Senin, 23 Juni 2008

Akulah Pencuri Itu

Ada sebuah ketakutan ketika sesuatu yang bukan milikku berada dalam kuasaku. Buktinya ketidaktenangan mengusik. Tetapi aku menginginkanya. Aku tak peduli, bagaimana sesuatu itu aku dapatkan.

Apa aku melakukan kesalahan fatal hingga aku bisa seperti ini. Sudah dua hari ini, rasa tak tenang benar-benar mengggangu. Rasa-rasanya ingin kututup saja hati yang menyimpan segala rasa ini.

Akhirnya kuputuskan saja untuk mengatakan bahwa aku telah mencuri sesuatu di dirimu yang tak kau ketahui. Ya, karena aku melakukan itu di alam bawah sadar. Dalam keterpanaan aku melakukan itu. Kedengarannya lucu memang, seorang pencuri mengaku telah mencuri. Jarang-jarang ada pencuri mau mengaku.

“Maaf. Aku telah mencuri sesuatu milikmu. Kalau kau merasa kehilangan sesuatu akulah pencuri itu,” kataku yang kukirim melalui pesan singkat.

Aku sudah menduga, kau akan lama membalas pesan itu. Lagi pula aku tak begitu memerlukan balasan langsung. Berharap kau membalas tentu saja ingin. Mengenai bagaimana reaksimu, aku juga ingin tahu. Marah, aneh, terkejut atau kau malah berkata, ada-ada saja kau ini

Aku bisa terawang, kau pasti akan baca dengan sangat hati-hati. Bisa jadi, kau kernyitkan dahi. Apa maksudnya ini?. Mungkin itu kata-katamu yang akan terujar. Dan, penasaran kau dibuatnya. Aku mengharapkan itu.

Biar saja, bukankah kau juga sering buat aku penasaran. Kau bahkan merasa senang dengan kepenasaranku. Saat aku ingin tahu sesuatu, kau tak pernah mau cerita. “Ah, tapi itu nggak begitu penting,” katamu. Tidak penting bagimu, bisa jadi sangat penting untukku. Tak penting di mataku, bisa jadi begitu penting di matamu. Kita memang berbeda.

Dan, dua hari yang lalu, atau bahkan jauh-jauh sebelumya, aku telah mencuri sesuatu milikmu. Apa kau sadar telah kecolongan.
***
Sendiri aku terbaring di kamar. Kuintip melalui jendela tak ada sapaan bintang. Apalagi cahaya bulan. Hai, kalian sudah lama tak menyapaku. Kemana saja selama ini. Aku sangat merindukan sapaanmu.

Ingin rasanya aku pergi ke sana untuk bisa kucari sumber cahaya yang memberi terang. Biar aku saja yang bersinar. Kau tentu lelah. Tiba-tiba saja aku merasa sudah di bulan. Kupijakkan kaki ini perlahan-lahan karena gravitasi di sana tak sekuat di bumi. Takut-takut kalau aku berlari, aku terpantul dan menghilang dalam lingkaran kosmos.

Aku cari sumber cahaya itu, namun tak aku temui. “Aku hanya cermin yang memantulkan cahaya,” kata bulan. Pencarianku terhenti setelah bulan berkata bahwa ia hanyalah cermin, pantulan, tidak lebih. Dan aku telah salah memilih. Kala aku ingin mampir ke bintang, mereka masih di telan gumpalan awal. Lagi pula aku sudah lelah, sementara masih ribuan mil jarak yang mesti aku tempuh untuk menuju ke arahnya.
***
“Baru kali ini kutemui ada orang ngaku jadi pencuri. Emm..kayaknya nggak ada. Memang apa yang kau curi dariku?” sebuah pesan masuk ke ponselku.

Aku tak mengindahkah pesan itu. Ha.ha..ha..., setidaknya dengan pesan itu ia sudah mulai masuk dalam perangkap. Aku memang mencuri. Mengenai apa yang aku cari biar kau cari saja sendiri. Setidaknya dengan ijin lebih dulu, beban dosa mencuriku akan sedikit berkurang. Akan lebih mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan Tuhan perihal kenapa aku mencuri.

Aku tak mau ketidaktenanganku ini berlarat-larat. Makanya aku katakan saja, bahwa aku telah mencuri sesuatu darimu. Akulah pencuri itu. Tapi kau tak merasa kehilangan. Yah, karena aku melakukannya perlahan-lahan sampai-sampai kau tak merasakan itu. Karena aku begitu menginginkan itu, dan kau tak mau berikan itu kepadaku.

“Kok nggak jawab? Mang kau nyuri apa dariku? Perasaan aku nggak kehilangan apa-apa. Jangan bikin aku pusing donk, please...,” satu pesan lagi masuk.

Kena! Kau sudah masuk perangkap. Bisikku pelan. Beberapa jenak, pesan itu aku jawab.

“Setidaknya dengan mengakui itu, akan memperingan pertanggungjawabanku di hadapan Tuhan. Coba kau cek lagi, katanya peka. Masa nggak merasa kehilangan sesuatu. Ada yang kucuri darimu. Maafin ya,” begitulah jawaban pesan itu.

***
Jujur, aku terpana dengan laku lampahmu. Matamu ketika menatap dan senyummu selalu mengembang seperti bunga-bunga merekah. Laku bicaramu yang halus menyejuk-kan. Aku sangat menginginkan semua itu. Tapi, aku sadar, perempuan sepertimu tak bakal memberikan tatapan mata, senyuman dan semua-mua yang kau miliki kepada kaum adam. Langkahmu menundukkan pandangan.

Semua-mua itulah yang aku curi darimu. Hanya saja kau tak merasa kehilangan. Aku mencuri tatapan matamu untuk kuletakkan dalam mataku, hingga ketika menginginkan tatapanmu, tinggal kutatap saja di depan cermin. Dan aku melihat matamu. Tanpa sepengetahuanmu, aku juga mencuri bibir yang memberi senyum manis untuk kuletakkan di bibirku. Ketika aku rindukan senyummu. Tinggal kusunggingkan senyum saja di hadapan cermin. Dan aku melihat senyummu. Semua itu tersimpan rapi di memori otak menempati folder khusus di hati.
Aku tak ingin semua itu sirna seperti halnya kisah seorang gadis kecil yang diasuh se-orang pendeta hingga dewasa. Gadis kecil itu ditemukan pendeta, di sebuah kandang ku-da terpojok di sela-sela tumpukkan keranjang rumput. Tanpa sehelai benang pun!

Kecantikkan gadis saat dewasa justru membuat petaka. Laki-laki yang sudah beristri dibuat terpana dengan kecantikan dan kemolekan tubuh gadis itu. Padahal ia telah menjadi seorang biara, pelayan Tuhan di gereja-gereja karena asuhan si pendeta.

Kisah kecantikan sang biara ternyata bermuara pada fitnah. Sebagian besar ibu-ibu menyebutnya pelacur karena gadis gereja itu membuat suami-suami mereka jarang pulang. Suami-suami mereka justru malah bertingkah aneh. Pergi ke gereja bisa setiap hari hanya untuk melihat rupa si pelayan Tuhan. Gereja penuh, sesak. Si pendeta tampak senang. Ternyata warga di sini sudah mulai berubah, “Puji Tuhan,” pikir si pendeta saat itu.
Gadis yang ditunggu-tunggu akhirnya keluar. Semua-mua tatapan orang yang men-dendangkan lagu pemujaan, tertuju pada biarawati itu. Hanya saja ada yang lain ketika itu. Kain lebat menutup semua wajah perempuan itu. Hingga yang ada seolah-olah kain lebat berjalan. Di tangan ia membawa sebuah baskom berisi air. Langkahnya terhenti di tengah-tengah mimbar. Suasana mendadak hening. Lantunan lagu pemujaan seketika ter-henti. Semuanya tertatap pada seorang perempuan yang sedang berdiri di depan.

“Maafkan aku Bapa. Saya belum bisa menjadi pelayan Tuhan yang baik. Tempat suci ini memang ramai dikunjungi jamaah. Tapi, tidakkah Bapa lihat. Semua-mua yang hadir di sini adalah laki-laki yang sebenarnya ingin mendapatkan tatapan mata. Dengan mak-sud tanpa mengurangi kekhusyukkan menghadap Tuhan, di tempat ini (sambil tangannya menunjuk ke sebuah baskom yang ia bawa) sudah saya berikan semua yang mereka inginkan.

Saya sudah mencongkel dan meletakkan kedua biji bola mataku untuk mereka. Saya sudah menyayat bibir yang membuat mereka dalam keterpanaan (sesaat). Dan, sekali lagi maafkan saya Bapa, saya tak bisa menjadi pelayan Tuhan yang baik.

Diletakkannya baskom yang berisi bola mata dan sayatan bibir biarawati itu. Semua-mua laki-laki yang hadir dibuat membisu kaku. Semua persendiran seakan tak lagi mam-pu menopang. Keringat, mengucur deras. Lalu perempuan itu melangkahkan kakinya per-lahan-lahan meninggalkan gereja. Kerudungnya basah oleh darah yang mengalir melalui lubang kedua bola mata. Siapapun tak berani menghentikan langkah perempuan itu. Tak terkecuali, seorang pendeta yang sudah lama mengasuhnya.

***
Aku tak ingin kisahmu berakhir pada tindakan bodoh yang tidak perlu. Apalagi tragis. Sepenuhnya aku sadar bahwa tindakan ini salah dengan mencuri-curi pandangan saat kau lengah. Dan senyumanmu itu selalu saja membuat jantung berdegup kencang. Makanya kukatakan saja, bahwa aku telah mencuri sesuatu darimu. Tapi aku mohon, jangan kau lepas bola mata indah yang melekat di matamu untuk kau berikan kepadaku. Karena aku tahu, sakitnya bukan main. Lagipula mengerikan!
***
Tiba-tiba ponselku berdering. Sebuah nomor yang belum aku simpan memanggil

“081317849XXX calling…”

Nomor yang tadi aku kirimi pesan menelepon. Aku berpikir beberapa jenak.mencari-cari keputusan untuk menjawab telepon atau tidak.

“Hallo,”
telepon itu aku angkat.

“Assalamu’alaikum,” terdengar suara perempuan. Suaranya lembut. Dan ia mengawali perbincangan.

“Makasih telah mengingatkan. Kau benar, pengakuan bahwa seseorang telah berbuat salah itu perlu. Kesalahan itu manusiawi. Aku sendiri menyadari itu. Saya jadi ingat, dengan mengakui berbuat salah pertanggungjawaban di hadapan Tuhan akan lebih ringan. Lebih-lebih jika orang itu mau memaafkan…”

Aku tercengang tak bisa berucap sepatah kata pun. Nyaris tak diberi waktu bicara. Ia terus saja bercerita panjang. Di seberang sana terdengar suara yang memang merdu.

“Kau salah. Sepertinya kau perlu tahu yang sebenarnya. Aku sudah tahu siapa pencuri itu. Kau bukan pencuri itu. Justru, pencuri itu tidak lain aku. Aku selalu mencuri tatapan matamu yang sedang menatap di kehampaan, matamu begitu menyejukkan. Aku dibuat tenang menatapnya. Apalagi ketika kau tersenyum, membuat aku melambung. Aku sempat bertanya, apa aku sedang menatap ketampanan Yusuf?”

Aku makin dibuat tercengang.

“Aku percaya, tak ada manusia sempurna di jagat ini selain Muhammad. Penampilan bisa saja menipu. Masalahnya saya ingat kata nabi, kurang lebih menyatakan, ‘Orang melakukan amalan akhirat bisa jadi melakukan amalan dunia. Orang yang melakukan amalan dunia bisa jadi bermuara pada amalan akhirat’ kurang lebih seperti itu isi haditsnya. Yang saya takutkan adalah masuk kategori pertama. Terimakasih telah mengingatkan. Assalamu’alaikum....”
Seketika telepon di tutup. Aku masih tercengang.
----------------------------

4 komentar:

Fahmi FR mengatakan...

wuih... cerpennya tokcer bwgd mas! (terpaksa nih gue bilang begini, soale kasian ga ada yang kasi komentar, hahahaha....)
keep in blogging bro!

ALI IRFAN mengatakan...

Wah,kalau terpaksa seh mendingan jangan kasih komentar.
Thanks banget dah mampir ke blog yang sederhana ini.

piratesworld mengatakan...

ka...lagi lophe-lophe ya!!!m_m

kejar teruss....
don't ever give up!!!!

ka klw da info ttg kursus bhs.jepang....call me yaw...

arigatou,,

ALI IRFAN mengatakan...

apa tuh lophe-lophe?
bahasa dari planet mana?
Wueh. Bahasa Jepang.
Moslem Watashiwa. Wakarimashe. Haik!
Assarauaraikum, ototo!