Sabtu, 07 Maret 2009

Ruang Tersendiri Film & Sastra


Sebuah karya sastra dipilih untuk sebuah produksi film memang bukan hal baru. Sisi positifnya bisa memacu seseorang meningkatkan minat baca lantaran ada tendensi menjawab rasa penasaran setelah menyaksikan sebuah tontonan. Orang yang memiliki sense of curiosity yang tinggi biasanya ada kecenderungan mencari asal bagaimana sebuah sajian tontonan itu berasal. Itu artinya, jika muncul rasa penasaran dari apa yang telah disaksikan pada sebuah tontonan, seseorang cenderung membaca karya asal.

Namun, masalah yang terjadi sudah selaraskah budaya nonton dengan budaya membaca kita? Keterkaitan keduanya tentu saja ada ketika dipadukan, asalkan kepaduan itu masih selaras dari maksud tuturan teks awal. Membandingkan keduanya (membaca dan menonton) memang menjadi satu hal menarik yang perlu kita kaji sekarang ini.

Budaya nonton yang saya amati dewasa ini baru sampai pada batas mencari hiburan semata. Penonton masih belum sepenuhnya apresiatif lantaran yang dicari hanya kepuasan parsial. Mengenai proses pembelajaran yang bisa didapat dari sebuah film masih jauh panggang daripada api. Padahal film adalah cerminan realitas, perangsang imajinasi, pembentuk identitas, dan dunia yang mencipta pencitraan.
Pembentukan identitas yang dimunculkan dari film tidak terlepas dari apa tema yang diangkat, siapa yang menjadi pemain, siapa yang mengelola bioskop sebagai lanskap luar yang mengalasi layar putih itu, dan siapa yang menjadi penontonnya. Pengalaman menonton, berada dalam gedung bioskop, dan tingkah laku menikmati sajian film merupakan proses resepsi maupun respon atas identitas dari pencitraan yang ditampilkan.

Sementara membaca adalah gerbang untuk menjadi orang yang berpengetahuan. Ia menjadi salah satu aktivitas literat kelas berat, namun menyenangkan ketika sudah mendalaminya. Pada sebuah bacaan, disitulah ide-ide tertata pada kata-kata.
Sastra dan Film

Film seperti yang dinyatakan Asrul Sani adalah bidang seni yang menggunakan citra sebagai mediumnya. Ia adalah kontinuitet gambar-gambar, karena itu bersifat grafis. Sementara kata-kata dalam sastra punya peran membangun cerita, seterusnya cerita mengandaikan urutan dalam waktu, sedangkan perkembangan peristiwa memerlukan keterangan tentang sebab akibatnya. Sebaliknya film menunjukkan perkembangan ceritanya tidak dengan memperlihatkan perkembangan dari satu waktu ke waktu, tetapi dengan memperlihatkan perpindahan dari satu ruang ke ruang yang lain.
Keduanya pun bisa menyatu atau lebih tepatnya disatukan dengan makin maraknya film yang diangkat berdasarkan sebuah novel laris. Alih-alih mendulang kesuksesan yang sama, sebuah novel pun diangkat ke layar lebar. Peluang adanya pasar, didukung dengan kekuatan modal dan kreativitas pelaku sinematografi, sebuah karya sastra dalam bentuk teks diangkat menjadi film.

Kemungkinan adanya perbedaan interpretasi bahkan terasa jauh dari sebuah tuturan teks bisa saja terjadi. Ini wajar, karena sejatinya sastra memiliki ruang tersendiri untuk bisa dinikmati, dan diresapi. Ia justru lebih menarik dan seksi untuk dinikmati ketika ia masih sebagai teks yang utuh.

Pun sama halnya dengan karya film (sinematografi). Ia memiliki ruang tersendiri untuk bisa diapresiasi, diserap pesan yang ingin disampaikan melalui ranah audiovisual. Proses apresiasinya melibatkan seluruh indra, terutama pada indra lihat, dengar, dan rasakan.

Kemungkinan terjadinya misinterprtasi tentu saja ada. Sebut saja dalam novel Da Vinci Code ketika difilmkan ada banyak bagian penting yang hilang. Laskar Pelangi, Sajadah Cinta, dan baru-baru ini adalah Perempuan Berkalung Sorban pun mengalami nasib yang sama. Karya-karya itu jauh lebih berkesan dinikmati sebagai teks novel, tenimbang jika diangkat ke layar lebar. Selain karena keterbatasan ruang dan waktu, sebuah film juga harus benar-benar dimainkan oleh seorang profesional. Berbeda dengan ruang sastra. Ia tidak terikat oleh ruang dan waktu. Imajinasi yang dihasilkan bebas mengembara sampai pada batas angka dibagi nol alias yang tak terhingga.

Besar kemungkinan ketidakselarasan itu terjadi lantaran film tersebut 'hanya' merekonstruksi teks dari buku ke film. Sikap semacam ini tentu rentan menjadikan penonton yang sudah membaca karya satra itu, ketika menonton filmnya akan dibawa ke dalam kegiatan menonton yang 'hanya mencocok-cocokan' yang ada di buku apakah ada juga di dalam film; memperbandingkan intensitas sensasinya: sedih di buku atau sedih di film, lucu di buku atau di film, tegang di buku atau di film, dan seterusnya.
Tetapi itu bisa berbeda ketika film yang diadaptasi dari karya sastra (katakanlah novel) diangkat dengan mengambil sisi atau angle (sudut pandang) lain. Mulai dari cara bercerita (point of view), penekanan cerita, interpretasi cerita, dan lain sebagainya. Dalam pandangan Embie C Noer besar kemungkinan penonton akan terlibat sama segarnya seperti ketika dia membaca novelnya. Keberhasilan menemukan bentuk semacam inilah yang banyak menjadikan karya film yang mengambil karya satra sebagai script, menjadi karya yang juga memiliki nilai yang sama agungnya, sama kharismatiknya, sama orisinalnya, dengan karya sastra yang dipilihnya sebagai bahan cerita.

Itu bisa berarti bahwa bisa saja sebuah karya apapun menjadi sumber inspirasi untuk menghasilkan sebuah karya yang berbeda, tetapi ketika hanya mengadopsi penuh, tidak menutup kemungkinan hasil dari karya itu tak seksi lagi untuk dinikmati.







Tidak ada komentar: