Jumat, 06 Februari 2009

Aku, Wimar Witoelar, dan Fira Basuki



Ini pengalaman yang belum aku kisahkan kepada kalian. Kisah lama memang, tapi itu tak apa kan? Saya memercayai, sebuah pengalaman yang dituliskan akan menjadi kisah mengabadi yang sewaktu-waktu bisa dibuka kembali. Saya menyebut hari itu terlalu indah untuk dilewatkan, karena benar-benar memicu aktivitas saya dalam menulis. Begini kisahnya...


haripertama:sembilanseptemberduaribuenam

Saya bertemu dua sosok berbeda. Buku menyatukan mereka. Dekat seperti sahabat, bahkan seperti ayah dan anak! Mereka Wimar Witoelar dan Fira Basuki. Saya mengenal keduanya pada sebuah buku biografi berjudul “Heal Yeah: Wimar Witoelar & Fira Basuki.” Penulis buku itu Fira Basuki. Seorang jurnalis, penulis juga novelis.

Pukul delapan malam saya sudah berada di salah satu stasiun radio di Cirebon. Ikut acara talk show. Niat awal wawancara Wimar Witoelar dan Fira Basuki buat majalah kampus yang saya kelola, majalah FatsOeN. Tetapi entah, ketika keduanya datang, mental tiba-tiba down. Memang saat itu ada banyak orang. Rombongan Wimar datang dengan dua mobil, yakni terdiri dari orang-orang Intermatrix, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang Public Relation milik Wimar.

Saya tak punya banyak kesempatan untuk bercakap-cakap dengan Wimar karena sejak kedatangannya langsung disambut kru radio. Sesekali saya mengambil gambar keduanya. Sedemikian asyik memotret, sampai hampir lupa pada niatan awal untuk wawancara.

Ada yang menarik dari sosok Wimar. Sapaan yang ia gunakan menggunakan inisial. Wimar Witoelar ternyata akrab disapa WW (read: wewe, not double u, double u). Katanya nama itu egaliter, yakni mengedepankan persamaan. Ia tak memandang perbedaan dari mana ia berasal, mulai dari agama, ras dan lainnya yang sekiranya mengindikasikan ada jarak.

Kesederhanaanya begitu melekat. Padahal ia bukan orang biasa lantaran kapasitasnya yang memang tidak diragukan lagi. Meski saat kecil sempat dicemooh sebagai bebek si buruk rupa (ugly duckling), WW ternyata seorang aktivis kampus, the great communicator, pernah didapuk sebagai news caster VOA, dan karir politiknya jadi Juru Bicara Kepresidenan masa pemerintahan Gus Dur.

Firbas juga tak kalah menarik. Gaya penulisannya energik. Ketika kamera menyorot ke arahnya, ia pasang rona senyum pipit. Senyumya khas. Saat duduk di sebuah sofa, tiba-tiba Fira Basuki duduk di kursi persis depan saya. Saya mencoba berusaha bersikap biasa, biar tidak kelihatan canggung, apalagi gugup.

Dalam benak saya berucap, “Ini kesempatan untuk wawancara Fira Basuki!” Saya pun tak melewatkan itu, tanpa menunggu waktu, juga tanpa minta ijin wawancara, saya langsung melontarkan pertanyaan,

“Kenapa Mbak Fira mengambil sastra dalam kepenulisan?” tanya saya tiba-tiba.

“Ceritanya ini wawancara nih?” Jawab Fira seketika dengan senyum khas. Sepertinya ia paham tengah berhadapan dengan wartawan amatiran, he...

Saya membalas dengan senyum mengiyakan. Setelah itu Fira menjawabnya.

“Ya, karena dunia sastra segalanya bisa mungkin. Sesuatu yang tidak mungkin dalam kehidupan nyata ketika dalam dunia sastra itu bisa saja terjadi dan sah-sah saja.”

Ternyata, ia mulai menulis sejak duduk di bangku SD. Saat teman-temannya asyik bermain, ia malah asyik di kamar membuat puisi di buku harian. Tahu Fira suka menulis, ibu tercintanya kasih saran agar Fira ikut lomba penulisan puisi. Namun Fira acuh. Ibu tersayang ternyata punya inisiatif dengan mengisikan formulir pendaftaran. Hasilnya mengejutkan, tak terduga, tak disangka. Fira tampil sebagai juara menulis puisi yang diselenggarakan majalah Bobo. Padahal sama sekali tak merasa ikut lomba.

Saat talkshow mau dimulai, wawancara terpaksa saya hentikan. Saya hanya melontarkan dua pertanyaan. Lagi pula saat itu saya tak tahu harus bertanya apa lagi. I’m speechless!

harikedua:sepuluhseptemberduaribuenam

Saya masih mengikuti keduanya saat acara bedah buku di Gramedia. Saya datang ke acara itu lantaran dapat bocoran dari dari salah seorang kru WW, besok ada door prize berupa buku-buku Wimar yang akan diberikan kepada peserta bedah buku. Entah kenapa, saya yakin akan mendapatkan satu buku Wimar.

Apa yang saya harapkan ternyata terwujud. Saya adalah orang pertama yang melontarkan pertanyaan dalam forum. Ya demi sebuah doorprize! Sudah jadi kesepakatan awal, setiap penanya akan mendapatkan bingkisan.

Saya menghadiri acara itu bersama Siti Khudriyah, seorang kawan yang juga aktif di FatsOeN. Saya komporin dia bertanya biar dapat bingkisan. Terkesan materialistis memang, tapi tak apa kalau demi sebuah buku yang mencerahkan! Ia pun menurut, bahkan melontarkan pertanyaan terbaik. Ia mendapat satu buku Hell Yeah dan satu bingkisan, yang entah apa isinya. Saya dan Dyah senang lantaran dapat apresiasi menarik dari Wimar,

Sebenarnya saya sempat iri karena saya hanya mendapat satu bingkisan, Dyah dapat dua. Ia pertanyaan terbaik, saya biasa-biasa saja. Bahkan Dyah mendapat kehormatan berduet dengan Wimar menyanyikan lagu Hell Yeah! Itulagu favorit Wimar yang hampit diputar di mobilnya setiap kali ia bepergian. Dyah sempat mencoba menyelamatkan diri lantaran tak bisa nyanyi, seperti apa lagunya juga ia tak tahu. Meski sempat diputar juga itu baru pertama kali dengar. Pakai bahasa inggris pula. Tapi akhirnya setelah didesak, ia pun ke depan bersama Wimar. Ya, tidak terlalu memalukan memang, Di depan Dyah cuma pegang microphone! Saya lupa menanyakan bagaimana isi benak Dyah saat tak di depan bersama Wimar. Oh, iya. Bingkisan yang Dyah peroleh ternyata isinya sebuah kaos ekslusif Wimar.

Penasaran belum tahu apa isi bingkisan kecil, saya langsung membuka bingkisan. Saya sobek kado pembungkus dengan tergesa-gesa. Surprise Alhamdulilah! Isi bingkisan itu ternyata sebuah buku berbahasa Inggris. Judulnya No Regrets, A Reflection of Presidential Spokesman.

Setelah dipikir-pikir, ternyata saya dapat buku yang bernilai lebih. Sebab, apa yang didapat oleh kawan saya, pernah saya baca habis dalam waktu kurang dari dua hari. Yah, FatsOeN memiliki buku itu dua hari sebelum kedatangan Wimar di Cirebon. Tentang kaos itu, saya berkomentar dalam benak, book is more important than t-shirt!

Pas usai acara, saat acara book signing, beberapa orang sudah memanjang menanti giliran untuk menanti tanda tangan. Wimar berkomentar ketika saya menyodorkan No Regrets? “Wah, kau dapat dari mana buku langka ini?” Jawab saya, melontarkan pertanyaan pertama saat diskusi buku dimulai. Komentar lain yang tak kalah menarik terujar dari Fira Basuki, “Wow the great book! Buku mahal neh, seratus ribu lho,” kata Fira. Saya hanya tersenyum.

Kelak, pasti saya bikin buku sepertimu Fira...





Tidak ada komentar: