Senin, 09 Februari 2009

Tentang Cinta, Malaikat, dan Kematian


Cinta, malaikat, dan kematian adalah tiga unsur berbeda tergabung karena sesuatu dan menjadi dalam satu frase: antologi cerita pendek. Ketiganya menyatu lantaran ada sesuatu. Atau dengan lain perkataan, sesuatu menyatukan ketiganya. Sesuatu itu tak lain adalah rasa ingin tahu terhadap hal-hal yang sifatnya abstrak namun ada dan bisa dirasakan seperti halnya cinta, malaikat, dan kematian.

Kalau kita uraikan secara mendetil, sejatinya cinta adalah sesuatu yang abstrak dan bisa dirasakan. Di dalam cinta terkandung energi yang benar-benar menggerakkan manusia untuk hidup. Bahkan lebih hidup! Sebuah keberlangsungan berlangsung karena ada cinta. Ia tak perlu definisi, meski ada seribu makna disebalik kata itu. Satu kata yang kerap membuat hati anak manusia bergetar, tersipu, berani, bertahan, setia, bahkan berselingkuh! Satu kata yang terakhir bisa (atau biasa) terjadi manakala menemukan cinta yang lain lalu enggan melepas yang sudah digenggaman!

Ketika tak ada keberanian mengungkapkan, cinta pun bisa mengarahkan seorang anak manusia menjadi pencuri. Ini terjadi seperti dalam sebuah pengakuan, Akulah Pencuri Itu. Sadar bahwa mencuri perbuatan yang berdampak pada sebuah dosa, seorang anak manusia pun mengakui perbuatannya dengan mengaku dirinya sebagai pencuri. Dalam pengakuannya ia bilang, setidaknya dengan mengakui itu, akan memperingan mizan pertanggungjawaban di hadapan Tuhan nanti. Inilah pentingnya memaknai sebuah kejujuran. Bukankah jarang-jarang ada pencuri mau mengaku?

Manakala tak ada keberanian membalas, kaum hawa pun, cukup membalasnya dengan diam. Sebuah jawaban yang menimbulkan rasa penasaran lelaki meski ada sabda nabi yang mengatakan, diamnya perempuan adalah sikap menerimanya. Sampai-sampai dengan tingkat kepercayadirian yang tinggi, kaum adam harus mengatakan, Sebenarnya Kau Mencintaiku, Hanya Saja Kau Tidak Mengatakannya. Namun ada sebagian bagi kaum hawa yang berprinsip bahwa diam saja tidak cukup. Mungkin terjadi karena ada kekhawatiran cintanya tak berbalas. Maka dengan sekuat tenaga, seorang Rahma Syifa memanfaatkan gelombang elektromagnetik untuk mengekspresikan rasa seperti dalam cerpen Lelaki yang Datang Lewat Mimpi. Kesetiaan pun diuji dalam Lelaki yang Tak Pernah Tidur lantaran menunggu kedatangan bulan yang kerap mengganggu hatinya. Keinginan untuk bercinta dengan bulan pun muncul meski urung lantaran mempertimbangkan kesetiaan seorang istri.

Cinta memang mengajarkan seseorang untuk berkhianat, selain tentunya mengajarkan kesetiaan. Kalau ingin tahu apa itu kesetiaan, belajarlah pada Malaikat! Ia makhluk Tuhan yang tingkat kesetiannya sudah teruji. Dengan anugerah kesempurnaan yang tiada tara, sebenarnya manusia bisa seperti malaikat tanpa harus menjadi malaikat. Bahkan seseorang bisa mendatangkan Malaikat Seribu Cahaya yang langsung diturunkan dari langit. Tetapi keegoan yang melekat pada diri manusia malah membuatnya kadang kebablasan lantaran muncul keinginan memiliki Dua Helai Sayap Jibril.

Tetapi, seberapa jauh manusia berpetualang menyelami hidup, pada akhirnya akan bermuara pada satu, yakni kematian. Ia adalah akhir yang pasti, tetapi kapan waktunya masih menjadi misteri. Kematian tak perlu dicari, karena sejatinya ia akan datang sendiri menghampiri. Yang patut diperhatikan adalah bagaimanakah kita seharusnya mati? Kisah mengenai kematian, mulai dari kematian yang sederhana, kematian yang belum saatnya, sampai bunuh diri telah saya tuangkan dalam Senja Di Atas Kereta, Menyentuh Keranda, Deadline!, Eksekusi, Qasidah Gurun, Suara Adzan di Jantung Muadzin, dan Nek, Sebaiknya Kau Mati Saja.

Ali Irfan. Tegal, 2 Februari 2009. 14.44






2 komentar:

ALI IRFAN mengatakan...

Teman, rencananya naskah ini maudijadikan komentar untuk antologi cerpen. doain terbit ya....

ALI IRFAN mengatakan...

maap bukan komentar tapi pengantar!