Rabu, 03 Desember 2008

Seperti Menemukan Kata Baru

Asing di daerah orang, wajar. Tapi bagaimana kalau yang terjadi malah sebaliknya? Itulah hal yang nampaknya sepele, yang saya alami dan renungkan. Peristiwa ini terjadi di hari-hari pertama ketika saya back to basic, alias pulang kampung.

Di tanah kelahiran, saya justru merasakan itu. Bisa jadi, karena banyak nilai lama yang saya tinggalkan. Yang paling utama sekali adalah masalah bahasa, yakni bahasa Tegal.

Lama tak terucap di lisan membuat bahasa kelahiran itu terasa asing di telinga. Benar kata para linguist, bahasa itu lanyah karena terbiasa. Ia adalah sebuah kebiasaan. Language is habit!

Mendengar ibu, adik-adikku, tetangga berbicara, subhanallah! saya merasa seperti menemukan kosakata baru. Padahal, sejatinya kata-kata itu telah lama saya kenal. Ia hanya mengendap di memori yang kini perlahan-lahan terbuka kembali. Namun sungguh susah sekali terucapkan di lisan saya untuk saat ini (karena saya yakin, suatu saat saya juga pasti bisa berdialek Tegal. Tunggu saja tanggal mainnya hehehe :)

Pada sebuah artikel media lokal, saya mesti mengernyitkan dahi ketika membaca percakapan antara Dalang Ki Entus Susmono dengan Bupati Tegal Agus Riyanto. Sekali lagi, saya seperti menemukan bahasa baru!

Senenge muter-muter, plipiran, pijar wong jaman transparansi kok ya, kawa kaya kue. Mbok langsung des des des! Pluntrah-pluntrah bae, blakasuta, aja gemremeng ning buri,” kata Ki Enthus.

“Makasih Wa, Sisan sampeyan njambak apa ngompoli, aku tha-maaf lho-nganggep kaya lagi neggendong bayi,”canda bupati. “ Enyong tah batine apa ngomong kaya kiye, bisa-bisa diarani pimen-pimen. Mung ngilangaken kewajiban, sebagai kanca. Di trima apa ora, mangga. Embel-embel blas laka. Apa maning tujuan sing ala,” jawab bupati ringan. Ia menganggap paidonan (ledekan_ mudah-mudahan saya tak salah mengartikan) itu sebagai masukan baginya.

Setelah melalui proses berpikir yang panjang, barulah saya paham maksudnya kemana. Kutipan pertama saya menilai lontaran ditujukan untuk Bupati Tegal Agus Riyanto lantaran tiap kali bicara tidak langsung pada pokok persoalan seperti ketika ia menulis.

(Sebenarnya ia banyak menggunakan teknik bercerita ketika menulis sebelum sampai pada pokok persoalan. Tapi di mata Ki Dalang yang gaya bicaranya tanpa tedeng aling-aling caanya itu buang-buang energi. Sehingga ketika tak bisa memahami lebih dulu karakter yang berbicara, bisa-bisa orang lain keliru menyangka negatif).

Hasil menerjemah bebas saya seperti ini:

“Zaman keterbukaan kok kalau bicara banyak basa-basi. Kenapa tidak langsung saja pada pokok persoalan”

“Terimakasih, Pak. Sekalian saja bapak menjambak dan mengencingi saya. Maaf maaf, saya melakukan semua itu ibarat sedang menggendong bayi,” canda bupati. “ Apa untungnya saya bicara seperti itu. Takut terjadi apa-apa. Hanya menggugurkan kewajiban teman. Diterima atau tidak, silahkan. Nggak ada maksud apa-apa. Apalagi tujuan jahat”

Jujur, saya menerjemahkan bebas pernyataan Ki Dalang lantaran ada beberapa kata yang, maaf sekali, saya tak tahu maknanya seperti plipiran, blakasuta, dan pluntrah-pluntrah! (Ki, tolong bantu saya menerjemahkan, :D)

Kadang saya berpikir, apa yang sebenarnya terjadi pada diri? Satu pertanyaan yang saya sendiri tak tahu jawabnya. Banyak kawan bilang, sebagai asli anak Tegal, yang setiap kali bicara medhok pisan, tak secuilpun melekat ketegalan pada diri. Entah apa sebabnya.

Kalau dipandang dari kacamata sosiolog, apa yang saya alami adalah sebuah kewajaran. Lantaran saya berinteraksi di lingkungan yang memang di dalamnya tidak atau jarang ada orang-orang asli Tegal. Sehingga ini berpengaruh pada dialek Tegal yang khas.

Bahkan, yang paling ekstrem, kawan saya sempat mempertanyakan ke-Tegal-an saya, hanya karena cara bicara saya lancar berbahasa Indonesa seperti air.

Saya ingat ketika memperkenalkan diri di depan kelas saat pertama kali masuk kuliah. Suasana sempat heboh! Heboh lantaran dosen melontarkan candaan bernuansa primordial yang tentu saja diarahkan kepada saya.

“Oh, wong Tegal... kamu tahu? Di Tegal itu nggak ada RRI ya. Masalahnya kalau ada, bisa merusak bahasa Indonesia. Bisa-bisa bukan mendengarkan berita, tapi malah mendengarkan lelucon.” Terang saja kelas langsung gerr!

Saya sempat bertanya dalam hati, apa iya bahasa Tegal merusak tatanan bahasa Indonesia?” Ah, bukankah bahasa Tegal itu unik dan menarik.

Saya hanya tersenyum meski banyak yang meledek dengan istilah inyong, kowen, kuwe, bul, embuh, dan aksen Tegal lainnya.

Saya juga masih bisa tersenyum ketika ada teman yang meledek saya dengan candaan yang mungkin sangat menyinggung perasaan Wage Rudolf Supratman (Walau pun dilontarkan dengan konteks candaan). Bayangkan saja, “ku” dalam lirik lagu Indonesia Raya tanpa minta ijin sama pencipta lagu diubah seenak udel diganti dengan “nyong.”

Terlepas dari banyaknya ledekan yang menilai bahasa Tegal setidaknya itu menandakan bahwa bahasa Tegal itu menarik. Betapa tidak, Cici Tegal yang Asli Betawi juga ketiban berkah mengadopsi bahasa Tegal di dunia entertainment. Parto Patrio, Djamal Bulat, si pemeran Kenthung dalam Tuyul dan Mbak Yul, pun bernasib sama: populer karena ketegalannya!

2 komentar:

Fahmi FR mengatakan...

Ki Entus Susmono? Aku jadi inget + kangen Kenduri Cinta! Aku pernah ketemu Ki Entus di sana.

Bangga jadi orang Tegal?

Anonim mengatakan...

Tentu saja. Tak ada alasanbagi saya untuk takl bangga jadi orang Tegal.
Kau belum tahu kabar terakhir Ki Enthus Sus Mono Ya...
Sekarang ia tengah mendekamdi penjara, terlibat aksi pengrusakan di radio pertiwi FM milik Pemkab Tegal. Biasa lantaran terjun ke dunia politik. Pasangan dukungannya yang muncul dari jalur independen kalah bersaing melawan incumben