Kamis, 04 September 2008

SEBENARNYA KAU MENCINTAIKU, HANYA SAJA KAU TAK MENGATAKANNYA


Oleh : Ali Irfan

Luapan rasa yang lama terpendam tumpah sudah. Tapi hanya menyisakan kecewa yang amat pedih. Kau tetap saja berbohong. Kesalahan fatal itu benar-benar kau lakukan. Ruang hatimu sudah kau isi dengan sesuatu yang abstrak. Menerima seseorang dimana kau ragu untuk menyebutnya ia benar-benar berpengaruh atau tidak.

Kau mendongakkan wajahmu setelah lama menunduk malu. Seolah ingin berkata kepadaku, kenapa tidak dari dulu kau mengungkapkan itu. Tetapi entah. Aku begitu ya-kin bahwa kau masih mencintaiku.

Kau bohong dengan tidak mengatakan sesegera mungkin bahwa kau juga mengha-rap aku datang memenuhi ruang hatimu yang masih kosong. Tidak diisi dengan sesuatu yang abstrak. Aku hanya tak mau gegabah. Lagipula, perempuan sepertimu biasanya ti-dak mudah untuk menerima seseorang. Entah karena alasan apa kau bisa setengah me-nerima dia untuk mengisi ruang hati yang kosong. Dan lebih-lebih, katamu, ruang hati-mu telah terisi oleh ia yang sejatinya abstrak.

Angin awal Juni benar-benar tak menyehatkan. Siang terasa terik, malam bisa membuat tubuh menggigil. Jaket yang melekat, sedikit membuatmu merasa hangat. Kau ingat, ketika itu aku membawamu di suatu malam. Kau mengenakan sweater hitam seperti warna malam. Di sanalah, aku memposisikan sebagai laki-laki yang tengah berha-dapan dengan perempuan.

Lama kau tak bicara. Hanya berdiam diri. Semua dengan segala kemungkinan-kemungkinannya telah aku siapkan. Setidaknya itu menunjukkan bahwa aku bukan laki-laki yang mudah rapuh. Aku pikir belum terlambat waktu untuk mengatakan semuanya. Kau sebenarnya tahu apa yang ingin aku katakan, hanya saja kau selalu menutup diri. Walau sebenarnya kau ingin aku sesegera mungkin mengatakannya kepadamu. Tapi kau bilang sudah terlambat.

“Boleh aku bertanya,” katamu.
“Itu sudah pertanyaan,” jawabku.

Aku menganggguk. Membolehkan ia bertanya, sambil menyeruput jus alpukat yang tinggal separuh.

“Kenapa baru sekarang kau mengatakan ini. Kau tahu, sebenarnya sudah lama aku mengharapkan kata-kata itu terujar darimu tanpa harus kau katakan kepadanya,” tanya-nya.
“Karena aku tak mau gegabah. Entah kenapa aku memiliki keyakinan yang begitu kuat bahwa kau tidak mencintainya. Tinggalkan saja dia. Katakan, kau mencintaiku,”
“Tidak,”
“Katakan kau mencintaiku,”
“Tidak!”
“Kau mencintaiku,”
“Tidak!”
“Kau bohong,”
“Aku mencintainya,”
“Bohong,”
“Aku mencintainya,”
“Bohong.”

Aku melihat ada kebohongan di wajah dan hatimu. Kebohongan untuk mengatakan bahwa kau mencintainya.

Baiklah kau perlu waktu. Tapi kau juga harus tahu, aku tak akan pernah berhenti untuk berusaha memilikimu seutuhnya. Aku ingin kau menjadi milikku.

“Kak...”
“Jangan panggil aku kakak!”
“Kak...”
“Saat ini aku bukan kakakmu. Aku adalah aku,”

Kau belum memberikan jawaban yang sebenarnya. Masih kau simpan rapi. Dalam hati kecil aku berkata, “Baiklah, kau simpan saja dulu. Barangkali suatu saat kau perlu. Aku masih menunggu. Bukan sebuah kesalahan menurutku, ketika aku mengharapkanmu untuk hadir dalam hidupku dalam satu ikatan suci, karena sejatinya kau masih sendiri. Lagipula belum ada yang melamarmu, apalagi kau belum bersuami."

Kau pernah bilang bahwa kau sudah dijodohkan. “Oh, ya?” Aku jawab saja tanpa rasa canggung sedikit pun. Aku menjawab tenang karena sejatinya semua orang sudah punya jodohnya masing-masing. Aku sudah punya calon istri, kau sudah punya calon suami. Istriku bisa saja Aisyah, Noura, Nurul, atau bahkan Maria seperti yang ada dalam novel Ayat-Ayat Cinta-nya Habiburahman El-Shirazy. Tetapi kenapa aku lebih tertuju kepadamu. Bisa saja ia yang berada di jauh sana. Atau bahkan berada di seberang sana. Di depan, samping, atau belakang. Tetapi kenapa aku lebih tertuju kepadamu? Mengenai kapan ia datang, kita tak tahu. Tapi yang jelas, akan datang pada waktu yang tepat. Nah, sekarang itu tengah aku usahakan biar datang tepat waktu.

***
Malam tanpa jawaban. Pertanyaan menggantung. Jawaban masih belum terluapkan. Setelah peristiwa itu secara tidak langsung kita bersepakat, untuk selalu menatap malam yang penuh dengan bintang berserakan. Kita sepakat untuk tetap terjaga sampai sebelum cahaya, yang akan muncul sebelum fajar. Menatap gemerlap ribuan batu-batu cahaya yang beterbaran. Kau dan aku percaya bisa saling menatap melalui rembulan sebagai perantara, layaknya cermin yang memantulkan bayangan serupa.

***
Bulan keperakan sudah tak terlihat lagi di awan. Hari sudah beranjak siang. Kau bilang, bahwa kau terbaring lemah, saat jantungmu kambuh. Padahal kau sudah jengah menelan pil-pil penenang setiap hari untuk tidak membuat jantungmu bergetar. Bosan merasakan sakit yang tak terperi.

Kau tahu, sebenarnya ada yang lebih sakit lagi dari sakit jantung yang kau derita. Yakni, ketika tiba-tiba teringat peristiwa di suatu pagi. Ketika kau memendam rasa yang begitu lama entah sampai kapan. Dan, ketika kau benar-benar butuh, aku malah pamit baik-baik untuk pergi, katamu. Padahal aku sama sekali tak pergi, aku hanya menguir sejarah untuk masa depan kita nanti, masa depan buat istri dan anak-anakku nanti. Sampai-sampai aku tak tahu harus bagaimana meruntuhkan kerasnya batu yang ada dalam hatimu.

***
Aku, yang sempat mengharapkanmu tiba-tiba membeberkan semua di hadapanmu. Hanya membawa segenggam kata maaf, bahwa selama ini aku hanya telah memainkan peran di sebuah pementasan yang pemerannya hanyalah kau dan aku.

“Maafkan, peran ini semestinya mesti disudahi sekarang. Aku tak mau larut dalam sandiwara tanpa babak. Sebuah peran yang sebenarnya aku sendiri masih ingin melanjut-kan,” kataku.
Matamu berkaca-kaca mengalirkan butiran bening dan terdiam sesaat mendengar ujaranku yang tiba-tiba.
“Kau mau kan, memberi kata maaf untukku,” kataku lagi.
Kau masih saja diam. Biasanya kau tidak sediam ini. Saat aku bercerita kau begitu seriusnya memperhatikan tiap kata-kata yang terujar. Namun sore itu, kau tampak lain.
“Please!”
“Tidak! Katamu tiba-tiba.
“Kenapa?” tanyaku penasaran
Hanya diam yang aku dapatkan.
“Cerita ini harus segera disudahi,” kataku.
“Karena sebenarnya aku...”
“Ah, sudahlah jangan dibahas,” katamu tiba-tiba menutup pembicaraan.

Seperti ada aura lain di wajahmu ketika aku mengatakan itu. Kata yang belum usai kau ucapkan masih menyimpan tiga titik di belakangnya. Itu artinya ada sesuatu dibalik kata itu. Kata-kata lain yang menyiratkan makna. Kalau boleh menebak, titik-titik itu tak lain sebuah untaian kata yang memintaku untuk tidak mengatakan jangan pergi meninggalkanmu.

Aku tahu itu. Matamu yang bicara. Keyakinanku tentang rasa yang tak pernah bohong. Tapi, cerita ini benar-benar harus diakhiri. Kejora yang lebih cerah telah hadir dalam kehidupanku. Aku sudah lama mengenalnya, bahkan jauh sebelum mengenalmu. Kau pun sebenarnya kenal dekat dengannya, karena ia tidak lain adalah saudaramu.

Ketika aku mengatakan itu, kau setengah tak percaya. “Nggak mungkin bisa secepat itu. Ka.. sebenarnya...” Kau ulangi kata-kata yang belum selesai kau ujarakan.

Tapi itu adalah kemungkinan, Aku tahu lanjutan kata-kata itu. Kau akan menga-takan, “Sebenarnya aku mencintaimu hanya saja aku tidak mengatakannya. Itu kan yang ingin kau ungkapkan? Tapi biarlah waktu yang akan menjawab. Kalau selama ini kau tahu, bahwa orang yang begitu kau kagumi sepenuh hati bukan orang lain, melainkan aku, kenapa kau diam saja? Bukankah aku telah mengatakannya kepadamu.

***

Sengaja, malam itu sedikit pun tak melongok ke langit malam. Padahal, di seberang sana kau menanti gambaran wajahku yang seharusnya terpantul di bulan. Namun yang kau lihat hanya kesan pucat. Terangnya begitu beda. Malam itu aku benar-benar tidak mau menampakkan diri. Aku tak ingin rasa yang mendera kuat itu menjebak kita ke dalam pusaran pasir isap, yang lambat laun akan menenggelamkan aku dan dirimu hingga tak ada seorang pun mampu menyeret kembali ketika telah benar-benar tenggelam. Kata-kataku yang mengatakan tidak akan pernah berhenti untuk mencintaimu sampai kapan pun, untuk sementara aku cabut.
***

Mengenalmu menjadikan aku belajar lebih banyak dari sedikit hal yang kelihatan-nya sederhana. Tentang rasa. Kau tak ubahnya seorang guru yang memberiku pelajaran mengenai rasa. Dari rasa itulah aku hanya ingin mengatakan sesuatu kepadamu. Ketika dulu pernah bilang bahwa aku mencintaimu, tapi sekarang tidak lagi. Rasa itu sudah aku simpan di tempat yang rapi.

Sekarang aku mengerti. Ungkapan cinta bagiku adalah kata-kata sakral yang tak semestinya diucapkan pada sembarang orang. Mengenalmu, dan memimpikan untuk memiliki dan hidup bersamamu adalah kesalahan terindah yang pernah aku lakukan. Aku berharap pengalaman itu tak terjadi lagi. Sebaiknya sampai di sini saja dulu. Aku takut rasa yang dulu untuk mencintaimu muncul lagi. Sementara aku sebenarnya telah mene-mukan yang lain. Tapi aku takkan memberinya cinta. Bukan pula janji. Biarlah mengalir apa adanya.

Kepadanya aku hanya bilang,
“Aku mencintaimu...” Kau tahu bagaimana respon wajahnya ketika aku mengucap-kan kata-kata itu? Wajahnya langsung memerah dengan memunculkan gerak yang salah tingkah.
“Ya aku mencintaimu.” Kau tahu bagaimana respon wajahnya lagi? Wajahnya se-makin memerah dan laku lampahnya makin salah tingkah.
“Kata-kata itu... tak akan pernah aku ucapkan pada satu orang perempuan pun kecuali...” Kau tahu, bagaimana tatapan matanya saat kata-kata itu aku ucapkan. Matanya membelalak menatapku.
“Kecuali siapa?” tanyanya lebih penasaran.
“Istriku.”
***

Di antara ribuan bintang, ada satu bintang yang kerlipnya buram. Itulah rindu. Merindukan ia datang menyapa. Kerlip buram itu tidak lain adalah rindu. Kerinduan akan datangnya saat-saat aku dan ia menikmati hujan cahaya malam. Berdua. Tiada seorang pun menganggu. Dan, ketika butir-butir cahaya itu tidak tampak, ia mengubah diri menjadi sosok rupawan di setiap purnama. Ya, ia menjadi rembulan yang menyembu-ratkan cahaya. Ia telah datang meski masih berada dalam ketidakpastian. Memang, hidup ini penuh dengan sesuatu yang tidak pasti. []

2 komentar:

Anonim mengatakan...

bagus banget cerita cerita nya.... kenapa gak coba di ajuin ke penerbit?

Anonim mengatakan...

tak ada kata lain, ceritanya menyentuh dan menohok perasaan. Nice...