Pelangi itu punya ragam warna memikat. Seperti warna-warna itulah, apa yang tersuguhkan saya harap bisa mewarnai seperti pelangi. Saya hanya mencoba menangkap makna disebalik kata. Mencari, mengurai dan merangkai fakta yang digabung dengan imajinasi hingga menjadi sebuah kisah, seperti dalam cerita pendek. Sebagian besar cerita ini terinspirasi dari kisah nyata, kisah saya sendiri. Selamat membaca!
Minggu, 07 September 2008
QASIDAH GURUN
Perempuan itu pucat pasi. Di wajahnya keringat menetes. Ia tampak lelah, juga panik. Berjalan membawa beban diseret sendirian. Perlahan, ia menyeret sesuatu yang tampak berat. Beban itu seukuran perempuan itu. Terbungkus karung goni yang ujungnya diikat dengan ikatan simpul mati. Sesekali matanya mengintai ke arah kanan kiri jalan yang ia lewati. Sekedar memastikan apakah ada orang yang melihat atau mengawasi.
Telapak tangannya mengeras. Terus menerus memegang tali pengikat beban yang tak mampu ia bawa dengan langkah cepat. Ia menyempatkan istirah sejenak. Sekedar melemaskan otot-otot yang tegang. Mengembalikan jiwa-jiwa yang terasa kaku. Juga menghindar dari mentari yang begitu menyengat. Sungguh sengatan yang berbeda yang ia rasakan. Berharap mendapat seteguk air yang bisa mengaliri kerontangnya tenggorokan, namun tak ia dapatkan. Ia hanya berkali-kali menelan ludah sekedar membasahi. Tak siapapun ada. Yang ada hanya hamparan pasir halus yang membentang luas hingga batas mata memandang.
Ia tampak lelah. Sampai-sampai di sela istirahnya tertidur. Buntalan goni ia jadikan sebagai bantal tempat kepala berpijak. Lelap benar dalam tidurnya. Padahal ia berada ditengah terik. Lengan kirinya menelangkup kedua mata untuk menghindari sengatan matahari, juga terpaan debu yang beterbangan. Sunyi.
Terpaan angin membuat perempuan itu terbangun. ”Ah, aku tertidur rupanya,” katanya. Sementara tinggi matahari masih sepenggalah. Ia beranjak dari masa istirah. Membersihkan debu-debu yang menempel di kulit tubuh, juga yang menempel di baju lusuh yang ia kenakan. Beban itu kembali ia seret, melekatkannya ke pundak, sambil berjalan dengan langkah berat. Peluh yang ia kucurkan segera dibasuh dengan lengannya.
Sesekali perempuan itu meringis, menahan perih sakit. Ia tetap berjalan. Di depan masih luas membentang, pandangan mata, masih jatuh pada hamparan pasir. Entah sampai kapan perjalanan yang ia tempuh akan berakhir.
Tak pernah terpikir oleh perempuan itu untuk meninggalkan saja beban yang ia bawa. Dengan begitu, mungkin tak harus berlelah-lelah. Ia bisa berlari sekuat tenaga dengan lepas tanpa harus terikat beban. Tidak sekali-kali pikiran itu terlintas. Tebersit pun tidak. Tampaknya ia akan selalu menyeret beban yang ia bawa. Entah sampai dimana akhir perjalanan itu.
Sementara hari beranjak gelap. Perempuan itu masih tetap berjalan. Angin gurun tak menyurutkan langkah. Dingin menusuk. Suasana gelap. Angin berhembus. Membuat rambutnya terurai membentuk gelombang. Sunyat benar malam itu. Tak ada secercah cahaya bintang pun yang memberikan cahaya. Sekedar menemani perjalanan mengiringi. Jangankan bertabur bintang, bulan pun tak tampak malam itu.
Lajunya saat menapak mendadak terhenti. Merasakan ada sesuatu yang aneh di kepalanya. Pandangan mata seakan-akan berputar. Seakan jadi poros. Memutar, memutar hingga pandangan kabur. Putaran itu semakin kuat dan “Brakk!!” ia tersungkur, menggeletak di atas gurun seraya memeluk beban yang ia bawa. Tak ada suara. Hanya sedikit gemuruh. Gelap semakin pekat. Sunyat.
Matahari sudah kembali muncul. Tak ada kokokkan ayam atau lolongan anjing pernanda pagi. Matanya berkedip-kedip terkena kilauan cahaya. Ia terbangun dari tidak sadarnya. Mencoba beranjak dari geletak, ia tak mampu. Berkali-kali mencoba bangkit, tetapi tak bisa. Ia kesal. Dipukulnya hamparan pasir dengan genggaman tangan. Tak ada air mata yang menetes. Mata yang tak mampu berkaca-kaca.
Di tengah usaha menggapai bangkit, tiba-tiba di depannya hadir sosok lelaki berjubah. Tak mampu ia melihat wajah itu karena semua tertutup jubah yang ia kenakan.. Segera ia memeluk beban yang ia bawa.
“Assalamu’alaikum...” lelaki berjubah itu memberi salam.
“Wa…wa…wa” perempuan itu gagu. Tak bisa menjawab salam. Diulangnya salam itu hingga tiga kali. Tapi tetap saja, ia tak mampu menjawab.
“Siapa namamu?” Lelaki berjubah itu kembali menyapa.
Gemetar seluruh tubuh perempuan itu. Roman mukanya menyimpan kekhawatiran yang amat dalam. Perempuan itu tak bergeming. Tetap diam dengan tatapan menunduk. Diulangnya pertanyaan itu. Tak lama, bibir perempuan itu mulai bergerak.
“Narsih. Nama saya Narsih, Kinarsih.” Jawabnya dengan nada pelan.
“Mau kemana kau seorang diri dengan bawaanmu itu,” tanya balik lelaki itu.
Pertanyaan itu seakan menohok perempuan itu. Dalam diam ia justru bertanya pada diri,“Hendak kemana saya pergi, saya sudah berjalan begitu jauh namun saya tak punya arah. Kemana tujuan yang ingin saya capai?”
Beberapa jenak merenungi diri.
“Tidak!!” perempuan itu tiba-tiba seperti orang baru sadar dari lamunan.
“Tentu saja kakiku melangkah bukannya tanpa arah. Tapi saya akan membawa jauh-jauh…,” perempuan itu tak melanjutkan bicaranya. Matanya menatap beban yang ia bawa.
“Kenapa kau tak lanjutkan bicaramu. Apa yang kau bawa.” Lelaki itu tampak penasaran.
“Tidak! siapapun tak boleh tahu apa yang aku bawa.” Jawabnya ambil memegang erat bawaannya.
“Aku takkan memaksamu untuk menunjukkan apa yang kau bawa. Ada satu hal yang kau perlu tahu, bahwa tempat ini tak berbatas. Sampai batas yang tak tentu, akan tetap seperti ini. Yang akan kau temui hanya hamparan pasir. Jadi percuma saja kau melakukan perjalanan yang tak kau ketahui arah yang kau tuju. Sebenarnya bagaimana bisa kau ada di tempat ini?”
Perempuan itu diam beberapa jenak merenungi kata-kata lelaki berjubah.
“Kenapa saya ada di sini?” katanya dalam benak. Lalu menerawang jauh ke belakang, mencoba mengingat-ingat bagaimana ia bisa berada di tempat ini.
Suasana begitu tenang. Hanya sedikit gemuruh angin. Juga kicauan burung manyar. Pikirannya, sekali lagi, menerabas jauh hingga sampai pada suatu titik dimana ia berada pada ketidakpercayaan.
Ia merabai diri, memegang kedua pipi, tangan kaki dan semua tubuh yang melekat dalam diri perempuan itu. Terasa ada yang aneh saat Kinarsih merabai pergelangan tangan. Ia tak mendapati denyut nadi pergelangan. Ia terkejut saat tangan kanan menekan denyut nadi, urat-urat yang ada dilengannya terburai keluar. Sebagian ada yang putus. Darah yang ada disekitarnya mengering. Perempuan itu dibuat gila tidak percaya melihat urat-urat yang keluar tercerabut laksana akar kehilangan tanah. Yang lebih mencengangakan, sebilah pisau masih menancap di lengan.
“Kau telah membunuh dirimu sendiri,” ucap lelaki berjubah itu.
“Tidak, tidak, ini tidak mungkin terjadi,” ia mencoba membantah.
“Tetapi ini sudah terjadi.”
“Kau salah, ketika kau menghindar dari masalah dengan jalan bunuh diri. Lepasnya raga dari jiwa itu merupakan awal dimulainya kehidupan baru yang tak mungkin dikem-balikan ke keadaan semula.”
Mendengar ujaran lelaki berjubah, tiba-tiba saja air mata perempuan itu mengalir. Matanya kini berkaca-kaca. Seketika itu juga, ia merasakan dahaga yang sangat. Ingin sekali rasanya meneguk tetes air. Kepada lelaki berjubah itu ia mengharap seteguk air. “Aku haus, apa kau punya seteguk air,” kata perempuan itu.
“Kau minum saja darah dan air matamu. Di sini, di hamparan pasir ini, tak akan pernah kau temukan oase untuk orang-orang yang memisahkan raga dari jiwa dengan tangan sendiri.”
“Aku hanya seorang manusia lemah, yang tak mampu mengemban amanat hidup”
“Dan kelemahanmu pula tak bisa dijadikan sebagai alasan untuk kau mengakhiri hidup. Apapaun alasan itu, memisahkan raga dari jiwa adalah hal tak patut. Sekalipun untuk tujuan terhormat, layaknya harakiri. Bunuh diri adalah cara pengecut menuju kematian. Sekalipun dilakukan dengan cara berani.”
Perempuan itu terduduk diam dihadapan sesuatu yang terbungkus seukuran dirinya. Penyesalan itu datang. Meratap. Dibukanya tali pengikat karung goni itu, perlahan ia membuka tali itu. Ratapannya semakin menjadi ketika ia melihat dirinya terbungkus dalam karung goni itu. Wajah perempuan itu mendadak pucat seperti jasad sendiri yang ia tatap.
“Aku harap kau orang terakhir yang melakukan tindakan bodoh. Sudah banyak orang-orang sepertimu saya temui. Yang terjadi adalah penyesalan tanpa arti. Mereka pun sama sepertimu yang menyeret jasad sendiri, entah mau dibawa kemana jasad yang sudah membusuk miliknya itu. Mereka, juga sama sepertimu, yang enggan meninggalkan jasad sendiri yang ia bawa. Padahal jasad itu sudah tak berguna. Mereka, termasuk juga kau, tak mampu berbuat apa-apa. Untuk menggali lubang sendiri pun mereka tak mampu. Sayang, aku tak bisa berbuat banyak.”
Kata-kata yang terujar membuat perempuan itu merasa tersudutkan. Ia tak mampu bercakap apa-apa.
“Boleh aku bertanya? Sebenarnya kau siapa,” katanya mengungkapkan pertanyaan yang sudah lama terpendam sejak pertama kali bertemu dengan lelaki berjubah itu.
“Aku malaikat penjaga gurun ini.” Dan setelah itu sunyi. Tak ada kata-kata.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar