Kamis, 04 September 2008

LELAKI YANG TAK PERNAH TIDUR


Cerpen : Ali Irfan

Di suatu malam mata lelaki itu masih belum terpejam. Hanya ditemani gelap dan asap rokok. Istrinya sudah dari tadi nyenyak dalam balutan selimut. Sesekali ia menatap perempuan yang menjadi teman hidupnya hingga kini. Malam itu benar-benar sunyat. Hanya terdengar suara detak jam dan juga decak cicak yang mengintip malu melalui angin-angin.

Lelaki itu berjalan perlahan menuju jendela kamar. Dibukanya jendela itu. Slap! seberkas cahaya bulan menyusup dengan kecepatan tiga kali sepuluh pangkat delapan meter per detik. Begitu cepatnya sampai-sampai ia tak bisa mengamati bagaimana cahaya itu bisa menyelasap. Sepertinya, sinar bulan itu sudah menunggu lama untuk mengisi ruang gelap yang ada di sela-sela kamar hati.

Ia menatap asal sinar itu dengan kagum. Bulatan cahaya lembut itu mengawali dengan senyuman. Lelaki itu pun membalasnya dengan senyuman. Lelaki dan rembulan sama-sama tersenyum.

“Aku tak pernah bisa tidur di malam hari, maukah kau menemani aku dalam keterjagaanku,” ucap lelaki itu pelan kepada cahaya bulan.

“Aku akan selalu ada di waktu malam. Meskipun harus sendiri, ketika semua-mua mata yang ada di bumi sudah terpejam, aku tetap terjaga. Apalagi ada seorang teman, kita bisa berbicara apa saja sampai pagi,” jawab bulan dengan tenangnya.

“Ups! Tutup jendela ini segera, aku takut membuat ia terbangun,” ucap bulan tiba-tiba ketika melihat istri lelaki itu menggeliat.

“Belum tidur sayang,” kata perempuan itu sambil merapikan rambutnya yang panjang.

“Kenapa kau buka jendela itu, bukankah udara di luar begitu dingin”

“Aku hanya sedang mencari ketenangan. Di luar sana begitu tenang. Kalau mengganggu, baiklah aku tutup saja jendela ini.”

Saat itu jarum jam menunjuk angka tiga pagi. Sebentar lagi akan ada suara kokok ayam membangunkan mata yang terpejam. biasanya lengung ayam itu disusul dengan suara adzan.

“Maaf, sepertinya untuk saat ini kita tak bisa berlama-lama bicara,” ucap lelaki itu sambil mengantarkan cahaya bulan keluar melalui jendela. Bulan itu mengangguk mengerti.

Lelaki itu sudah berada di samping istrinya. Begitu cepat istrinya tertidur lagi. Sementara lelaki itu masih terjaga, sambil membayangkan senyum bulan. Tiba-tiba cahaya itu melewati celah-celah jendela.

“Mau apa kau datang lagi,” ucap lelaki itu.

“Aku hanya ingin mengucapkan sampai ketemu lagi, karena waktuku tak lama. Sampai ketemu esok malam. Aku harap walau kau sudah punya istri, kau masih mau untuk sekedar duduk ngobrol menemaniku, karena aku selalu sendiri di malam hari.” Lalu cahaya itu melesat jauh ke langit, melewati terpaan angin pagi. Gelap malam pun berangsur-angsur sirna menjadi pagi yang cerah.

***

“Semalam aku bermimpi Mas berbicara dengan bulan. Kau diajaknya pergi ke bulan bersamanya. Cahaya itu melilit tubuhmu dan menarik ke bulan. Kau benar-benar jahat tak membawaku ikut ke sana, padahal aku juga mau ke bulan,” ucap istri lelaki itu.
Lelaki itu tersentak kaget mendengar ucapan istrinya.

“Ke bulan? Ah, mama ada-ada saja. Itu kan hanya mimpi. Mimpi kok ke bulan, kenapa tidak ke Mars sana yang sudah jelas-jelas ada pertanda kehidupan,” ucap lelaki itu ringan. Bukankah apa yang diucapkan istrinya itu benar-benar aku alami semalam dan tentang ajakan bulan itu memang benar-benar apa yang ia katakan semalam, lelaki itu terdiam dalam bingung, matanya menatap kosong.

“Sayang, pagi-pagi kok sudah ngelamun. Apa semalam nggak tidur,” kata istri lelaki itu menyadarkan. Pandangannya menatap perhatian mata lelaki itu yang tampak sekali kelelahan. Mata yang dibuat terus terjaga oleh si pemilik mata.

“Oh, nggak apa-apa kok. Cuma lagi merasakan kehangatan kopi pagi. Semalam memang tidak bisa tidur tetapi tidak sampai pergi ke bulan kok. Itu kan mimpi,” ucap lelaki itu membela diri sambil mencubit kedua pipi istrinya dengan mesra.

“Oh ya seandainya aku jadi ke bulan, kau ingin memesan apa sayang,” Lelaki itu menawarkan.

“Aku hanya ingin, bulan itu tak merebut suamiku. Yang aku takutkan ketika kau sudah ke bulan kau tak mau pulang menemui istrimu yang ada di bumi,” ucapnya manja. Lelaki itu terdiam.

“Yang lain?” tambah lelaki itu.

“…” berpikir.

“Oh, ya. Aku harap kau tidak tergoda oleh seorang nenek yang berkereta dengan kucing kesayangannya di bulan sana. Temani saja ia main, mungkin ia merasa kesepian karena selama ini ia bermain hanya ditemani kucing. Apalagi akhir-akhir ini aku sering tak melihat nenek itu bermain bersama kucingnya. Bila perlu ajak saja ia ke bumi. Barangkali saja ia sudah merasa jenuh hidup di bulan sana.”

“Kau tidak meminta aku membawakan bintang?” lelaki itu menawarkan.
”Tidak! Bagiku kau sudah cukup mencerahkan. Bahkan lebih cerah dari bintang.”

Begitulah obrolan itu berlanjut mengisi suasana sarapan pagi. Lelaki itu lalu duduk dihadapan komputer, jemarinya mulai memijit tuts-tuts aksara yang berbaris acak, tidak runut. Dengan ditemani kopi yang masih hangat, ia menuliskan apa yang baru saja ia bicarakan dengan istrinya. Tentang keinginan istrinya yang tak berlebih, yang memintanya untuk tidak tergoda oleh keindahan bulan, untuk mengajak nenek ke bumi bersama kucingnya seandainya ia jadi ke bulan sana. Bagi lelaki itu obrolan tadi bukanlah obrolan kosong yang tak berarti. Setidaknya obrolan itu menunjukkan kesetiaan sejati yang diperuntukkan bagi suami.

Sebentar lagi gelap tiba, bulan tentu sudah bersiap-siap menemui lelaki itu. Sesuai dengan janjinya semalam. Tetapi akankah lelaki itu ke bulan?

***

Seperti biasa, lelaki itu sudah berada di balik jendela. Jendela yang terbuka memaksa sinar bulan menyusupi kamar-kamarnya. Aku tahu sudah lama kau menunggu, makanya aku buka jendela ini, tanya lelaki itu kepada bulan. Bulatan cahaya itu tampak senang, terlihat dari pancaran cahaya yang semakin terang, seakan-akan ia mengucapkan terimakasih. Istrimu sudah tidur belum, tanya si bulan itu pelan. Si lelaki menggeleng. Belum, ia sedang membuatkan aku kopi untuk bisa menemanimu ngobrol karena dengan secangkir kopi pahit membuat aku tak akan bisa tidur, kecuali menghabiskan malam bersamamu, jawab lelaki itu.

Tak berselang lama, kopi pahit sudah tersaji di depan lelaki itu. Dalam diam ia berkata, bagaimana mungkin aku akan berpaling dari memiliki istri seorang kau. Aku tak mungkin menafikan keadaanmu, tetapi ada yang aneh dengan rasaku. Ada yang hinggap erat dirasaku, tetapi itu bukan kau.

“Kalau lelah istirahatlah, jangan kau paksakan,” ucap istrinya sambil memegangi pundak lelaki itu dan mendaratkan dagunya di pundak kiri lelaki itu. Sepertinya istri lelaki itu tak tahu, bahwa ia tak akan pernah bisa tidur di malam hari. Menghabiskan waktu gelap sekedar bercengkerama dengan kesendirian. Entah terbuat dari apa mata lelaki itu, sampai-sampai lelaki itu kuat untuk tidak tidur semalaman.

“Tidurlah kau dulu, nanti aku menyusul,” pinta lelaki. Istrinya menggeleng manja. Si lelaki itu mencium kening istrinya. Lalu membopongnya ke tempat tidur. Sekumpulan awan menutup wajah bulan malu-malu melihat lelaki dan perempuan itu bergumul dalam selimut.

Keadaaan kembali tenang, istri lelaki itu sudah tertidur. Dan si lelaki itu kembali menatap ke luar dari jendela. Mencari-cari bulan di balik awan yang menutupi. Lama juga ia menatap. Akhirnya bulatan cahaya itu muncul juga meski dengan wajah yang masih malu-malu.

“Aku begitu iri melihatmu. Aku ingin menjadi seperti istrimu, kita akan melakukannya di bulan. Seperti apa yang aku tawarkan semalam, bagaimana apa kau siap untuk pergi sekarang ke tempatku?”

“Sekarang?”
“Kapan lagi,”

Bagaimana kita pergi ke sana, tanya lelaki itu. Aku punya kecepatan, akan aku ubah kau menjadi cahaya, kamu tahu kecepatan cahaya bukan, yaitu kecepatan yang tak tertandingi oleh kecepatan lain di jagad ini. Hitungan detik sebagai satuan waktu terkecil pun belum seberapa. Ketika menjadi cahaya kita akan begitu mudah untuk menuju ke arah yang kita tuju. Dalam hitungan kurang dari detik, kita akan sampai di sana. Kau tak akan mengecewakan aku dengan menolakku bukan? Lelaki itu berpikir panjang mendengar kata-kata itu. Apa salahnya menjadi cahaya, sepertinya itu mengasyikkan, pikir lelaki itu meneruskan.

Diskusi singkat memunculkan kata sepakat. Dalam kecepatan cahaya mereka melesat. Si lelaki tak sempat melihat heningnya galaksi malam, bintang-bintang yang bertaburan acak yang dilewatinya pun tak ditemuinya, semuanya berlangsung sangat seketika.

“Sekarang kita sudah sampai, kita bisa melakukan apa saja di sini. Jangan khawatir, tak ada orang lain selain kita di sini. Di sini hanya ada nenek, itu pun sudah sakit-sakitan. Sakitnya bermula saat kucing kesayangannya mati terlindas roda kereta miliknya. Dan sejak saat itu ia jarang bermain-main diatas pendaran cahayaku. Sewaktu kecil kau mungkin sering melihat ada seorang nenek bermain-main dengan kucingnya bukan? Itulah nenekku. Kau aku ajak ke sini, karena aku tahu keadaan nenek tidak akan lama lagi, dan aku tak mau sendiri. Aku butuh seseorang yang bisa membuat pendaran cahayaku semakin terang, dan seseorang itu adalah kau, karena kau adalah lelaki yang tak pernah tidur di malam hari. Aku sudah lama memperhatikanmu.”

Tiba-tiba saja bulan mulai membelai rambut lelaki itu, belaiannya semakin kuat. Lelaki itu tampak gugup melihat tingkah bulan yang tak menentu.

“Kau tak akan membuat aku redup kan?” katanya.

“Tapi, aku masih punya seorang istri.”

“Bukankah istrimu ada di bumi sana, ia tak akan tahu kau ada di sini bersamaku.”

“Tidak! Aku tak bisa melakukan ini.”

“Istrimu ada di bulatan sana,” tunjuknya sambil menunjuk ke arah bumi.

“Sekarang, biarkan aku pulang,” kata lelaki itu tiba-tiba. Ia tak mau mengkhianati istri dengan bercinta dengan bulan.
“Silahkan kalau kau bisa.” Ucap bulan dengan nada kesal.

Lelaki itu tampak kebingungan.

“Kau tak akan bisa pulang dengan kecepatan yang aku miliki,” katanya mengan-cam. Bulan itu agak meredup saat lelaki itu tak menerima ajakannya dan itu adalah hal yang tak dinyana oleh bulan sebelumnya. Pikirnya untuk bisa melakukan apa saja dengan lelaki itu, berbicara bebas dan bercinta sepuasnya sampai pagi kandas sudah.

Lelaki itu tampak bingung. Ia hanya menatap bulatan kecil yang ada di jauh sana. Dalam diam ia berpikir, bagaimana ia harus pergi dari tempat ini dan menemui istrinya yang mungkin masih dalam tidur. Ingin sekali rasanya gravitasi bulan tak lagi menariknya untuk tetap tinggal dan ia akan melesat meski tanpa kecepatan, karena ia bukan cahaya.

Melayang ke angkasa, melewati kegelapan malam dan sampai ke rumah. Tapi itu masih sekedar angan. Ia belum bisa melakukan itu. Gaya tarik bulan masih begitu kuat menahan massa lelaki itu.

Dalam keadaan bingung tiba-tiba ia mendengar suara deheman seorang perempuan tua. Lelaki itu mencari arah suara itu. Tak lama ia mendapati arah suara. Ternyata seorang nenek tua. Lelaki itu berpikir, apakah perempuan tua yang ia hadapi adalah seperti apa yang ada dalam dongeng? Kereta yang ada di sebelahnya, tongkat itu dan seekor kucing mati. Apakah yang saya hadapi adalah nenek yang sering bermain-main dengan kucing di bulan seperti yang aku tahu dalam dongeng? tanya lelaki itu pada diri. Ia tersentak saat si nenek itu mengangguk pelan, “Ya ini aku.”

Dengan suara parau ia menjawab

“Saat ini aku sudah tak kuat lagi untuk bermain. Apalagi kucing hitam yang biasa menemani bermain sudah mati terlindas roda kereta ini. Kebiasaan nenek yang turun setiap kali purnama sudah sejak lama nenek tidak lakukan, karena sejak saat itu nenek tak mendapati anak-anak bermain gobak sodor di bawah purnama. Anak-anak bumi kini lebih tertarik dengan televisi dan play station.”

“Tunggu-tunggu,” ucap lelaki itu memotong pembicaraan si nenek. “Berarti nenek bisa mengantar saya pulang ke bumi.”

“Ya, tapi mau ke siapa saya ke bumi?”

“Begini saja, bagaimana kalau nenek ikut saya ke bumi dan tinggal bersama saya dan istri agar nenek tidak sendiri?” Si nenek menggeleng,

“Tempat saya di sini, dan saya tidak akan kemana-mana selain bersama bulan. Pakai saja kereta itu,” si nenek menawarkan.

“Bukankah nenek sedang sakit dan butuh perawatan,” kata lelaki itu.

“Nenek tidak seperti makhluk bumi yang mesti dirawat dengan berselang-selang infus dan menelan butiran-butiran obat. Sudah, kau pulang saja sekarang, kereta itu akan mengantar sampai ke rumahmu.”

“Tapi,” ucap lelaki itu, “Bagaimana aku harus membalas kebaikan nenek.”

“Jangan abaikan pendaran cahaya bulan, karena ketika kau mengabaikannya ia akan terlihat murung bahkan meminta awan untuk menutup wajahnya, cukup sederhana bukan,” kata nenek tua itu.

“Baiklah,” kata lelaki itu.

“Sampaikan maaf saya kepada bulan karena aku sempat menaruh pesona akan pendaran cahayanya.”

“Ah, itu urusan gampang,” kata si nenek itu,

“Memang banyak yang terpesona dengan sebagian sampai keselurahan cahaya yang memendar darinya, sampai-sampai seorang penyair terinspirasi untuk membuat puisi.

Lelaki itu dengan perlahan menaiki kereta yang sudah siap mengantarkannya pulang sedari tadi. Kereta itu mulai perlahan melaju, meninggalkan jejak bulan, nenek dan kucing itu. Slapp!! Seperti memiliki kecepatan cahaya kereta itu melesat cepat.

Dan seketika itu ia sudah berada di luar jendela kamarnya, ia melihat istrinya masih tertidur. Lelaki itu beranjak masuk melewati jendela. Terdengar bunyi berisik, istri lelaki itu terbangun, dan mendapati ada sepasang tangan di bibir jendela yang hendak menggapai-gapai sesuatu.

“Subhanallah Mas!” teriak perempuan itu terperanjat kaget mendapati lelakinya berada di luar jendela dan mencoba masuk melewati celahnya.

“Cangkir kopi terjatuh, saya mencoba mengambilnya melalui jendela,” ucap lelaki itu pura-pura.

Tidak ada komentar: