah sempat mencoba menyelamatkan diri lantaran tak bisa nyanyi, seperti apa lagunya juga ia tak tahu. Meski sempat diputar juga itu baru pertama kali dengar. Pakai bahasa inggris pula. Tapi akhirnya setelah didesak, ia pun ke depan bersama Wimar. Ya, tidak terlalu memalukan memang, Di depan Dyah cuma pegang microphone! Saya lupa menanyakan bagaimana isi benak Dyah saat tak di depan bersama Wimar. Oh, iya. Bingkisan yang Dyah peroleh ternyata isinya sebuah kaos ekslusif Wimar.

Penasaran belum tahu apa isi bingkisan kecil, saya langsung membuka bingkisan. Saya sobek kado pembungkus dengan tergesa-gesa. Surprise Alhamdulilah! Isi bingkisan itu ternyata sebuah buku berbahasa Inggris. Judulnya No Regrets, A Reflection of Presidential Spokesman.

Setelah dipikir-pikir, ternyata saya dapat buku yang bernilai lebih. Sebab, apa yang didapat oleh kawan saya, pernah saya baca habis dalam waktu kurang dari dua hari. Yah, FatsOeN memiliki buku itu dua hari sebelum kedatangan Wimar di Cirebon. Tentang kaos itu, saya berkomentar dalam benak, book is more important than t-shirt!

Pas usai acara, saat acara book signing, beberapa orang sudah memanjang menanti giliran untuk menanti tanda tangan. Wimar berkomentar ketika saya menyodorkan No Regrets? “Wah, kau dapat dari mana buku langka ini?” Jawab saya, melontarkan pertanyaan pertama saat diskusi buku dimulai. Komentar lain yang tak kalah menarik terujar dari Fira Basuki, “Wow the great book! Buku mahal neh, seratus ribu lho,” kata Fira. Saya hanya tersenyum.

Kelak, pasti saya bikin buku sepertimu Fira...