Rabu, 08 Juli 2009

Kemarin Ada yang Mengajakku Menikah...


“Kemarin ada yang mengajakku menikah, apa kau merasa baik-baik saja. Atau kau merasa tidak ada apa-apa karena waktumu untuk kegiatanmu.”

Satu pesan singkat masuk saat aku tengah mengikuti hari pertamaku di sebuah tempat mulia yang memberiku amanah untuk menjadi salah satu tim untuk menyiapkan peradaban. Ya, begitulah mereka mendefinisikan satu kata: mengajar dengan deretan kata memanjang. Menjadi salah satu tim yang bertugas untuk mencetak generasi penerus peradaban.

Pesan itu datang menyentakkan lantaran tak terduga datang tiba-tiba.
Pesan itu datang mengagetkan namun tak mengejutkan.
Semua lantaran aku memiliki jawaban untuk pertanyaan itu.

Kawan, mungkin belum saatnya kau tahu siapa yang mengirim pesan singkat itu kepadaku. Tetapi yang jelas yang mengirimi saya pesan singkat semacam itu tentu menyimpan maksud dan tujuan tertentu. Apa dan maksud tujuan itu, kawan tak perlu menebak-nebak pula.

Tak perlu waktu lama untuk menjawab pertanyaan itu. Begini aku langsung menjawabnya...

“Kalau dia baik agamanya, baik akhlaknya, dan kau merasa nyaman dengannya, menikahlah.”

Tapi... jawaban yang aku peroleh menegaskan kalau ia sebenarnya tak suka dengan jawaban yang aku beri. Padahal, saya meyakini itulah jawaban terbaik yang saya punya. Memang ada segudang hadits yang bisa menjawab pertanyaan semacam itu. Tetapi saya bukan tipe orang normatif yang selalu menuliskan seabrek referensi secara utuh. Bagi saya, ketika intisari sudah mengena dan sadar kalau itu berkenaan dengan satu landasan tertentu, dan tepat cara menyampaikannya itu baru luar biasa menurut saya.
Kawan, kau ingin tahu, jawaban apa yang ia berikan kepadaku...
“Menyakitkan! Terimakasih. Aku tak menyukainya. Aku sayang pada seseorang...Hanya ia yang aku inginkan.”

“Kalau begitu jangan terima ajakannya. Menikah memang harus ada juga landasan suka. Dan itu jauh lebih mulia kalau landasan utamanya karena agama,” begitulah jawaban yang aku lontarkan lagi kepadanya dengan alasan seorang perempuan juga berhak untuk menerima atau menolak ajakan seseorang untuk menikah. Kemungkinan itu menempati porsi yang sama besarnya. Dan setelah itu ia tak membalasnya lagi.

Jika hari di pagi itu saya dimintai pendapat seseorang yang diajak menikah. Maka pada malam harinya saya yang malah ditawarin untuk menikah. Ada seorang akhwat menawarkan akhwat lain untuk diperkenalkan. Kawan, perlu diingat, ajakannya ini tidaklah main-main. Pengertian kenal di sini yang dimaksud bukanlah kenal biasa. Melainkan satu proses awal sebelum menuju proses khitbah menuju nikah.

Berdesir bukan main hati saya ketika mendapat tawaran...“Assalamualaikum. Mas Ali, afwan mau tanya. Mohon jangan tersinggung. Begini, saya punya teman akhwat. Beliau sudah bekerja dan sedang menyelesaikan tugas akhir. Beliau siap menikah. Antum mau tidak saya perkenalkan dengan beliau? Afwan jika lancang.W3”

Inikah kedahsyatan berpikir affirmatif? Saya memang termasuk –lebih lengkapnya menggelompokkan diri- ke dalam orang-orang yang ingin menyegerakan menikah. Tetapi tidakkah ini terlalu dini?

Teman, sungguh, saya tak mampu menjawab ajakan itu.
Entah kapan saya bisa menjawabnya.
Entah kapan kawan.







1 komentar:

Anonim mengatakan...

hidup adalah cinta adalah islam
berpasrahlah pada yang diatas karena cinta dan hidup ada ditangannya....amieeeeeen.