Senin, 25 Agustus 2008

SENJA DI ATAS KERETA

Cerpen : Ali Irfan

Seorang lelaki duduk di sisi rel kereta. Sesekali ia mengambil batu-batu kerikil untuk kemudian dilemparkannya. Menatap ia ke kekosongan. Tatapannya tak menentu. Sesekali menatap ke arah depan, kanan dan kiri. Cukup lama ia menatap satu tatapan, bisa sampai setengah jam.

Di sebelahnya ada sebotol mineral. Baru saja ia mengambilnya di jalanan dekat tong sampah. Masih terisi sekitar seperempat botol sedang itu. Ada juga sebungkus nasi di dekat lelaki itu. Bungkus nasi itu sudah tak rapi, tampak kusut kertas warna coklat itu. Pun sama, sebungkus nasi itu baru saja ia ambil dekat tong sampah dekat warteg.

Sudah cukup lama aku memperhatikan lelaki itu. Sembari duduk menunggu datangnya kawanan gerbong yang dipandu lokomotif oranye, yang akan membawaku pulang ke Surabaya.

Seperti biasa, kereta kali ini terlambat tiba di Stasiun Kejaksan. Lelah aku menunggu, hingga pantat terasa panas. Sudah dua jam lebih aku menunggu. Ahh! keterlaluan, desahku.

Tak hanya aku yang tampak kepayahan menunggu. Ibu yang menggendong anak dengan barang bawaan sebanyak dua kardus pun sama. Sesekali anaknya menangis. Anak itu baru terdiam, saat ibu memberi asi yang tersimpan dalam buah dada yang sudah tak montok lagi.

Bapak-bapak di samping, juga tampak kesal. Sudah berbatang-batang rokok ia habiskan. Bisa jadi, dalam paru-parunya kini mengepul penuh asap. Masih di keresahan, ia membuka kembali bungkus rokok kretek. Isinya tinggal sebatang. Buntalan tembakau yang masih mengepul tinggal seperempat batang, dipitesnya hingga yang ada hanya lekukan asap yang hampir menemui mati. Bungkus itu diremas-remasnya. Lalu ia lemparkan ke tong sampah dekat tempat ia duduk. Sayang, lemparannya meleset. Tapi, pria yang mengenakan jaket kulit itu masa bodoh.

Bulatan angka yang terpajang di dinding, tepat di atas pintu masuk stasiun menunjuk pukul 17.05 WIB. Itu berarti setengah jam lagi menjadi genap tiga jam. Padahal sudah ada beberapa kereta dari Jakarta menuju Surabaya. Tapi, kereta-kereta itu bukan keretaku. Dua kereta yang telah lewat adalah kelas eksekutif. Satu kereta lagi kelas bisnis. Sementara tiket keretaku, hanya selembar kecil berwarna merah keunguan. Ukurannya tak lebih besar dari kartu kredit. Tepatnya dibagi empat.

Derit roda-roda kereta cukup membuat telinga rasanya ingin ditutup saja. Hentakkannya menimbulkan suara keras. Perputaran roda-roda besi itu layaknya mesin jahit yang sedang dioperasikan. Tapi itu hanya sekilas. Tak lebih dari lima menit, kereta besar itu melanjutkan kembali perjalannnya menyusuri lekungan-lekungan rel kereta yang bertabur kerikil-kerikil tajam. Juga melewati lorong-lorong gelap yang akan ditemui di setiap jarak tertentu. Gandengan gerbong-gerbong itu, hilang dalam pandangan mata.

Sementara aku masih berada di stasiun. Menunggu Gaya Baru Malam membawaku ke Surabaya. Menemui ayah ibu yang sudah lama tidak aku temui. Pekerjaanku sebagai wartawan menuntut aku kerja lebih. Tak punya banyak waktu luang. Entah kenapa tiba-tiba aku ingin ke Surabaya. Beruntung, pekan ini libur tiga hari. Ada dua hari libur berturut-turut sebelum libur pekanan. So, Surabaya tak lama lagi aku pulang.
***
Sudah empat tahun aku tak pulang. Setahun lalu, saat masih di bangku kuliah, di sela aku menggarap tugas akhir, aku diterima kerja sebagai wartawan di sebuah media bisnis. Bertolak belakang memang dengan kuliahku, yang memang dipersiapkan untuk menjadi guru. Tapi, saya merasa cocok sebagai wartawan. Saya bangga menjadi wartawan. Kegiatanku di majalah kampus lah yang mengantarkanku hingga aku menjadi wartawan.
Surabaya adalah masa kecilku. Tepatnya di Bungurasih, dekat terminal. Di sana aku menghabiskan masa kecilku. Sesekali bermain di pelabuhan Tanjung Perak. Berenang di tepian tempat kapal-kapal besar berlabuh. Dengan bertelanjang dada, bersama teman-temanku, Iswara, Jabrik, dan Ramon, aku terjun diatas ketinggian mencari koin-koin yang dilemparkan para penumpang kapal.

Empat tahun lalu, diatas dermaga kapal pesiar, aku menyatakan cinta pertamaku pada Nastiti Prameswari, anak kepala sekolah tempat belajar aku dulu sewaktu SMA. Pak Sudibyo, ayah Nastiti, sampai-sampai memberi syarat. Untuk menjadi suami Nastiti, haruslah ia menjadi seorang guru. Bagiku, itu tak masalah. Apalagi, aku sudah diterima di sebuah kampus, satu-satunya di Cirebon. Aku juga tak habis pikir, kenapa aku bisa sampai Cirebon, padahal, kampus-kampus di Surabaya tak kalah banyak, tak kalah besar.
Kepergianku ke Cirebon saat itu diiringi deraian air mata Nastiti. Jemarinya erat menyentuh jemariku. Air matanya tak henti-hentinya mengalir. Aku usap dengan sentuhan jari tanganku lembut. Seketika itu Nastiti jatuh dalam pelukan seraya berucap, “Aku takut kehilanganmu.” Tiba-tiba saja, butiran air mata jatuh begitu saja tanpa permisi. Buru-buru aku mengusapnya. “Oh, Nastiti,” sebutku dalam hati.

***
Lelaki yang tadi aku perhatikan saat ia duduk di sisi rel kereta, tiba-tiba saja mendekat kearahku. Nasi bungkus dan botol air mineral ada dalam genggamanya. Aku hanya menatap dengan penuh keheranan. Takut membuat ia tersinggung, aku sunggingkan senyum. Kepadaku ia berkata,

“Tak lama lagi, keretamu akan tiba. Kau tunda saja perjalananmu lain kali.” Mendengar kata-kata itu, aku seakan menjadi aneh. Ada apa dengan lak-laki ini. Kenapa ia memintaku menunda perjalanan yang memang sudah kutunggu-tunggu.

“Maksud bapak?,” tanyaku penasaran.

“Kau tunda saja perjalananmu kali ini, lain kali,” hanya jawaban itu yang terujar.
Aku tak mengerti dibuatnya. Aku anggap saja angin lalu. Siapa lelaki itu berhak melarang aku pergi dengan kereta. Tidak lama, lelaki itu berlalu. Aku pun membiarkannya. Tatapanku tertuju kearah lain. Saat ku coba tatap lagi langkah laki-laki itu, ia sudah tak ada. Ku lirik kanan dan kiri jalan, tidak aku temukan.

“Tttttttttttttt!” terdengar bunyi kereta. Benar, tak lama kereta yang sudah lama akhirnya datang juga. Derit roda-roda besi berteriak menampar memekikkan.telinga. Sungguh, rasanya ingin kututup saja kedua daun kupingku. “Akhirnya,” kataku senang.
Tepat gerbong kelima, kereta berhenti. Sepintas aku dilanda keraguan, saat hendak menginjakkan pintu gerbong kereta. Keraguan itu datang, karena perkataan laki-laki yang tak aku kenal beberapa waktu lalu. Buru-buru kutepis semua perasaan tak enak itu. Kuyakinkan diri untuk berangkat saat itu juga ke Surabaya.

Bergegas aku, memasuki gerbong kereta. Berdesakkan. Sementara dalam gerbong, sepintas aku lihat tadi juga sama dijejali penumpang. Dengan susah payah, akhirnya aku dapat menjangkau kereta. Dan masuk dalam barisan gerbong nomor lima. Perlahan-lahan keretaku mulai bergerak. Semakin cepat, cepat dan cepat keretaku melaju.

Orang-orang berdesakkan. Penumpang yang berdiri tak kalah banyak dengan yang duduk. Entah di kursi ataupun duduk diatas lembaran koran yang ngelemprak dibawah. Kutatap ke depan. Sepertinya tak ada peluang ada kursi kosong. Lantas, aku berjalan menuju gerbong-gerbong lain di belakang.

Kereta melaju cepat. Sekilas kulihat keluar hamparan padi menghijau, tiang-tiang listrik tampak saling bersambungan. Aku melihat kendaraan-kendaraan lain tampak sabar berhenti di balik palang pintu kereta api menunggu keretaku lewat. Awan yang kulihat kini sedang menuju senja.

Aku heran, di gerbong yang berjejal penumpang ini tak ada satu pun kegaduhan. Tak seperti biasanya saat aku naik kereta beberapa tahun lalu. Semuanya terasa sunyi. Yang ada hanya teriakan roda-roda besi. Tak ada obrolan, apalagi candaan. Tangisan anak-anak kecil. Para pedagang asongan pun hanya berdiri mematung tak menjajakan dagangannya. Padahal, hari baru memasuki senja. Apa mungkin semua-mua orang tertidur. Perasaan tak enak coba kutepis.

Langkah aku lanjutkan, aku seakan melewati mayat-mayat yang didudukkan. Di tengah penuhnya kereta, tak aku temukan orang bercakap. Yang ada hanya kesunyatan. Sementara hari beranjak gelap. Senja sudah lewat.

Mataku tertuju pada seorang lelaki yang membuat aku tak mau mengalihkan pandangan walau sejenak. Lelaki itu mengenakan jubah hitam yang serba tertutup. Aku terpana. Lama sudah aku perhatikan. Berkali-kali ia menepuk pundak para penumpang kereta. Dan ini yang buat aku terkejut tak percaya, sesaat setelah menepuk pundak, dari mulut orang itu keluar bulatan cahaya yang bersinar kehijauan.
Aku bergegas menuju kearahnya. Memastikan apa yang sedang ia lakukan dengan menepuk pundak. Di tengah usahaku mencapainya, ia masih asyik sibuk mengambil bulatan-bulatan cahaya yang keluar dari mulut para penumpang kereta.

Bola-cola cahaya itu ia masukkan ke dalam kantong jubah yang ia kenakan. Aneh terasa, sesaat setelah bola cahaya itu keluar, beragam mimik wajah orang-orang itu. Ada yang tampak tersenyum, ada pula yang tampak muram. Hanya satu yang sama: mereka semua diam. Terkejut saat aku mendapati wajah lelaki berjubah itu. Sepertinya aku kenal. Saat aku sapa, ia masih tampak asyik mengambili bola-cola cahaya.

“Maaf,” kataku pelan.

Lelaki itu berhenti sejenak melakukan aktifitasnya memungut bola-bola cahaya. Perlahan ia memutar tubuhnya kearahku. Nyata!. laki-laki itu tidak lain adalah orang yang aku temui di Stasiun.

“Kenapa kau bisa sampai ke sini, kenapa tidak kau tunda perjalananmu kali ini, lain kali,” kata laki-laki berjubah itu.
“Apa maksud perkataanmu.”
“Sudah jangan banyak tanya, sebaiknya kau keluar dari kereta ini secepat mungkin,”
“Sebenarnya kau sedang melakukan apa di sini,” kataku.
“Aku sedang membantu meringankan lepasnya raga dari jiwa yang begitu pedih bagi mereka-mereka. Suatu saat nanti aku juga pasti menemuimu. Sebentar lagi kereta ini akan hancur,” katanya.

Seketika itu keringat mengucur deras.! Yang aku lihat dalam anganku sekarang adalah tergeletaknya mayat-mayat yang berserakan diantara himpitan-himpitan gerbong seperti berita kecelakaan kereta api di media massa yang pernah aku baca.

“Ayo, Cepat! Tunggu apalagi. Kereta ini sebentar lagi akan hancur!”
Aku diam tak bisa bergerak sedikitpun. Semua persendianku terasa luruh.
“Dasar keras kepala! Ayo!!”

Seketika ia menyeretku menuju ke tepi pintu gerbong kereta. Semua terasa cepat, tubuhku terlempar ke dalam kotakkan sawah yang berlumpur pekat. Tubuhku pun terbalut lumpur. Aku sempat berguling-guling ke dalam kubangan lumpur. Tak lama kemudian terdengar sebuah benturan sangat keras. Aku melihat gerbong-gerbong kereta bertumpukkan ringsek tak berbentuk. Dari arah berlawanan, kereta serupa melaju dengan kecepatan yang sama.

Seketika itu senja berubah menjadi gulita. Bola-bola cahaya terburai beterbangan mengisi kegelapan. Ada yang berubah menjadi kupu-kupu yang tetap dengan cahaya hijaunya. Ada pula yang berubah menjadi lintah menjijikkan yang redup tak bercahaya.[]

Tidak ada komentar: