Sabtu, 15 November 2008


EKSEKUSI
Oleh Ali Irfan

Tanah itu telah disiapkan. Orang-orang terdekat menyiapkannya setelah ada ketuk palu keputusan mati yang dijatuhkan hakim. Awal bulan ini eksekusi akan dilakukan. Delapan tahun sudah tanah berukuran dua kali satu meter itu menunggu kepastian. Sebuah kepastian waktu ketika empat butir timah panas menembus jantung, menghentikan detak napasnya.

Satu dari empat peluru itu berisi peluru tajam. Peluru itulah yang akan mengoyakkan jantung. Tuhan pun turut merancang skenario eksekusi. Rencananya satu dari beberapa peluru itu adalah Izrail yang akan menyamar menjadi peluru.

Lelaki itu begitu tenang seperti angin pagi. Bahkan sejak saat itu ia selalu tersenyum. Seolah telah ditampakkan di hadapannya bentangan telaga kautsar yang mengalir menyejukkan di sungai-sungai surga. Alangkah bahagianya masa menjelang kematian yang seperti itu. Sungguh, pembawaannya benar-benar tenang. Padahal, tak lama lagi napasnya akan berakhir di ujung peluru yang telah dilegalkan.

Ketenangannya menghadapi kematian justru membuat sebagian orang gerah, karena tak muncul sedikit pun penyesalan atas peristiwa di Bali, 2 Oktober 2002. Tatapannya seakan berkata, kematian adalah kehidupan sebenarnya. Sungguh, kematian yang tidak sederhana namun begitu istimewa di mata orang-orang terdekat. Mereka menganggap kematiannya sebagai kematian istimewa, karena telah menegakkan syariat walau dengan konsekuensi melenyapkan ratusan jiwa dan ratusan korban terluka.

Segala hal terkait proses pemakaman telah disiapkan. Mulai dari kain kafan, sebidang tanah, dan keranda pun disiapkan khusus. Orang-orang pilihan telah ditentukan, mulai dari siapa yang memandikan, mengafani, membawanya ke rumah terakhir, hingga yang mengebumikan. Bahkan diam-diam ada sebagian orang yang tengah menghapalkan bacaan shalat jenazah!

***

Sementara itu Malaikat Izrail tampak tengah berbincang dengan Tuhan mengenai tugas yang harus ia laksanakan. Kali ini ia diminta menyamar menjadi peluru untuk mengambil nyawa salah seorang penduduk bumi karena masa tinggalnya selesai sudah. Penasaran, ia pun melihat catatan di lauh mahfudz. Di sana tertulis nama lelaki yang memang masa hidupnya harus disudahi di ujung peluru. Di sana juga tertulis bahwa untuk melaksanakan tugas itu ia harus menyamar menjadi peluru. Pantang membantah perintah, amanah itu ia perturutkan. Ia pun seketika menjadi butir peluru untuk menjemput ruh. Demi memuluskan niatnya, Izrail menyelusup ke dalam butir-butir peluru yang akan dilesatkan pada senapan regu penembak.

***

Saat dekat hari pelaksanaan eksekusi, ia justru makin merasakan ketenangan tak terperi. Sebuah ketenangan yang tak dirasakan orang lain. Istri tercintanya terlihat tabah menghadapi kenyataan. “Ia akan syahid,” katanya. Tak terlihat wajah sedih yang terbalut di kerudung lebatnya. Ia bahkan turut tersenyum. Ia teringat sebuah percakapan kecil dengan suaminya.

“Umi, ternyata aku dulu yang akan ke syurga. Peluru-peluru itu akan mengantarku ke sana. Jangan lupa kau ajarkan apa yang telah aku titipkan tadi, ” katanya dengan nada ringan penuh kelakar.

Mendengar jawaban itu, istrinya hanya tersenyum. “Ya, Abi, aku akan menyusulmu di sana.”
***

Suasana sunyi. Hanya ada beberapa bintang gemerlap yang menggantung di bentangan langit menjelang pagi. Eksekusi tinggal beberapa detik lagi. Ia akan dieksekusi tengah malam lebih lima belas menit.

Regu penembak tanpa ragu membidikkan senapannya. Mereka telah disiapkan khusus untuk ini dan terlatih. Mendapat tugas melenyapkan lelaki itu bagi mereka adalah mulia. Mereka justru dengan senang hati melakukannya, karena orang yang akan diekseskusi ini sama sekali tak menampilkan kesan takut. Berbeda dengan para terpidana mati lain yang takut mati.

Kesan ini terlihat jelas lantaran saat eksekusi kedua matanya tak ditutup, tidak seperti lazimnya. Lelaki itu memintanya sendiri. Mungkin untuk menunjukkan bahwa kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan. Ia meyakini butir peluru itu adalah Izrail yang diutus untuk mengantarnya menemui Tuhannya.

Intruksi penanda eksekusi tinggal menunggu detik. Dalam hitungan ketiga, pelatuk para regu tembak masing-masing akan ditarik untuk melesatkan. Izrail yang menyamar jadi peluru pun turut bersiap diri untuk menunaikan tugasnya.

Sudah lama Izrail tinggal di dalam senapan bersama peluru-peluru lain. Demi sebuah amanah, meski harus menempati ruang sempit tanpa sekat pun tak masalah. Ia memang tak bisa banyak bergerak. Sayap-sayapnya ia lipat sedemikian rupa. Penyamarannya lebih canggih dari cara yang biasa dilakukan intelijen.
Sempat suasana gerah di dalam senappan membuatnya kepanasan dan ingin sekali mengipaskan sayapnya untuk memberi angin pengusir gerah, Hampir saja tindakan itu ia lakukan. Tapi ia sadar, bahwa dirinya tengah dalam masa bertugas. Apa jadinya nanti kalau tiba-tiba peluru-peluru lain terkejut.

Akhirnya eksekusi pun tiba. Satu persatu-persatu peluru itu melesat. Izrail tinggal menunggu giliran melesat tepat ke arah jantung. Lesatan peluru tak membuat lelaki itu gentar. Peluru-peluru itu justru diterimanya dengan senang hati.

Terlihat di mata lelaki itu lesatan butir-butir peluru itu bertasbih. Ia terkesiap ketika melihat sebutir peluru yang beda di antara peluru-peluru lain. “Izrail!” kata laki-laki itu. Merasa terkejut dan penyamarannya telah diketahui, Izrail pun menunjukkan aslinya. Dalam pandangan lelaki itu, seketika peluru itu langsung berubah mengeluarkan sayap-sayap. Tidak sampai hitungan detik bentangan sayap itu langsung menubruk dan dalam hitungan tidak kurang dari kecepatan cahaya, Izrail membawa lelaki itu terbang.

Ketika ia melihat ke bawah, lelaki itu melihat dirinya tergeletak berdiri sambil tersenyum. Kedua tangannya masih diikat pada sebuah tiang setinggi lelaki itu.

Matanya tenang, menutup perlahan sesaat setelah butir peluru menghentikan detak jantung seketika. Dari awal memang sudah enggan kedua matanna ditutup dengan kain hitam saat eksekusi.
Tanah, kafan, dan keranda pun siap menunggu kedatangan jenazah.

Tidak ada komentar: