Kamis, 04 September 2008

DEADLINE



Pukul 00.15, saat pagi baru mulai beberapa langkah. Sebuah email masuk. Sudah cukup lama saya menanti balasan hasil editan dari Pemred dengan harap-harap cemas. Isinya cukup menyentakkan...

“PERHATIAN! PERHATIAN! PERHATIAN!
Harap hati-hati, ini pelajaran berharga bagi kita semua tentang tulisan yang bisa berakibat fatal. Cover halaman satu, iklan seharusnya ditulis ......’Tahun yang baru, bukan Tuhan yang baru! Kalo tuhan yang baru, nanti ada kitab baru, nabi baru dst. Untung ketahuan, kalau tidak, kita tamat!”

Pesan itu datang saat pagi baru beranjak beberapa menit saat deadline. Saat mata masih menatap layar komputer, memelototi penggunaan tanda baca, pemenggelan kata demi kata, kalimat demi kalimat, mencari kemungkinan ada kesalahan dari setiap naskah yang akan dicetak.

Deadline, bagi saya sudah jadi harga mati. Tak bisa ditawar. Tidak bisa tidak surat kabar harus siap dibawa ke percetakan. Saya mengartikan deadline sebagai garis kematian. Kata itu saya urai bebas hingga menjadi dua kata yang memiliki arti beda.

Dead yang berarti mati, kematian, dan line yang saya artikan sebagai batas, bisa juga berarti baris, mungkin juga garis. Ya, garis atau batas kematian. Media akan mati, ketika sudah ingkar deadline. Batas yang tak bisa ditawar-tawar. Sudah.

Pesan itu benar-benar membuat saya shock. Membuatku tak mampu berucap apa-apa. Sama halnya dengan Richard, Ade dan juga Ramdhan. Saya tak berani membayangkan, kalau pesan itu terujar langsung dari lisan Pemred, tidak melalui sebuah email. “Pemred pasti marah besar,” pikirku. Pesan yang tertulis dalam huruf kapital dan penuh tanda seru, setidaknya menunjukkan, betapa Pemred benar-benar marah.

Saya ingat, suatu ketika Pemred pernah berujar, betapapun lelahnya kita, detail jangan sampai terlupakan. Salah satu huruf saja akibatnya bisa fatal. Jangankan sehuruf, kesalahan menulis pada tanda titik koma saja akan menjadi masalah besar. Apalagi kesalahan logika? Betapa pun kredibilitasnya sebuah media, kerja keras akan menjadi sia-sia ketika terjadi kesalahan dan kita akan dianggap bodoh. Detail, ingat! Lagi-lagi detail. Detail bukanlah perkara sembarangan.

Tahun berubah menjadi Tuhan!

Benar-benar fatal dan tidak bisa dimaafkan. Kalau saja itu benar-benar terjadi, maka habislah. Kalimat itu tertera pada redaksi iklan ucapan selamat natal dan tahun baru dari mega proyek yang akan membuat kota ini menjadi lebih berwarna, bangunan sembilan tingkat lengkap dengan segala fasilitas. Mengalahkan Mal terbesar kota untuk saat ini. Tahun depan mega proyek itu dipastikan jadi.

Ade, disainer iklan, juga terlihat lemas, tak mampu berkata apa-apa. Saya lihat matanya sudah terlihat lelah, sudah dua hari ini mematut diri di depan layar monitor, mencermati satu demi satu bagian, mencermati kemungkinan ada kesalahan untuk segera ia koreksi. Detail bukanlah perkara main-main. Saya, yang masih shock, seringkali menyalahkan diri. Saya kecolongan!

Ingatan mengembara kemana-mana, sempat juga membayangkan kalau peristiwa itu benar-benar lolos dan terjadi. Dan, kalau memang itu benar-benar terjadi, mungkin ceritanya akan lain, bisa jadi seperti kisah berikut ini.
***

Tak ada tanda-tanda langit bakal mendung. Semuanya berjalan lancar tanpa ada kendala. Sebanyak 200 ribu ekslempar telah tercetak rapi, secepat kilat langsung menyebar di seantero kota ini.

Entah kenapa, hari itu terasa agak berbeda. Ada perasaan lain yang mengganjal. Tapi apa? Belum terjawab. Berkali-kali saya menghubungi nomor kantor, namun selalu sibuk. Akhirnya saya putuskan untuk berangkat ke kantor sehari setelah koran terbit. Sesampainya di kantor, saya melihat semua orang di kantor tampak pucat. Hening. Tidak seperti biasanya. Saya berjalan penuh dengan tanya menuju mejaku. Di meja, sudah tergeletak surat kabar yang masih hangat. Edisi terbaru.

“Pak?” kata Ilalang, Sekretaris Redaksi tiba-tiba dengan suara parau.

“Ada kesalahan fatal di halaman pertama pada redaksi iklan selamat natal dan tahun baru. Kesalahan terletak pada tahun yang tertulis menjadi tuhan” jelasnya lebih lanjut.

Mata saya membelalak terkejut. Aliran darah dan nafas seakan berenti seketika.

Buru-buru saya mengecek kebenaran yang disampaikan Ilalang. Saya segera menyambar surat kabar yang tergelatak untuk kubaca detail, saya berharap apa yang disampaikan Ilalang adalah sebuah kesalahan.

Lemas sudah persendianku. Apa yang disampaikannya nyata-nyata benar. Kesalahan itu realita yang terjadi sebenarnya. Kesalahan itu benar adanya. Kepanikkan itu semakin menjadi, selang beberapa jam surat kabar itu disebar, telepon tak berhenti berdering memprotes, kita dianggap sebagai media yang menghina keberadaan tuhan dengan melahirkan tuhan baru.

Keesokkannya semua media massa menurunkan headline kemunculan Tuhan baru yang tidak lain diarahkan kepada surat kabar tempat saya bekerja. Sudah bisa ditebak sebelumnya, akan ada ribuan massa dari berbagai institusi agama akan turun ke jalan. Sinyal-sinyal itu sudah terdeteksi sejak mula. Tanda kantor redaksi bakal digerebeg ribuan massa. Apa yang terjadi sungguh di luar dugaan.
Udara pengap mulai terasa di dalam kantor.

Kesalahan fatal, pada redaksi iklan halaman depan benar-benar telah menyulut amukkan massa, terutama golongan yang fanatik terhadap agama. Indonesia memang negera demokratis, tapi untuk urusan agama, jika ada yang menyinggung perasaan salah satu agama, bisa-bisa panjang urusannya.

Setelah negeri ini ramai dengan kemunculan nabi baru, kini tanpa ada satu pun yang menginginkan, telah muncul Tuhan baru, dan tidak menutup kemungkinan akan muncul kitab suci, ajaran atau bahkan rumah ibadah baru.

Sebuah kekhilafan yang tak sengaja. Tapi apa mau dikata, suasana sudah panas. Massa merangsek masuk ke ruang redaksi. Mereka siap mengobrak-abrik kantor, teriakan untuk meminta Pemred keluar nyaris tak henti-hentinya. Keadaan malah semakin berguncang. Meminta maaf sudah bukan waktu yang tepat.

"Gantung!"

"Bakar!"

"Cincang!"

"Rajam yang telah melecehkan keberadaan Tuhan!"

Begitulah kira-kira hujatan yang terlontar tiada henti-hentinya.

Tiba-tiba saja, muncul sekelompok orang yang meneriakkan hujatan itu mendekat ke arahku. Mereka membawa sebilah tongkat. Tongkat yang telah menghancurkan jendela-jendela pintu, juga membuat lebur monitor. Tangan-tanganya siap mengacungkan lempang kayu untuk disabetkan ke arahku. Sementara saya terjebak. Tak saya temukan pintu keluar. Terpojok. Mereka sudah persis di depanku. Tak banyak yang saya lakukan selain melindungi diri dengan kedua tangan yang kulekatkan di atas kepalaku. Dan....Ahh!!!
***
Richard menyadarkanku dari lamunan. Cukup mengagetkan, lantaran ia menabok pundakku dengan keras. “Ayo cepetan ganti, bapak sudah menunggu,” katanya. Gelagapan saya mencoba mengembalikan alam bawah sadarku yang terbang entah ke mana, untuk saya tarik kembali ke dalam alam bawah sadar. Lamunan membuatku larut. Sampai-sampai saya lupa, bahwa redaksi yang menuliskan Tuhan mesti diganti Tahun. Awal yang tertulis Tuhan Baru menjadi Tahun Baru.

Segera saya meralat. Usai menuliskan, saya tetap melototi satu persatu meski mata sudah basah lantaran terlalu lama menatap monitor. Awas jangan sampai ada yang salah. Gelombang warna yang terpancar dari layar monitor memaksa mata berkedip berkali-kali. Halaman demi halaman kupelototi satu persatu tiap kata yang terangkai. Hingga sampai pada satu judul naskah yang persis menggambarkan kondisi saya saat sekarang ini. “Saya Shock!” begitu judul artikel yang sedang saya perhatikan.

Sebuah artikel yang menuliskan perjalanan hidup seorang bos keretek yang penuh drama. Dalam artikel yang saya tulis, dikisahkan, ia mengalami satu fase menuju kema-tian untuk menemui tuhan, namun ia masih bisa dipinjami nafas.

Pernah ia dalam kondisi koma, tak sadarkan diri selama beberapa bulan. Di rawat, di sebuah ruang khusus. Kebanyakan orang-orang yang koma sudah lanjut. Ia sendiri paling muda. Selama itu pula, dalam alam bawah sadar, ia menemui satu persatu anggota keluarganya. Mulai dari isteri, anak-anak, sampai kerabat dan teman dekat seakan mau pamit dari dunia ini. Untuk pergi menemui mati.

Ia pasrah. Sampai-sampai dalam artikel itu ia bilang, “Saya pasrah, Kalau pun pinjaman nafas saya sampai detik ini, silahkan ambil,” katanya. Akhir cerita itu, ia selamat setelah melewati operasi yang telah tiga kali gagal, karena ketidaksiapan mental. Setelah sembuh ia berkata, “Mungkin Tuhan masih memberi kesempatan buat orang bejat seperti saya untuk segera bertaubat.”

Saya ingat, saat usai wawancara dengan bos rokok asal Malang di suatu hari di awal senja sampai senja itu tenggelam. Saya melihat ia mengambil seratus ratus ribuan sebanyak lima lembar dari dompetnya, lalu dimasukkannya ke dalam amplop putih.
“Sebagai tanda terima kasih,” katanya.

Saya sempat diam beberapa jenak. Jantung berdegup kencang.

“Maaf Pak, saya tidak bisa menerima ini,” kata saya sesantun mungkin.

“Setiap wartawan yang wawancara juga saya kasih kok. Hitung-hitung uang bensin,” ia mendesak. Pikirku, saya harus segera pergi dari tempat ini, kalau tidak saya bisa tamat gara-gara menerima amplop itu. Berkali-kali ia mendesak untuk aku menerima amplop berisikan setengah juta!

“Terimakasih banyak pak, atas perhatiannya. Bukannya saya tak mau menghormati pemberian dari bapak. Bapak sudah meluangkan waktu interview saya sudah beruntung. Komitmen kami, tidak menerima pemberian dalam bentuk apapun dari nara sumber.”

Mendengar penjelasan itu, ia agak terkejut sekaligus tercengang.Di tengah ketercengangannya, saya segera pamit, karena tugas liputan saya sudah usai.
Saya mengendarai sepeda motor, terlihat jelas jarum penunjuk bensin dalam speedometer itu mengarah pada huruf E.

Sesampainya di kantor, perut terasa lapar. Beruntung, ibu warung di depan masih buka. Saya menunaikan hajat untuk mengisi kekosongan perut. Sepiring nasi setakaran membukit, dengan lauk ikan kembung dilengkapi sayur daun singkong dan sambal. Rasanya tak terkatakan. Usai makan, saya membuka dompet, dan ternyata kosong, tak ada sepeser pun! “Bu, catat di rekening saya saja ya bu. Bayarnya minggu depan.”

Tidak ada komentar: