Kamis, 26 Juni 2008

Malaikat Seribu Cahaya

Oleh : Ali Irfan

Imajiku menari di panggung penuh kehampaan. Di kesendirian, di atas panggung itu, aku menari mengikuti alunan nada-nada kehidupan. Dinding-dinding, langit-langit, daun pintu dan jendela keheranan menatap aku. Seorang diri yang menari-nari melebur kesunyian layaknya Rumi. Aku begitu larut sampai-sampai berada di ambang ketidaksadaran, sampai di suatu subuh.

Bukan lelah yang aku rasakan, melainkan satu bentuk kepuasan yang tidak dapat diucapkan dengan kata-kata. Padahal, diatas pementasan tunggalku tak ada satu pun yang menilai. Aku masih ingin menari, tetapi pagi keburu menyapa.

***

Saat aku duduk bersila di sepertiga malam, di tengah balutan sarung beralaskan sajadah, suasana begitu sunyi. Sesunyi hati ini. Segala kelelahan luluh, terasa damai. Kedamaian yang tiada tara. Mungkin kau juga pernah merasakakan sepertiku. Butiran-butiran tasbih kusentuhi satu persatu. Seratus kali, bahkan hingga ribuan kali bertasbih menyebut kebesaran-Nya.

Dan, santri-santri masih terlelap dalam tidur di bilik-bilik pesantren yang penuh jelaga bergelantungan. Silir angin menyusup melalui celah-celah kamar membuat jelaga itu bergoyang. Ghoji, tertidur dengan sebuah kitab kuning dipelukannya.

Baru-baru ini aku tahu, di sela-sela tekunnya membaca kitab, ternyata ada bacaan lain yang benar-benar membuat matanya merasa betah berlama-lama berhadapan dengan kitab kuning. Di sela-sela kitab itu, ada selembar surat cinta. Sepertinya dari seorang kekasih. Ia jadikan surat itu sebagai pembatas. Itu kutemukan tak sengaja. Kitab itu terjatuh saat ia masih tertidur, dan lembaran surat itu terlihat menyelip diantara lembaran-lembaran kitab kuning, Khazinatul Asrar.

Baru kali ini ia tertidur cepat. Biasanya tiap malam ia habiskan dengan bercakap-cakap lewat handphone yang ia pinjam dari Rochyat, teman tetangga bilik. Rochyat baru saja diterima sebagai mahasiswa IPB tanpa tes masuk. Entah dengan siapa Ghoji bicara. Yang jelas dengan perempuan. Suara yang diloudspeaker terdengar renyah, dan cukup mengganggu tidurku. Sudah kesekian kalinya aku terbangunkan oleh suara cekikian Ghoji yang entah sedang menertawakan apa. Rayuan-rayuan murahan terdengar jelas di telingaku. Meski aku belum sadar benar dari masa istirahku, percakapannya benar-benar membuat telingaku memekak.

Dalam kelelapan aku menyayangkan semua provider yang mematok harga murah bahkan sampai gratis di masa-masa orang larut dalam masa istirah. Di saat orang-orang menenggelamkan diri dalam hiruk pikuk pagi sampai sore. Dan malam, disitulah ketenangan sebenarnya ada. Bahkan, di waktu malam, malaikat akan turun membawa butir-butir cahaya menyambangi orang-orang yang sedang asyik bercakap-cakap dengan tuhan, bukannya mendekati orang yang yang tengah asyik berkencan lewat suara. Ya, mereka turun, ke orang-orang yang khusyuk bercakap dengan keberadaan sang Khalik. Membaca tanda-tanda malam.

Dan ketika malam telah ditegakkan[1]. Disitulah, Tuhan bersiap-siap mengutus ribuan malaikat turun ke bumi. Beragam makhluk yang terbuat dari cahaya tampak bersinar kegirangan mendapat tugas menemui makhluk bumi, membawa segenggam cahaya untuk bisa dimasukkan ke dalam relung jiwa yang tengah menengadah memanjatkan do’a, melantunkan ayat-ayat suci sekaligus bermuhasabah diri.

Dari langit ke tujuh, para malaikat mulai beterbangan. Sayap-sayap terbentangkan. Bentangan sayap itulah yang akan meluncur, mengudara melewati langit keenam, kelima empat, tiga, dua sampai langit yang persis di atas bumi tempat kita berpijak sekarang ini. Kalau saja, mereka tetap pada wujud aslinya, niscaya semesta ini tak mampu menampung keberadaan mereka. Betapa tidak, sekali membentangkan sayap, lebarnya jarak langit dan bumi tak mampu mendaratkan sayap. Bagaimana dengan ribuan malaikat yang diutus ke bumi! Atas itulah ribuan malaikat itu menjelma menjadi butir-butir cahaya yang beterbangan di tengah samudera semesta menembus kegelapan. Tampak sebagian dari mereka laksana bintang-bintang gemerlapan yang kau tatap dari bumi tempatmu singgah.

Tapi, alangkah terkejutnya tatkala malaikat sampai ke bumi. Di awal sepertiga malam, di sebuah pondok pesantren, terlihat beberapa santri lelap dalam tidur. Sesekali terlihat diantara mereka menggeliat. Para malaikat sempat kecewa, kenapa mereka tak bangun-bangun untuk bisa bercakap-cakap bersama Tuhan? Bukankah ini waktu yang tepat.

Aha, terlihat beberapa santri menggeliat lagi. Ia tersadar. Kedua tangannya mengucek mata. Melihat jam di sebuah ponsel miliknya. “Hampir jam dua,” katanya. Malaikat tersenyum. Terlihat ia beranjak dari karpet tempat ia tidur berbantalkan sajadah dan beberapa buntalan sarung. Langkahnya agak sedikit gontai menuju kamar mandi. Mungkin mau buang air kecil, kemudian mengambil air wudlu. Ia belum sadar benar. Ia agak sedikit cerah, tapi tak begitu cerah. Tapi sayang, ia kembali melanjutkan tidur yang terpotong. Bukannya mengambil kopiah dan sajadah, ia malah menyomot ponsel yang ia pinjam. Kemudian menelepon entah siapa. Tapi yang jelas seorang perempuan. Malaikat yang tadi terlihat tersenyum mengernyitkan dahi. Ia hanya melihat butir cahaya yang ia bawa dari langit dengan tatapan kosong. Tak lama kemudian, ia melesat pergi menjauh membawa segumpal kecewa.

***
Merasa masa istirahku terganggu, aku beranjak dari selembar alas tidur. Kubasuh muka ini dengan cipratan air wudlu. Menoleh ke arah Ghoji, ia acuh. Sepertinya ia benar-benar menikmati perbincangan yang menurutku hanya buang-buang waktu saja, berkencan lewat suara.

Sengaja aku menuju ke surau, mencari ketenangan untuk bisa bercakap-cakap dengan alam. Pukul setengah tiga pagi. Tak terdengar suara meski suara jatuh sehelai daun pun, apalagi suara Ghoji yang tengah asyik menelepon di pagi buta. Katanya, menelepon tengah hingga sepertiga malam murah, bahkan kadang gratis. Modal begadang, cukup buat hati senang.

Inikah malam-malam dimana ribuan rahmat ditembakkan dari langit. Di mana, dimana cahaya itu. Aku ingin sekali melihat bagaimana cahaya itu ditembakkan malaikat di sepertiga malam. Siapakah orang yang beruntung mendapat sapaan cahaya yang dibawa malaikat di sepertiga malam ini.

Di tengah aku menatap gelap, tiba-tiba aku melihat langit hitam itu membelah. Sekilas cahaya merobek gumpalan-gumpalan awan hitam. Cercah bintang-bintang mulai menyurup. Dan sedikit bergeser ketika kilatan cahaya putih menyilet langit. Sunyat. Aku merindukan saat-saat seperti ini.

Sudah seribu kali putaran tasbih ini berputar setelah kutunaikan rakaat tahajjud. Butiran biji-biji tasbih kenyang aku sentuh satu persatu-satu. Sebanyak itu pula bibir ini basah dengan kalimat tasbih.

Brag! Tiba-tiba anganku mengarah pada sesosok rupawan. Di tengah kesunyatan, di tengah surau, saat aku tengah asyik berdzikir, tiba-tiba ada seorang perempuan muda cantik berbalut pakaian tipis menyapaku. “Sentuh aku kang, aku bagian dari pahalamu[2],” katanya dengan suara mendesah seperti suara angin. Mata ini kuat-kuat kupejamkan. Namun terasa pejal. Sepertinya aku memerlukan dua batang lidi yang panjangnya setengah batang korek api untuk membuatku tetap terjaga. Batang korek api seakan berkata, “Tatap dan sentuhlah! Ia bagian dari pahalamu.” Pahala, pahala. Itu bagian dari pahala bagi orang-orang yang telah meluangkan waktu di sepertiga malam untuk bercakap-cakap dengan alam, juga bercakap-cakap dengan Tuhan. Bisikkan, tiba-tiba menyeruak ke telingaku.

“Baiklah kalau kau tak mau sentuh aku. Menarilah saja denganku. Sepintas tadi aku lihat kau tampak gemulai menari sebelum kau hempaskan diri di hamparan sajadah. Ayo, menarilah, sudah lama aku tak menari,” kata perempuan itu.

“Kenapa kau diam saja, aku didatangkan ke sini untuk menemanimu yang sedang sendiri. Di tengah malam ini. Berapa kali harus aku bilang bahwa aku bagian dari pahalamu,” tambahnya lagi. Ya, sudahlah kalau begitu biar aku saja yang menari. Ingat, aku menari untukmu,” katanya lagi.

Keringat dingin menyapaku. Suara desahnya seakan mengharap aku untuk menyentuhnya dan mengajaknya menari. Benarkah, ini bagian dari pahala itu. Aku bimbang. Ah, bagaimana mungkin pahala tersaji gurih dihadapanku. Mata ini kupejamkan rapat-rapat.

Suara jenggeret memecah kesunyian, namun tak menyeretku dalam kekhusyukkan. Di hadapanku, terdengar suara degupan kaki yang menyentak berirama. Suara itu terdengar memutar. Sebuah selendang menyangkut melewati wajahku, bau harum perempuan binal tercium kuat di hidung. Sepertinya tarian itu sudah dimulai. “Ayo, menarilah denganku,” kata itu masih saja terngiang. Haruskah kubuka mata ini lebar-lebar. Ada dua pilihan. Menyeret perempuan itu ke luar surau atau menyetubuhi perempuan itu. Untuk pilihan kedua ini, aku tak mau. Ia belum halal. Lagipula ini tempat suci. Bisakah aku melalui pagi ini.

***
Di tengah pejaman mata aku melihat. Ada seberkas cahaya menyapaku. Dengan kecepatannya seberkas cahaya itu melilit tubuh dan menyeretku membahana ke angkasa. “Hei, kau mau bawa aku kemana?” aku mencoba berontak. Namun tetap saja, aku terseret, aku tak mampu berontak. Aku menurut saja, membiarkan tubuh ini terbawa berkas cahaya. Malaikatkah engkau? Kenapa tak kau tampakkan saja rupamu lalu kau pinjami aku sayap agar aku bisa ikut terbang bersama kemana engkau mau.

Ada pemandangan lain yang aku saksikan di tengah gelapnya malam. Beribu-ribu cahaya melesat cepat menyilet langit. Cahaya apakah itu. Lalu kenapa tiba-tiba menghilang. Aku terhenti di suatu tempat yang tak ada siapapun kecuali aku, seorang diri. Tiba-tiba terdengar suara azan, menggema. Di tempat sesunyi ini. Dari mana arah suara itu. Aku melihat sekeliling, hanya hamparan kosong.

Dan, alangkah terkejut saat mata ini benar-benar terbuka. Sebaris orang tampak sedang melakukan jamaah subuh. Subhanallah, jam berapakah ini? Kulihat jam di salah satu dinding sebuah surau. Setengah lima! Setelah itu mereka mengucap salam, dilanjutkan dengan dzikir. Aku buru-buru keluar surau mengambil air wudlu.[]

[1] Qur’an Surat Al Lail Ayat Pertama
[2] Saya kutip dari sajak Joko Supriyadi “Dosa di Shalatku” yang dimuat di Horison Kakilangit 72/Desember hal 20.

3 komentar:

piratesworld mengatakan...

ka irfan....
dapet inspirasi dari mana c???
>_<

terus berkarya !!!!!!
cAyyyOooo...

Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu (kT2 Arai dari novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata)

piratesgirl..

ALI IRFAN mengatakan...

Cerpen ini lebih terinspirasi karena ka tinggal di "penjara suci"
Sekalian menyinggung para provider yang mematok tarif murah mulai tengah malam.
Bukankah, tengah malam akan lebih baik untuk kita bercakap-cakap dengan Tuhan?

piratesworld mengatakan...

bener banget ka....
vTa setuju bgt...
klo malem nelpon2an teruz...siangnya jadi ngantuk,,truz kpn bwt aktivitas...

gmn negara kita mw maju ya ka2, kalo orang2nya tiap mlm telpon2an truz???

kapan juga bwt ngobrol ma SANG KHALIK??

pokoknya apapun tantangannya...kita hadapi ka...

tetep SMANGAT!!!!!