Kamis, 26 Juni 2008

Menyentuh Keranda


Cerpen : Ali Irfan

Subuh, ia masih sempat menjadi imam, mengisi ceramah pagi di surau pesantren. Selepas shalat ashar, seusai tengokkan salam kedua ia sudah tak bergerak lagi. Tepat pukul 16.15 saat hari menapaki senja, ia sudah tak lagi memiliki nafas.

Terang saja kabar kematiannya cukup mengagetkan. Orang sepertinya benar-benar langka. Komentar-komentar terus berdatangan. Kenapa harus orang seperti ia yang mesti disudahi pinjaman nafas lebih awal? Masih belum ada orang yang pantas menggantikan seperti adanya.

Sepertinya masih banyak orang yang belum berlega hati melepas kepergian lelaki kharismatik itu. Tak ada air mata yang mengiringi kepergian sosoknya. Mungkin masih ingat pada sebuah pesan yang pernah ia lontarkan hingga tak ada air mata saat ada kematian. “Tak perlu menangisi sesuatu yang telah pergi, tapi ketika itu bisa membuatmu sedikit tenang, menangislah,” begitu pesannya.

Kematian yang begitu indah. Terduduk di tahiyat akhir, dengan telunjuk masih melambangkan bahwa segalanya akan bermuara pada yang satu.

Suatu kali semasa hidup ia juga pernah berpesan, “Saya menginginkan kematian yang sederhana.” Dan keinginan itu ia dapatkan. Sebuah kematian sederhana yang tak terduga.

***

Berita kematiannya begitu cepat menyebar. Dalam hitungan menit, rumah yang terletak di samping surau pesantren dipadati pelayat. Shalawat menggema tak putus-putus. Wajahnya begitu damai, tenang seakan tak ada beban. Terlihat ia seakan tersenyum. Pelayat berdesakkan ingin menyentuh jenazah terakhir sebelum dikebumikan. Apa? Menyentuh jenazah! Yah, menurut mereka menyentuh jenazah seorang ulama akan kecipratan berkah. Entah darimana kepercayaan itu timbul. Seolah-olah jenazah itu adalah sesuatu yang sakral.

Sebelum prosesi pemakaman. Kerabat keluarga tampak memandikan jenazah, di sebuah tempat tertutup oleh kitaran kain putih membentang persegi. Tampak orang terdekat memandikan. Di bibir jenazah terukir senyum keabadian, seolah tak ada beban, lepas mengabadi. Keranda di depan sudah siap menanti. Lalu lalang orang berdatangan dan semakin banyak saja.

Sebagian terlihat menyolati sebagai bentuk penghormatan terakhir. Tak putus-putus hingga satu hari satu malam. Kerabat-kerabat berdatangan dari dalam dan luar kota bahkan sampai pelosok. Kebanyakan yang datang dari luar kota mengenakan jubah putih. Kata orang-orang, mereka adalah seorang habib, keturunan rasul Muhammad. Kabar yang begitu cepat.
Sore senja hari hingga beranjak malam, pagi sampai sore lagi para pelayat tidak putus-putusnya. Apa yang membuat kematian itu begitu istimewa. Lalu, dimana kematian yang sederhana. Adakah kematian itu seperti yang diinginkan?

Para ulama, santri-santri, pendeta, pejabat, aktifis partai politik sampai artis datang melayat. Terang saja, menyorot perhatian wartawan. Hingga tak heran, hampir semua koran menurunkan headline tentang kematian yang begitu istimewa ini. Turut juga hadir orang biasa, pemulung sampai tukang sampah. Mereka memunguti sisa-sisa botol air mineral dari sebuah jamuan. Shalawat tak henti-hentinya bergema. Kematian siapakah ini. Pastinya, bukan kematian sembarang orang.

Keranda siap diberangkatkan ke pemakaman. Jarak rumah menuju pemakaman, lu-mayan jauh untuk ditempuh jalan kaki. Lima kilometer! Orang-orang di luar sana sudah dari tadi menyemut.

Sempat terjadi perdebatan, mengenai proses pemberangkatan, apakah menggunakan mobil ataukah diarak jalan kaki. Pilihan mobil jatuh karena alasan keamanan, apalagi melihat begitu banyaknya orang yang berhasrat menyentuh keranda karena alasan keberkahan. Ini tak sepatutnya terjadi karena mengarah pada syirik.

Tetap saja, perdebatan bermuara pada jalan kaki. Jenazah tetap diarak sampai ke pemakaman. Pasalnya, kematian seperti inilah yang diinginkan jenazah semasa hidup. Dan semua menerima alasan itu.

Shalawat masih terus menggema tak putus-putus. Keranda diberangkatkan. Seketika lautan manusia terbentuk. Luasnya melebihi batas pandang. Di kejauhan, yang terlihat hanya butiran-butiran kecil yang bergerak searah. Sebentuk hijau, bertalikan bunga tampak jadi pusat lautan orang.

***

Di pemakaman. Tampak empat orang sedang menggali tanah kubur. Mereka tampak senang, pasalnya tanah-tanah yang mereka gali begitu mudahnya. Jengkal demi jengkal tanah terangkat di ujung cangkul, hingga kedalaman satu setengah meter.

Benar-benar suatu kehormatan tak ternilai, bisa menyiapkan tempat peristirahatan terakhir. Kematian siapa lagi, kalau bukan kematian yang istimewa. Keringat mengucur sedikit, tidak terlihat wajah lelah. “Kenapa ya, orang seperti beliau lebih dulu dipanggil?” kata salah seorang diantara mereka. “Setidaknya ini menandakan bahwa kematian itu sebuah kepastian,” timpal seorangnya lagi.

“Apa kalian tak memerhatikan, tak seperti biasanya tanah-tanah ini begitu lunak untuk kita gali,” kata seorang lagi.

“Iya ya, padahal yang sudah-sudah tanah tidak selunak ini, bukankah ini musim kemarau?”

“Karena orang yang meninggal begitu istimewa,” jawab seorang lagi singkat. Mendengar jawaban itu, seketika mereka diam. Hanya ada desau angin. Daun-daun kamboja kering berguguran. Di tanah, sudah berserakan daun-daun kering itu menumpuk. Tidak lama lagi akan terurai menjadi humus.

Setelah hening beberapa jenak. Terdengar suara gemuruh dari seberang sana. Keempat penggali kubur itu langsung terkesiap, mencari dari arah mana sumber suara gemuruh itu. Samar-samar suara terdengar dari kejauhan. Terlihat oleh mereka, ribuan orang bergerak menuju arah pemakaman, iringan itu melangkah cepat. “Sepertinya penghuni galian kita telah datang,” kata salah seorang dari mereka.

***
Nyata! Sesuatu yang dikhawatirkan terjadi. Laju pengiring jenazah terhambat. Sebagian besar orang tampak mendekati keranda. Padahal di sekeliling keranda, melingkar pagar manusia. Keinginan mereka sederhana, ingin menyentuh keranda. Hanya itu saja.

Kontan teriakan larangan berhamburan. Petugas keamanan tampak menyeret bebe-rapa orang ke tepi. Mereka mengacaukan suasana. Iringan terus saja berjalan. Pemanggu keranda tampak kewalahan. Beberapa orang juga berebut giliran untuk dapat memanggu keranda. Saya, yang ada ditengah kerumunan itu hanya bisa menatap keriuhan yang terjadi di tengah sana. Saking banyaknya orang berebut menyentuh, sampai-sampai orang yang memanggu keranda itu terangkat di tengah keriuhan suasana. Uniknya iringan itu tetap saja jalan. Kondisi itu benar-benar tak terlelakkan.

Mendekati pemakaman, suasana makin gaduh saja. Bahkan makin kacau! Keranda itu hampir saja koyak. Kelambu hijau bertuliskan kalimat tauhid tampak tak rapi, tali-tali bunga yang melingkari keranda juga sudah ada yang putus. Iringan jenazah seketika berhenti, sesuatu yang tak terduga pun terjadi. Gemuruh shalawat, sebagai lagu pengiring jenazah seketika terhenti. Suasana riuh mendadak sunyi. Sunyat di tengah lautan manusia di sore hari.

Semua-mua berdiri mematung, ketika menyaksikan keranda itu bergerak. Kelambu hijau itu terangkat angin. Jenazah di dalam keranda, yang mengenakan kafan putih terbangun dari tidur abadinya. Semua tak mampu berkata-kata. Tercengang!. Bulatan kapas putih yang melekat di kedua mata dan lubang hidungnya seketika ia lepas. Kain kafan, yang membalut hingga ke ujung kepala ia buat sedemikian rupa layaknya pakaian ihram.

Di tengah kerumunan ia beranjak berdiri, seperti hendak memberikan tausiyah di acara tabligh akbar yang dihadiri jutaan massa. Biidznillah! Ia kembali meminjam nafas untuk sekedar memberikan beberapa patah kata terakhir! Seperti sedianya, awal ia mengucap salam, tahmid juga shalawat. Lalu memberikan ceramah perpisahan.

“Bukannya ketenangan yang saya dapat, tapi malah keriuhan. Saya bukanlah orang yang patut kalian kultuskan. Kalian tak akan mendapatkan apa-apa dengan menyentuh kendaraan terakhir saya untuk menemui Tuhan. Saya menginginkan perjalanan kematian yang sederhana.”

Dan inilah masanya, masa kontrak pinjaman nafas juga ruh yang melekat dalam jiwa ini sudah saatnya untuk menghadap untuk dimintai pertanggungjawaban. Semua akan mengalami masa-masa seperti ini.

Di tengah perjalanan ke rumah terakhir saya melihat, kenapa mesti berdesakkan berebut untuk menyentuh keranda. Sudah saya tegaskan, kalian tak akan mendapatkan apa-apa dengan menyentuh keranda. Tadi saya sempat berdiskusi dengan malaikat. Malaikat pun hanya bergedek kepala melihat sebagian dari saudara-saudara berebut menyentuh keranda. Saya meminta ijin, untuk meminjam nafas saya kembali lima menit untuk menghindari hal-hal yang semestinya tak patut dilakukan.

Maaf saudara-saudara, saya tak bisa berlama-lama. Bidadari sudah menanti saya. Assalamu’alaikum.”

Tidak ada komentar: