Selasa, 20 April 2010

Rahasia Maya

Di sebuah ruang tamu di rumah sederhana telah ada beberapa orang. Aku duduk di atas lembaran karpet yang terbentang. Ustadz Amar mendampingiku. Sebuah prosesi sederhana akan dimulai. Berlangsung tertutup. Tak banyak orang yang tahu. Hanya Ustadz Amar, ayah dan ibu perempuan yang selangkah lagi akan menjadi istriku, Insya Allah.

Tak lama kemudian seorang perempuan berjilbab datang ditemani seorang lelaki, yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Tatapannya menunduk. Sekilas, aku sempat melihat paras cantiknya dalam balutan jilbab.


Di sebuah lingkaran majelis yang memang telah disiapkan, disitulah kami sore itu berkumpul. Minggu kemarin, Ustadz Amar memang merencanakan satu proses yang akan menjadi masa bersejarah dalam perjalanan hidupku.


Ada perasaan yang entah yang mendera-dera. “Diakah calon istriku? Siapakah wanita yang ada di hadapanku ini?” Melihatnya saja aku baru kali ini? Ia masih tertunduk. Matanya tak berani menatap. Sempat ia menatap, tapi saat mata kami bertemu pandang, ia buru-buru menundukkan pandangan.


Beberapa hal tentang sosok yang ada di hadapanku ini memang telah aku dapatkan. Tetapi itu tak banyak, hanya pada tataran global. Informasi yang aku dapatkan, adalah dia seorang muslimah, salihah, siap menikah, yang bernama Maemunah. Biasa dipanggil Maya. Sudah hanya itu. Dan, inilah kesempatan yang diberikan kepadaku untuk mencari tahu semua dalam proses sederhana bernama ta’aruf.


“Baiklah bisa kita mulai?” ustadz Amar mengawali perbincangan.


“Siapa yang akan mengawali pertanyaan lebih dulu?” lanjutnya


“Dia dulu.” serempak aku dan Maya menjawab bersama-sama. Mata kami sempat saling pandang.
Begitu juga ustadz Amar dan juga ayah ibunya yang ketika itu ada dalam ruang itu. Mereka tersenyum. Masih ada kesan kaku di antara kami. Kami malu.


“Baiklah Ali, kamu duluan karena kamu yang akan memimpin bahtera rumah tangga nanti,” aku mengangguk. Sempat diam lumayan lama karena saking gugupnya. Sampai-sampai ustadz Amar memberi kode mengingatkan agar saya mulai memberikan pertanyaan.


Aku mengucap bismillah dengan nada sirri. Saat paling mendebarkan kini tengah mendera menderu-deru. Seperti ada gemuruh badai. Allah, bantu aku, kuatkanlah aku memperlancar proses ini. Mudahkanlah proses ini, doaku dalam hati meminta kemantapan langkah.


Dan pertanyaan pertama pun dimulai.


“Bagaimana Ukhti pertama kali mengenal Allah?”


Pertanyaanku berlangsung datar dan seketika. Sederhana, namun memerlukan jawaban yang mengena. Aku tahu tak mudah menjawab pertanyaan seperti itu. Tetapi Maya dengan lancarnya menjawab pertanyaanku.


“Bukankah semua orang mengenal Allah adalah ketika masih belum lahir di dunia? Bukankah sudah ada perjanjian antara seseorang yang akan dilahirkan ke dunia dengan Allah? Dan ketika manusia lahir, nama Allah pula yang didengar pertama kali? Sejak kecil saya sudah dikenalkan hijaiyah mulai dari Iqro sampai Alqur’an untuk mempermudah menyebut nama Nya, belajar mengaji, hingga saya diberi kemampuan untuk membaca tanda—tanda kebesaran Nya dari apa yang telah Allah ciptakan. Itulah pertama kali saya mengenal Allah.”


“Siapakah laki-laki yang ukhti cintai?”


“Rasulullah Shalallah’alaihiwassalam.


Aku membenarkan bangga, karena itulah jawaban yang aku inginkan.


“Apa yang ukhti pahami tentang taat kepada suami karena Allah Swt?”


“Taat pada suami berarti pula taat kepada Allah. Suami adalah pemimpin rumah tangga. Dan seorang pemimpin wajib hukumnya diikuti. Mengenai ini sudah secara tegas dinyatakan, Ati’ullah wa’atiurrasul wa ulil amri minkum. Taatilah Allah, taatilah Rasul, dan taatilah para pemimpin di antara kalian.’


“Pertanyaan lain ya?” Aku meminta Maya untuk beralih topik. Ia mengangguk membolehkan. Aku sudah mulai bisa sedikit mencairkan suasana karena sejak tadi pertanyaan yang muncul tak ubahnya seperti dosen penguji skripsi dalam sidang munaqasah.


“Bisa sebutkan satu persatu hargo sembako?”


Aku menangkap raut wajah terkejut. Tak menyangka akan mendapat pertanyaan semacam itu dariku. Seperti menganggap kalau pertanyaan dariku adalah pertanyaan konyol yang tidak begitu penting untuk ditanyakan. Tapi, bagiku ini penting dan harus diketahui oleh calon istri, karena itu bisa menjadi ukuran peka tidaknya seorang perempuan jaman sekarang yang terkadang menyepelekan. Setahuku ia selalu berkutat dengan buku-buku, mengajar, mengisi mentoring anak-anak SMA, mengisi seminar dan berbagai pelatihan. Akankah untuk hal yang sederhana ini ia lewatkan?


“Kok sembako?” katanya dengan nada sedikit memprotes.


“Iya. Memangnya kenapa?”


Akhirnya ia pun menjawab satu persatu harga sembako.


“Beras Rp.7000,-/kg. Minyak sayur Rp.14.000,- Telor, Rp.8.000,-/kg terigu Rp.6000,-/kg, Gula pasir Rp.8.500,-/kg, kalau gula merah Rp.8.000,- Cabe mulai kemarin menembus harga Rp.8.000/kg, begitu juga bawang merah”


“Baru delapan, kurang satu. Satunya lagi? Kan sembilan?”


Lumayan, pikirku, jawaban Maya tak meleset jauh dari apa yang disampaikan ibuku tadi sebelum berangkat. Ibuku sendiri sampai heran, mau melamar orang kok nanya-nanya harga sembako segala.


Maya sempat berpikir lama untuk mengingat-ingat nama sembako yang kesembilan.


“Oya, Elpiji tiga kilogram tiga belas ribu lima ratus!”


Dan kini giliran aku menjawab pertanyaan-pertanyaan Maya.


Assalamualaikum Akh? Siap menerima pertanyaan dari saya?”


Waalaikumsalam. Insya Allah siap.”


“Tolong ceritakan sedetil mungkin, bagaimana hubungan akh dengan Allah saat ini?”


“Aku merasa Allah tambah dekat. Bahkan aku merasa kalau kasih sayang Allah bertambah kepadaku. Buktinya, kemarin aku sakit, dan sempat dirawat beberapa hari di rumah sakit?”


“Apa hubungannya sakit dengan kasih sayang yang bertambah, akhi?”Langsung Maya memotong pembicaraanku yang belum selesai.


“Sabar ukhti, belum selesai aku menjelaskan. Tadikan mintanya sedetail mungkin. Iya, dengan sakit yang aku rasakan kemarin setidaknya menunjukkan kepadaku kalau Allah masih sayang. Tak cuma itu, bukti Allah sayang juga terlihat waktu aku tertidur setelah maghrib karena saking capeknya. Tengah malamnya, Allah membangunkanku, mengingatkanku, untuk shalat Isya. Ya sekalian saja aku manfaatkan untuk shalat malam. Saat sunyi itulah aku merasa benar-benar berkomunikasi dengan Nya. Ada ketenangan tak terkatakan. Ada satu keakraban yang begitu karib,” jelasku dengan menunjukkan pengalaman-pengalaman yang menurut pemahamanku menggambarkan kedekatanku dengan Sang Khalik.


“Dalam seminggu terakhir, berapa hari yang anda lewatkan tanpa bershadaqah atau berinfak untuk orang miskin dan sabilillah?” Pertanyaan kedua Maya terujar, masih dalam tataran normatif, sama seperti pertanyaan yang awal-awal aku ajukan.


“Sebisanya dan semampunya saya menyisihkan rezeki yang aku dapat untuk bersadaqah setiap hari. Hanya dua kemarin, saya urung memberi kepada salah seorang pengemis yang datang tiba-tiba karena agak kasar cara memintanya. Coba saja bayangkan, tanpa salam tanpa basa-basi langsung menabok pundak hingga membuat aku terkejut. Menyebalkannya lagi, dia malah biasa-biasa saja, sambil menengadahkan tangannya. ‘Minta uang! Saya orang kecil!’ pintanya memaksa. Cuma setelahnya, aku merasa menyesal sekali ketika itu kenapa aku tak memberinya saja. Mau aku kejar, orang itu malah nggak ada. Sudah pergi jauh. Nggak kelihatan. Barangkali begitulah cara Allah menguji ketulusan hati seseorang.”


Selesai menjawab, pertanyaan pun berlanjut.


“Saya mau buka rahasia,” kata Maya kepadaku terus terang. Seakan ingin membuka sesuatu yang selama ini hanya ia yang tahu. Sempat aku bertanya-tanya, rahasia apakah itu yang akan diceritakan Maya. Subhanallah, aku benar-benar melihat mata yang begitu teduh di wajah Maya. Wajah cerah air wudlu.


“Sebenarnya saya sudah memiliki seorang lelaki yang sangat saya cintai. Orangnya saleh, kalem, pintar, ganteng, dan sangat sopan. Hanya kepada dia saya memberikan cinta saya lebih daripada lelaki lain. Bersediakah anda mengijinkan saya melanjutkan cinta saya kepada lelaki ini, kalau anda menjadi suami saya?”


Aku kaget mendapat pertanyaan itu. Petir serasa menyambar. Perasaan mendadak hendak emosional. Hati yang tenang seperti musim semi menyejukkan seakan berubah menjadi badai di tengah gurun yang bergemuruh. Degup jantung hampir berhenti berdetak. Pikirku, berani sekali dia berbicara seperti itu Cemburukah aku? Bagaimana bisa ia membanding-bandingkan aku dengan lelaki lain? Pantaskah seorang akhwat melontarkan pertanyaan seperti itu?


“Apa maksud melontarkan pertanyaan seperti itu?” aku bertanya balik dengan nada agak emosional. Ingin sebenarnya aku mengendalikan diri dari sikap emosionalku yang mungkin mengganggu proses paling bersejarah ini


“Kurang jelaskah pertanyaan saya? Bersediakah akhi mengijinkan untuk melanjutkan cinta saya kepada lelaki itu, jika anda menjadi suami saya?” Maya bukannya menjelaskan, tapi malah menegaskan kembali pertanyaan itu.


Tak lama kemudian Maya menjawab, dengan kesan tenang. Tak ada tanda raut wajah yang menyimpan penyesalan. Sebaliknya wajahnya masih tetap kelihatan teduh.


“Lelaki itu adalah Muhammad Sallahualaihi wa salam!”


Aku malu. Diam-diam ternyata ia membalas pertanyaan sembako dengan pertanyaan yang sebenarnya telah aku tanyakan pada Maya. “Siapakah lelaki yang ukhti cintai?” Maya seakan berkata kepadaku ; satu sama!


“Bisa lanjut ke pertanyaan berikut?” Maya mengingatkan. Tadi aku sempat terdiam beberapa saat setelah mendapat jawaban yang mengejutkan.


“Setelah melakukan proses taaruf, apakah akh akan melanjutkan ke proses khitbah lalu nikah? Atau masih butuh waktu dan meminta saya menunggu, dengan alasan yang tidak syar’i dan terlalu duniawi.”


“Bagiku, menikah adalah satu proses yang perlu disegerakan. Segera. Bukan tergesa-gesa. Aku ingin menyegerakan nikah atas seijin Allah tentu saja,” jawabku padat langsung pada pokok persoalan.


“Baik. Kapan?” kata Maya.


“Tapi maaf, sebelum menjawab itu... boleh aku bertanya kepada Abi dan Umi?”


“Ya, tafadhol.” Maya mempersilahkan.


Dan kini perhatianku tertuju kepada orang tua Maya.


Abi..., Umi...Melalui kesempatan ini.. saya... ingin melamar Maya untuk menjadi istri saya. Berkenankah Abi dan Umi memberi restu?” ucapku agak terbata-bata. Abi dan Umi saling pandang. Tersenyum wajar melihat kegugupanku.


“Kamu sudah mantap dengan pilihanmu menikahi Maya?” ujar ayah Maya.


“Ya, Insya Allah saya sudah mantap.”


“Baiklah kalau sudah mantap. Menyegerakan pernikahan itu lebih baik.”


Mendengar jawaban langsung dari ayahnya, Maya salah tingkah. Mendadak wajah Maya bersemu merah. Seperti wajah Aisyah, yang oleh Rasulullah disapa Khumairah. Ia makin salah tingkah saat aku mengucapkan “Maya, maukah kau menikah denganku?” lafadzku mantap.



Tegal, 23 Desember 2009
Selesai menjelang pagi, dalam interval waktu 19.30 - 23.47

1 komentar:

Ariez mengatakan...

Semua ini memang penuh dengan Rahasia Allah..... dan Mbak Mayapun juga masih menjadi Rahasia Allah.......
tidak semua orang yang melakukan ta'aruf berbuah kebahagiaan dan berlanjut ke pernikahan..... tapi
setelah ane baca.... ini sebuah kisah ta'aruf yang unik, lucu dan cerdas.... boleh juga tuh jadi rujukan para ikhwan dan akhwat yang hendak melaksanakan proses ta'aruf.
semoga semuanya berjalan dengan lancar.....